Pages

Thursday, October 30, 2014

Pemberi yang Diberi



Dunia anak-anak adalah dunia warna-warni. Di dunia itu mereka tak mengenal suram, karena di mata mereka bertengger kacamata pelangi. 


Tetapi ada anak-anak yang terlahir berbeda. Anak-anak ini punya keterbatasan yang tidak dirasakan kebanyakan orang. Keterbatasan itu terkadang memaksakan kepedihan, dan memutus mereka dari warna-warna. 


Kehidupan memang telah digariskan oleh-Nya. Yang Maha Kuasa menjadikan anak-anak ini istimewa, bukan untuk menjadi beban yang lain. Mereka adalah jalan bagi kebaikan. 


Ronald Mc-Donald House CharitiesIndonesia (RMHC) menjadi salah satu yang membuka jalan. Sepasang merah dan putih sebagai undangan untuk kita mengulurkan tangan. 

T-shirt tersedia di restoran McDonald's seluruh Indonesia


Merah seperti darah yang mengalir memberikan kita kehidupan. Putih melambangkan tulang yang menegakkan tubuh. Merah dan putih, juga perlambang keberanian dan ketulusan,

Tak banyak yang  harus diberikan selain cinta yang berbuah kepedulian. 


Cinta yang diberikan kepada mereka akan menjadi secercah harapan bahwa mereka dapat juga merasakan kebahagiaan seperti yang lain. Dan apa lagi isyarat kebahagiaan melainkan seuntai senyuman?




Tak ada yang mudah ketika memulai kebaikan. Tetapi RMHC telah mengingatkan kita untuk berani menumbuhkan ketulusan. Karena manusia sesungguhnya dibekali jiwa yang haus memberi. Cinta, kebahagiaan, harapan, dan senyuman, yang sesungguhnya adalah untuk kita sendiri. 


KETIKA TANGAN KITA TERULUR, KITA ADALAH PEMBERI YANG DIBERI




Ronald Mc-Donald House CharitiesIndonesia adalah organisasi non-profit dengan misi untuk menciptakan, menemukan, dan mendukung program-program yang secara langsung meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak di seluruh dunia. 


Berikan semangat untuk pasien anak di www.stripesforlove.com

Foto diambil dari: www.stripesforlove.com

Wednesday, August 27, 2014

(4) Tulis Nusantara 2014: Bagian Kisah Indah



Saatnya kembali ke habitat. 

Setelah kode-kode booking yang ditukar, kami berangkat menuju tujuan masing-masing. 

Mbak Ruwi, Bang Gegge dan Rijal Aceh mesti tinggal lebih lama di wisma karena –rencananya- akan berangkat ke Beijing beberapa hari lagi.  Romario dan Andika langsung cap cus karena nggak roaming. Mbak Anggun barengan saya, Neng Lilis, Bang Didin, dan Rizal Alief ke arah bandara. Faisal dan Guntur masih akan di Jakarta.

Oiya, sebelumnya kami telah menobatkan -secara aklamasi gila-gilaan- Guntur Alam sebagai PR dan humas peserta tahun ini. Selamat mengemban tugas dan pesan mulia dari teman-teman. 

Di bandara, peluk-peluk dan wanti-wanti Neng Lilis (saya berasa kayak punya adek baru), supaya nggak nyasar waktu check in dan boarding. 

Habis itu saya masih berkesempatan ngobrol bareng Rizal Alief karena bernasib sama menunggu pesawat di terminal 1A. Sempat dengar dia bicara dengan keluarganya via telepon pakai bahasa daerah, saya makin sadar, betapa dekat sekaligus jauhnya kami-kami ini masing-masing orang yang sama-sama Indonesia. 

Tulisan, memang bisa jadi jembatan, perahu, kabel optik, gelombang elektromagnetik, apapun itu yang dapat menyampaikan pesan dari tempat-tempat yang tak dapat dijangkau raga. Dengan pesan-pesan itu setidaknya kami jadi menyadari keberadaan satu-sama lain, syukur-syukur kemudian bisa mengerti satu sama lain. 

