Pages

Friday, October 25, 2019

Menebar Kabar Baik dari KBA Desa Menari Tanon


Matahari bersinar cerah ketika anak-anak, kaum muda, orang tua dan sesepuh desa di dusun Tanon, Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang berkumpul di pekarangan warga yang disulap menjadi panggung pertunjukan. Hawa sejuk pegunungan masih terasa di tengah terik matahari yang menyinari panggung berlapis karpet merah. Berbaur di sana bersama warga, para tamu undangan dan pengunjung yang sengaja hadir untuk menyaksikan pembukaan Festival Lereng Telomoyo 2019. 



Dusun Tanon tempat festival dilangsungkan berjarak sekitar 60 kilometer dari kota Semarang, ibu kota Jawa Tengah dengan waktu tempuh satu jam jika mengendarai mobil. Untuk menuju Tanon, kita bisa melewati jalan menuju wilayah Kopeng yang sudah lebih dulu dikenal sebagai tempat wisata berhawa sejuk di lereng Gunung Merbabu. Jika tiba di Polsek Getasan, berarti sudah semakin dekat dengan tujuan. Jalanan berlapis aspal berkelok sebelum tiba di gapura dusun. Bus berukuran medium bisa menjangkau wilayah desa di lereng gunung Telomoyo ini. 

Rumah-rumah warga dusun Tanon
Di hari-hari biasa keadaan dusun Tanon tidak jauh beda dengan kawasan pedesaan pada umumnya. Suasana cenderung sepi ditingkahi kicauan burung berpadu dengan desir angin diantara pepohonan bambu. Rumah-rumah warga berjajar di sepanjang jalan desa, yang meskipun sebagian diantaranya sudah bertembok bata seperti rumah di perkotaan, pada umumnya memiliki halaman luas dan asri dengan pepohonan. 
Gapura Desa Menari KBA Tanon
Sebuah gapura bata merah, dengan tulisan Desa Menari – Kampung Berseri Astra – Tanon Ngrawan, menyambut di ujung jalan desa yang sudah dibeton. Yang berbeda dari hari biasa adalah janur dan penjor yang dipasang di sepanjang jalan menandai jalan menuju tempat keramaian festival. 

FESTIVAL LERENG TELOMOYO 2019


Hari itu, 12 Oktober 2019, setidaknya ada empat pelataran warga yang digunakan untuk menggelar hajatan warga Tanon ini. Festival Lereng Telomoyo akan digelar selama dua hari. Pembukaan festival dipusatkan di satu panggung utama, dengan latar belakang dinding dari bata merah bertuliskan “Desa Menari”. Di satu sisi seperangkat gamelan untuk mengiringi aneka pertunjukan telah disiapkan. Kursi-kursi ditata di sisi yang lain dan di depan panggung.
Tari Geculan Bocah
Sekelompok anak lincah menarikan “Geculan Bocah”. Sebuah tarian hasil adaptasi dari Tari Warok, yang sudah disesuaikan gerakannya untuk ditarikan anak-anak. Tarian ini sukses membangkitkan tawa penonton karena gerakan dan musiknya yang lucu dan atraktif. 

Sebelumnya sebagai pembuka ada tarian “Lembu Tanon” yang mengisahkan tentang profesi masyarakat Tanon sebagai peternak sapi perah. 
Permainan Tradisional; Enggrang
Ibu-ibu memainkan lesung
Selepas sambutan dan pertunjukan tari di panggung utama, acara festival bergeser ke teras dan pekarangan warga lainnya untuk menyaksikan aneka dolanan tradisional, salah satunya permainan lesung oleh ibu-ibu, dan eggrang oleh para pemuda. Tak lupa penonton mendapatkan kesempatan untuk mencoba bermain. 
Pertunjukan Pantomim oleh Mas Tata
Di pelataran yang lain, pemain pantomim sedang bersiap-siap untuk pentas. Mas Tata dari Solo, menggelar pertunjukannya di tengah-tengah halaman yang juga digunakan untuk pasar rakyat. Di pasar rakyat, warga Tanon menjual aneka hasil pertanian, buah-buahan, juga masakan khas desa.
Kegiatan Pasar Rakyat 
Sementara itu sebagian ibu-ibu dibantu mahasiswa yang sedang menempuh KKN (Kuliah Kerja Nyata) mulai menyiapkan hidangan untuk makan siang. Aneka camilan juga sudah disiapkan dalam toples-toples di rumah-rumah warga yang terbuka bagi setiap pengunjung festival. 
Ibu-ibu memasak untuk kegiatan festival
Hidangan makan siang hasil kerjasama warga
Di salah satu sudut rumah beberapa remaja putri sedang merias diri. Mereka bersiap untuk pertunjukan tari Topeng Ayu, yang akan digelar selepas waktu makan siang. Tarian Topeng Ayu merupakan metamorfosis dari Tari Topeng Ireng yang dikreasikan menjadi tarian selamat datang. Gerakannya terinspirasi dari perjuangan kehidupan. 

Penari Topeng Ayu, sedang bersiap sebelum pentas.
Pada hari itu sekurangnya ada empat pelataran warga dipakai untuk menggelar festival. Belum termasuk rumah-rumah warga yang juga digunakan untuk segala kegiatan persiapan dan penyelenggaraan hajatan itu. Pendek kata, seluruh elemen masyarakat berpartisipasi sesuai dengan kemampuannya. 

Selain menikmati aneka suguhan kesenian dan dolanan rakyat, pengunjung festival juga diajak menilik kegiatan sehari-hari masyarakat yang berprofesi sebagai peternak sapi perah. Pengunjung diajak menengok kandang sapi warga yang biasanya terletak di samping atau di bagian belakang rumah. Rata-rata ada tiga ekor sapi di dalam kandang, yang harus diperah setiap harinya. Pengepul susu yang akan mengambil ke rumah-rumah warga di waktu-waktu tertentu. 

Profesi warga Tanon sebagai peternak sapi perah.
Selain aneka kegiatan kesenian di atas, Festival Lereng Telomoyo 2019 juga dilengkapi dengan posko pelayanan kesehatan dan fisioterapi untuk melayani warga dengan kerjasama dari Ikatan Apoteker Indonesia. 

Di tengah-tengah kemeriahan Festival Lereng Telomoyo 2019, ada satu sosok yang seolah menjadi magnet dan memancing perhatian pengunjung. Dia adalah Trisno, pemuda asli dusun Tanon yang menjadi warga pertama yang berhasil menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. 

Tetapi bukan hanya karena itu pemuda kelahiran Tanon 38 tahun yang lalu ini menjadi sosok yang inspiratif di desanya. Trisno adalah sosok penerima Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards di tahun 2015. 

Waktu diskusi pengunjung festival bersama Trisno, Astra dan Perhumas.
Siang itu saya bersama rombongan dari Astra dan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) menikmati hidangan hasil masakan ibu-ibu yang lezat, sembari mendengarkan cerita dari TrisnoSang Ikon kebanggaan Desa Menari tentang desanya.  

KISAH CINTA TRISNO DAN TANON

Trisno, pemenang penghargaan SATU Indonesia Award 2015
Trisno dalam bahasa Jawa berarti cinta. Rupanya nama yang melekat pada dirinya juga membuahkan perasaan cinta yang dalam pada tanah kelahirannya, dusun Tanon. Cerita panjang menyertai perjalanan Trisno dan Tanon hingga dikenal sebagai Desa Menari seperti sekarang. 

Warga Tanon turun temurun menetap di dataran tinggi dan dikenal sebagai petani dan peternak. Dusun ini di zaman dulu bahkan terhitung sebagai wilayah yang terbelakang. Namun kondisi yang serba terbatas tidak menyurutkan semangat Trisno untuk maju. 