Terima kasih, saya dapat rejeki buku kumpulan puisinya.

Selepas dadah-dadah dengan Rizal saya sibuk berdoa supaya nggak dapet pilot yang kemarin karena pesawatnya goyang-goyang heboh waktu take off dan landing

Alhamdulillah di atas pesawat kemudian hati saya adem karena mendengar sang pilot berkata, “…. This is your captain speaking…. Cuaca di Semarang dikabarkan cerah….  Kita insya Allah akan tiba pukul 20.55….”

Mendengar kata itu mengingatkan kepada apa yang sesungguhnya membuat saya diijinkan mengalami salah satu kisah indah ini dalam hidup saya. Bukan karena tulisan saya, tapi karena DIA saja.

"Ojo Dumeh", goggling artinya yah....

Teriring salam untuk teman-teman.

(3) Tulis Nusantara 2014: Panggung Penari dan Bon Jovi


Jam sebelas kurang. Tiga penari (Gambyong?) membuka ‘upacara’ pemberian plakat TN 2014. 

Panggungnya di Pendopo yang dibuat seperti Pendopo Mangkunegaran Solo


Hadir rombongan dari kementrian, undangan, dan juga Bapak Iqbal, Direktur Pengembangan Ekonomi Kreatif memberikan sambutan dan pesan-pesan.
Pesan Bapak Iqbal kepada penulis, “Janganlah (terjebak) jadi PNS seperti saya, teruslah menulis buku best seller, maka Anda akan dapat banyak royalti yang bisa membuat hidup Anda sejahtera.”

Ini versi ngaconya saya aja lho. Karena Bapak Iqbal ini sangat humoris, ceria, dan ramah pada kami semua. Suasana jadi cair.

Pesan sesungguhnya adalah: DNA orang Indonesia itu kreatifitas. Kompetisi Tulis Nusantara ini dimaksudkan sebagai sarana untuk mengangkat potensi pariwisata di seluruh Indonesia, secara kreatif, lewat karya-karya tulisan peserta. Macam kepulauan Bangka Belitung yang kini jadi keren dan beken berkat novel………………
(Isilah titik-titik di atas.)
Jadi ayooo gali potensi daerah masing-masing, dan tuliskan!

Setelah itu tibalah saatnya acara pemberian penghargaan kepada pemenang. Saya celingukan mencari ‘korban’ fotografer dadakan. Untuk minta tolong sesama kan nggak mungkin, karena kami semua naik bareng ke atas panggung. Syukurlah berkat kenalannya Rizal Alief dari Madura yang sudi direpoti-  saya berhasil mendapatkan foto-foto kami di atas panggung.  Terima kasih, mas anonim, tanpa mas tak mungkin kami dapatkan dokumentasi ini. 

Semua plus mbak MC


Faisal kemudian berkesempatan membacakan puisinya. Bikin merinding deh.
Setelah itu acara dilanjutkan dengan duo gitaris ‘memusikalisasikan’ puisi Bang Didin dan Faisal. Kemudian …. Ehm, semoga kita semua selalu Always. (roaming dikit)

Setelah itu, acara berakhir.

Bersambung.... (4) Tulis Nusantara 2014: Bagian Kisah Indah

(2) Tulis Nusantara 2014: Nusantara di ‘Kampung Jawa’



Semalam, habis menyantap ayam goreng, saya berdua Neng Lilis langsung terkapar. Mbak Anggun (Pemenang II Non Fiksi) sih masih kuat ngobrol dengan peserta lainnya. Sebagai morning person, rencananya pagi-pagi aja keliling komplek, sambil ngulik cerita teman-teman. 

Kenapa sebelumnya saya bilang saya ‘pulang kampung’ ke Jakarta, karena acara TN 2014 dipusatkan di anjungan Jawa Tengah itu (saja). Waktu masuk komplek TMII saya mikir, coba kalau acara ini di anjungan Toraja atau Sumbar gitu, lebih menarik kan, buat saya? Menginap di rumah Tongkonan, atau rumah Gadang, pasti seru kan?