Sejak SMA Trisno sudah gemar membaca buku-buku yang membuat dirinya termotivasi untuk meningkatkan kapasitas dan menyadarkan dirinya akan pentingnya pendidikan. 

“Hal itu membuat saya bercita-cita meraih pendidikan setinggi mungkin. Bahkan sekarang saja saya masih ingin menempuh studi lebih lanjut jika waktu dan keadaan memungkinkan,” tutur Trisno. 

Trisno berprinsip: Pendidikan adalah salah satu pilar atau pemicu untuk kemajuan masyakarakat. 

Orang tua Trisno, mendorong semua anaknya untuk menempuh jenjang pendidikan maksimal mungkin dan semampu yang bisa diraih. Dukungan dari orang tua Trisno tetap kuat meski lingkungan sekitar tidak mendukung. 

Berkat dukungan dari orang tuanya, Trisno kemudian menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2005. 

Kecintaan Trisno pada desanya tak pernah luntur meskipun telah mengecap kehidupan kota semasa kuliah. Justru tekadnya untuk kembali ke desa dan membangun desanya semakin hari semakin menguat. 

Trisno menyebutkan tahun 2006 adalah tahun pertama dia mencoba program pemberdayaan desa. 

Sesuai dengan niatnya untuk kembali setelah belajar di kota, di tahun 2006 itu Trisno kembali ke desa dan memulai langkah pemberdayaan di wilayah kecamatan Getasan dan Ampel. Fokus Trisno adalah masuk dari bidang peternakan, karena profesi masyarakat setempat adalah petani dan peternak. Niat Trisno adalah memasukkan keilmuan yang didapatnya dari kampus ke lini peternakan rakyat. 

Kegiatan pemberdayaan ini berjalan selama tiga tahun, dan selama kurun waktu tersebut berhasil mendatangkan program-program CSR (Corporate Social Responsibility) dari pihak swasta dan juga telah berhasil berinteraksi dengan banyak pakar dari berbagai perusahaan. 

“Tetapi setelah saya eveluasi, saya merasa ada kegagalan meskipun oleh orang luar tampak berhasil,” tutur Trisno. 

Rupanya apa yang sudah ada dirasa tidak sesuai dengan konsep Trisno yang ingin membangun sebuah laboratorium sosial. Maka di tahun 2009 Trisno mulai menginisiasi kegiatan yang sesuai dengan konsepnya dengan cara melakukan konservasi profesi asli masyarakat petani dan peternak, dolanan tradisional, dan kesenian lokal. 

“Saya miris karena profesi-profesi asli masyarakat di desa kehilangan generasi penerus. Anak muda jarang yang mau meneruskan profesi orang tuanya.” 

Trisno harus mencari cara agar anak-anak muda mau kembali ke kampung halamannya.

PENDEKATAN WISATA UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Trisno bersama rombongan dari bidang kesehatan yang mendukung kegiatan festival.
Berdasarkan keprihatinan itu Trisno akhirnya menemukan konsep yang cocok untuk Tanon, yaitu dengan pendekatan wisata. Jika desa diibaratkan sebuah rumah, salah satu pintu masuk yang efektif menurut Trisno adalah dengan wisata. Hal ini dipelajari Trisno setelah sebelumnya merasa gagal masuk ke jantung ekonomi masyarakat petani dan peternak. Wisata adalah pintu masuk untuk memberdayakan masyarakat dari berbagai sisi. 

Melalui pendekatan wisata, kegiatan pemberdayaan di wilayah Tanon mulai berjalan, hingga di tahun 2012 warga berkomitmen bergabung untuk bersama-sama mengembangkan desa menjadi lebih terbuka dengan pendekatan wisata. Semakin hari masyarakat semakin merasakan manfaat berkembangnya dusun secara ekonomi, sehingga semakin banyak juga partisipasi masyarakat yang didapatkan. 

Warga Tanon mengembangkan wisata berbasis konservasi, yang artinya berbasis pelestarian atau perlindungan. Pendekatan ini berbeda dengan wisata di tempat lain pada umumnya, yang biasanya membangun obyek-obyek untuk wisata. Di Tanon, seluruh aktivitas masyarakatlah yang menjadi daya tariknya. Kegiatan masyarakat yang melakukan aktivitas sehari-hari seperti bertani, beternak, termasuk dolanan tradisional, dan pasar rakyat adalah yang dijual kepada pengunjung. Konsekuensinya jika tidak ada jadwal kunjungan, dusun Tanon terlihat sepi. 

Pendekatan pariwisata ini dipilih karena karakternya bersifat ke dalam dan ke luar. Yang pertama pariwisata bersifat ke dalam artinya memberikan pemasukan. Masukan yang dimaksud Trisno bukan semata-mata ekonomi, tetapi berarti membuka akses bagi masyarakat Tanon. Dengan berinteraksi dengan pihak luar, wawasan masyarakat bisa berubah dan berkembang, tetapi tetap mengonservasi aktivitas-aktivitas lokal. 

“Paket-paket wisata yang dijual di sini adalah paket-paket aktivitas yang biasa dilakukan masyarakat sehari-hari.” 

Karakter pariwisata yang kedua adalah bersifat ke luar, sehingga masyarakat bisa berpromosi hingga ke luar wilayah Tanon. Perkembangan teknologi juga telah dirasakan sebagai sarana untuk memperluas cakupan informasi mengenai Tanon, melalui sosial media semakin banyak pihak yang mengetahui tentang kegiatan di Tanon. 

Secara bertahap setelah melakukan pendekatan wisata, masyarakat Tanon mulai mengalami perubahan. 

KEBERSAMAAN ADALAH MODAL UTAMA 

Kemajuan bertahap di Desa Menari hasil gotong royong banyak pihak.
Sejak awal jika ditanya, dari mana mendapatkan dana untuk memajukan desa? Trisno selalu yakin untuk berusaha mandiri. Prinsip Trisno adalah “tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”. 

“Kita bukannya anti bantuan. Tapi kita ingin ketika diberi bantuan dari pihak manapun itu, karena mereka memandang kita layak untuk dikembangkan, bukan karena kita meminta belas kasihan.” 

Trisno terus menggelorakan semangat untuk mandiri itu kepada masyarakat. Diawali dari modal 200 ribu rupiah, yang diwujudkan dalam bentuk lincak (kursi) sebagai tempat warga berkumpul, dusun Tanon semakin berkembang. 

“Intinya adalah semangat gotong royong. Ibaratnya siapa yang punya bambu menyumbang bambu, yang punya tenaga menyumbang tenaga,” jelas Trisno mantap. 

Semangat gotong royong ini diperlukan, karena pemberdayaan tidak bisa dilakukan sendirian. 

Trisno bersama masyarakat kemudian membranding Tanon menjadi “Desa Menari” yang memiliki dua arti. Arti yang pertama karena masyarakat Tanon adalah pelestari kesenian tari. Kegiatan menari adalah hobi kolektif atau aktivitas yang menyatukan warga masyarakat.

Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori: MENARI
Menari dalam arti yang lebih luas adalah akronim dari “Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori”. 

Trisno menjelaskan, Desa Menari Tanon menyediakan wisata nostalgia, budaya, dan pembelajaran

Masyarakat yang datang ke Tanon bisa merasakan harmoni atau keselarasan, melalui interaksi dengan warga masyarakat dan alam di sekitarnya. 

“Orang kota yang datang ke Tanon bisa kembali ke ritme kehidupan masyarakat desa dan slowing down, lebih lambat. Jadi bisa bergerak seiring dengan irama alam yang lembut namun kuat,” ujar Trisno. “Kalo di Jakarta harus bayar mahal. Di sini cuma beraktivitas dengan masyarakat, sudah bisa rileks.”