Joglo Tempat Menginap
Ya gitu deh, orang suka menganggap sesuatu yang dekat itu biasa. Nah, jalan-jalan di dalam anjungan Jawa Tengah melihat replika candi-candi, juga  gebyok penuh ukiran, jelas tidak membuat saya terpesona. Lha wong, sudah sering lihat aslinya. Lain buat Rijal dari Aceh yang saya ‘paksa’ foto di depan replika mini –banget- candi Borobudur hehehe. Semoga bisa segera sampai ke tempat aslinya ya. 

Selesai acara jalan-jalan yang tak jauh-jauh ini, kita sempat duduk-duduk bareng di ruang tamu. Kesempatan untuk berbagi pengalaman dan cerita seputar dunia penulisan. Kebetulan mbak Ruwi Meita (Pemenang I Cerpen) juga sudah sampai. Jadilah kami bersebelas -sudah ada Romario, mahasiswa Sastra Jepang (Pemenang II Cerpen)- ngariung sambil bertukar cerita.



Excited banget mendengar para penulis berbicara dengan logat yang berbeda. Palembang, Makassar, Madura, Aceh, Jakarta, Cianjur, Jawa,…. Seperti lagu. Kan nggak asyik kalau nadanya satu aja. Enak didengar kalau berbeda-beda, tapi harmonis. Nyanyi membelai jiwa…. ***Ah, mau sok nulis puisi nanti digetok sama yang lainnya. :P

Nah, sekarang ngomongin cerita para pemenang, seperti karya yang sudah pernah saya singgung sebelumnya, masing-masing penulis di TN ini memang menuliskan ‘sesuatu’ dari daerah masing-masing. 

Mbak Anggun misalnya, (Nostalgia Dua Moyang – Pemenang II Non Fiksi) membawa cerita dari Tangerang tentang perpaduan dua budaya yang serasi satu sama lainnya. Rizal Alief (Gaik Bintang – Pemenang III Novel) menceritakan budaya nikah dini di daerah Madura, tempat tinggalnya. Saya sampe miris dengar latar belakang ceritanya.

Daeng Didin (Kasipalli Ri Butta Kajang – Pemenang I Puisi) dan Bang Gegge (Ayah dan Ibu, 1 Ramadhan Ini Saya Tidak Pulang – Pemenang I Non Fiksi) juga bercerita tentang adat di daerahnya di Makassar sana. Aseli saya ngaku lupa detailnya cerita ini, meskipun sudah sempat nanya. 

Lain lagi puisinya Faisal Oddang (Menjelang Akad Nikah) dan cerpen Guntur Alam (Jam Kai di Meja Sembahyang Makan Malam) yang belum sempat saya kulik ceritanya. So little time, too much information to ask

Jadi, so, maka…. Untuk TN 2015 (semoga masih ada *fingercrossed), kita harus mulai menggali cerita-cerita lokal yang menarik. Apa harus dari daerah sendiri? Enggak juga sih, meski sebetulnya cerita yang dekat dengan kita kan banyak. Saatnya bangga dan mempromosikan daerah masing-masing, bukan?  

Nah, kalau sudah punya resep yang oke (alias cerita yang menarik) jangan lupa diberi ekstra topping. Ini sih ceritanya mbak Ruwi Meita (Pulung Gantung – Pemenang I Cerpen). Mba Ruwi menuliskan tentang fenomena gantung diri di daerah Gunung Kidul, yang di-mixed dengan keberadaan situs-situs di daerah sana. Ini pasti karena mbak Ruwi sering nulis cerita-cerita petualangan, jadi cerpennya berbau-bau misteri. Pengen baca, Mbaak.

Selain karya masing-masing di TN 2014, pembicaraan para penulis ya seputar penerbit (dan royaltinya hehe),  seluk beluk lomba-lomba menulis, dan acara TN ini sendiri. Intinya sih, kami ini kepingin Tulis Nusantara semakin maju di masa datang. Inginnya juga tahun depan ikutan lagi dan semoga kami bisa reunian lagi. Hihihi. *digetoksamayanglain

Bersambung ... (3) Tulis Nusantara 2014: Panggung Penari dan Bon Jovi