Apa yang dilakukan oleh Trisno bersama warga masyarakat sejak tahun 2012 terus mengkristal, dan terjawab di tahun 2015. Kegiatan yang dilakukan dengan penuh kegigihan bersama ini akhirnya dilirik oleh Astra. Trisno mewakili masyarakat dusun Tanon mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Award kategori lingkungan oleh PT Astra International, Tbk. 

Munculnya sosok Trisno sebagai pemenang penghargaan dari Astra membuat nama Tanon ikut dikenal khalayak luas. Di tahun berikutnya Desa Menari Tanon juga menjadi Kampung Berseri Astra yang pertama di Jawa Tengah. 

SENTUHAN ASTRA DI DESA MENARI


Kampung Berseri Astra (KBA) merupakan program Kontribusi Sosial Berkelanjutan Astra yang diimplementasikan kepada masyarakat dengan konsep pengembangan yang mengintegrasikan empat pilar program yaitu Pendidikan, Kewirausahaan, Lingkungan dan Kesehatan. 

Wiwik Setyowati, Manager Environment and Social Responsibility Division PT. Astra International Tbk menjelaskan bahwa selama ini Astra melakukan pemilihan desa yang layak untuk dijadikan KBA dengan cara Social Mapping

Social Mapping atau pemetaan sosial adalah proses penggambaran masyarakat secara sistematik melalui pengumpulan data dan informasi tentang masyarakat tersebut. Keberhasilan program-program pemberdayaan masyarakat dan CSR bisa dibilang ditentukan oleh ketepatan dalam melakukan social mapping ini. 

Dijelaskan oleh Wiwik bahwa bagi Astra setiap KBA itu berbeda dan memiliki ciri khasnya masing-masing. Sampai saat ini Astra selalu mencari desa-desa yang cocok untuk dikembangkan salah satunya dengan cara bekerja sama dengan pemerintah pusat, melalui Kemendes yang memiliki data yang mengerucut sampai ke bawah. 

Desa yang dipilih oleh Astra tidak hanya yang siap secara fisik, tetapi yang paling penting adalah kesiapan dari SDM (Sumber Daya Manusia) di desa. “Mereka harus siap untuk maju,” jelas Wiwik. 

Untuk di dusun Tanon, Astra mengambil pendekatan awal dengan mencari seseorang sebagai simbol atau tokoh yang bisa diajak untuk membesarkan kampungnya. Dengan adanya tokoh dari masyarakat sendiri, sebuah desa bisa bertransformasi menjadi desa yang lebih sejahtera. 

Dari sanalah, Astra bertemu dengan Trisno. 

Disebutkan Trisno, kehadiran Astra di Desa Menari mempercepat perkembangan desa. Empat Pilar Program dari Astra berjalan seirama dengan Tanon, yang meskipun sederhana, terus berkembang tanpa melupakan kearifan lokal. 

Untuk bidang pendidikan, melalui program Beasiswa Astra Lestari, 36 anak dusun Tanon mendapatkan beasiswa mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Sosok Trisno juga menjadi role model bagi anak-anak untuk bersekolah setinggi-tingginya. 

Trisno sendiri sejak awal fokus pada program-program pendidikan non formal, antara lain diskusi dan kerja sama dengan perguruan tinggi untuk kegiatan di desa seperti pertanian. Dengan metode ini, warga desa bisa berinteraksi dengan berbagai pihak untuk mendapatkan pengetahuan. 
Kebun warga dusunTanon
Untuk program kesehatan, gerakan pemeriksaan kesehatan gratis, dengan cara jemput bola ke pertemuan-pertemuan warga dilakukan. Warga diberikan layanan cek kesehatan seperti asam urat dan kolesterol. Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) juga didirikan untuk memberikan layanan pencegahan penyakit tidak menular. 

Dari sisi kewirausahaan, dengan semakin majunya Desa Menari, seluruh aktivitas masyarakat dapat menjadi obyek wisata yang memberikan pemasukan. Sebagai desa wisata, rumah-rumah warga disiapkan menjadi homestay. Trisno mengatakan bahwa hanya rumah-rumah yang dihuni oleh keluarga saja yang bisa dijadikan homestay. Hal ini agar sesuai dengan konsep Desa Menari bahwa setiap pengunjung bisa merasakan kehidupan desa senatural mungkin. 
Rumah-rumah warga menjadi Homestay

Di bidang lingkungan, penataan zonasi, pembenahan lokasi untuk pasar rakyat juga mendapatkan dukungan dari Astra. Termasuk penataan kawasan seperti tempat untuk outbound dan penataan homestay. Astra juga melakukan upaya konservasi mata air untuk wilayah Tanon. 

PANGGUNG APRESIASI KESENIAN LOKAL

Tema Festival Lereng Telomoyo 2019 adalah Sumunaring Telomoyo dalam Mewujudkan Keseimbangan Hidup. Sama seperti kegiatan Festival Lereng Telomoyo yang pertama di tahun 2017, kegiatan Festival Lereng Telomoyo 2019 juga mendapatkan dukungan dari Astra, sebagai salah satu strategi untuk mengenalkan KBA ke khalayak yang lebih luas. 

Festival Lereng Telomoyo ini adalah kegiatan desa wisata dalam rangka mengonservasi dan memberikan panggung apresiasi bagi kesenian lokal agar tetap lestari, tumbuh dan berkembang. 

Menurut Trisno salah satu kunci kelestarian adalah kepedulian. Salah satu wujud kepedulian adalah dengan membiasakan generasi muda untuk berlatih mengenali tari-tarian. Melalui festival, generasi muda Tanon mendapatkan panggung untuk tampil, sekaligus mengenalkan aneka tari-tarian kepada masyarakat luas. 
Para pemuda penabuh gamelan, pengiring tarian.
Festival ini juga merupakan wujud keprihatinan Trisno akan kurangnya wadah apresiasi bagi kesenian tradisional. “Kesenian lokal banyak sekali tapi pada mati suri karena kurang panggung apresiasi.” 

Dampaknya, menurut Trisno, banyak ditemui seniman-seniman lokal melakukan “pentas jalanan”, dan mengamen di perempatan jalan.

Tata, bersama anak-anak yang sebelumnya menarikan Geculan Bocah ketika pentas di Festival Lereng Telomoyo
“Para seniman yang tampil di festival ini datang secara sukarela,” jelas Trisno. Bagi para seniman, bisa tampil di festival Lereng Telomoyo adalah satu bentuk apresiasi bagi karya yang tidak banyak disediakan di tempat lain. 

“Berkesenian adalah cara mereka untuk berbakti pada negeri dan kemajuan bumi pertiwi.” 
Perwakilan dari Astra, pemerintah, bersama Trisno dan anak-anak penari di Pembukaan Festival Lereng Telomoyo.
Seperti disampaikan dalam pidato sambutan dari Gubernur Jawa Tengah yang dibacakan di awal pembukaan Festival yang memberikan apresiasi kepada masyarakat Tanon atas kesengkuyungannya (kebersamaannya) dalam nguri-nguri budaya. Termasuk juga memberikan apresiasi kepada Astra yang terus berkomitmen untuk meningkatkan potensi masyarakat. Harapannya semua pihak terus berkarya, mengedukasi, mencintai NKRI, menjauhi hal-hal negatif demi bangsa yang makin maju dan bahagia. 
Perwakilan Gubernur Jawa Tengah membuka Festival Lereng Telomoyo 2019

KEBERHASILAN DALAM KESEDERHANAAN

Dengan aneka pembenahan dan program yang semakin berkembang, saat ini Desa Menari Tanon menerima 1500 – 3000 pengunjung setiap tahunnya. 

Namun bagi Trisno, bukan banyaknya jumlah pengunjung yang menjadi tolok ukur keberhasilan Desa Menari, melainkan adalah seberapa banyak nilai-nilai dari Tanon yang berhasil disebarkan kepada orang lain. 
Trisno bersama seniman dan pengunjung festival berbaur menjadi satu.
Trisno menekankan kepada masyarakat bahwa siapapun yang hadir ke Tanon adalah guru. Jadi masyarakat juga bisa memetik ilmu dari setiap pengunjung, begitu pula sebaliknya. 

“Kami berharap dari satu titik (para pengunjung) bisa mengambil inspirasi dari Tanon ini meskipun dari hal yang sederhana. Dari hal itu diharapkan bisa muncul memori yang indah. Kearifan lokal bisa menjadi oase untuk meneduhkan jiwa.” 

Hal ini juga dijelaskan Trisno sebagai kunci mengapa Desa Menari Tanon bisa bertahan sampai saat ini. Sejak awal Desa Menari berusaha konsisten untuk selalu berpijak pada kearifan lokal. Hanya hal-hal yang melekat di tengah masyarakat saja yang diangkat menjadi paket wisata, dan sengaja tidak membuat obyek. 

“Berjalan alamiah saja, hal-hal keseharian yang dijual sehingga bisa bertahan,” jelas Trisno. “Tidak mengada-adakan, apapun yang kita lakukan mengacu pada apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.” 

Resep lainnya adalah dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk berjalan dengan utuh dan mempertahankan semangat tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, berkarya lebih baik daripada meminta. 

Faktor ekonomi adalah hal yang penting dalam perkembangan suatu daerah. Sejak awal Trisno merasakan bahwa masyarakat sempat ragu apakah dengan apa adanya mereka bisa menjadi sesuatu. “Apa bisa dengan apa yang kita punya ini bisa maju?” Demikian keraguan warga. 

Trisno selalu berpesan: 

Lihatlah sesuatu yang sederhana dari sudut pandang yang berbeda. Lihatlah hal-hal yang sangat sederhana dari diri dan lingkungan kita dari sudut pandang yang berbeda, 

Lakukan dengan pendekatan dengan berbeda, nikmati prosesnya dan yakin hasilnya pasti akan berbeda. 

MENYIAPKAN GENERASI PENERUS

Senada dengan Astra, Trisno menyadari bahwa kesiapan SDM di Tanon baik dari segi pendidikan maupun partisipasi msyarakat adalah salah satu kunci terpenting sekaligus menjadi tantangan untuk keberhasilan Desa Menari. Tantangan lainnya adalah dukungan dari pemerintah dan kesiapan infrastruktur. Namun begitu tantangan terberat adalah bagaimana bisa menjaga konsep bahwa Desa Menari sebagai laboratorium sosial. Bukan pendapatan besar yang menjadi tolok ukur keberhasilan.

Untuk menjaga konsep ini tetap berjalan, masyarakat harus bisa berperan secara maksimal. Trisno mengatakan agar masyarakat mau berperan adalah dengan cara mengajak warga untuk aktif berorganisasi, dan juga dengan mencari "orang-orang kunci" di setiap titik. Trisno mulai membagi perannya dengan meregenerasi para pemuda untuk bertanggung jawab pada titik-titik aktivitas desa, seperti tim pasar rakyat, homestay, dan outbound.

"Sekarang saya hadir di sini memang sebagai figur (ikon), tapi kegiatan-kegiatan festival ini bisa berjalan dengan PIC -penanggung jawab-nya  sendiri-sendiri."  Dengan menggerakkan warga khususnya pemuda secara aktif, Trisno mulai menyiapkan generasi penerus bagi keberlangsungan Desa Menari.

Di tengah pesatnya kemajuan desanya, Trisno masih memiliki visi jangka panjang untuk Tanon. Visi Trisno dalam jangka panjang adalah ingin membentuk Perusahaan Sosial berbasis Kepala Keluarga. Tanon, lebih luas Ngrawan dan sebagainya dibayangkan Trisno bisa di manajemen seperti sebuah perusahaan. 

“Artinya seluruh potensi yang ada di desa menjadi potensi daya ungkit ekonomi. Kita tetap menjadi orang desa, berkegiatan ala desa tetapi termanajemen secara modern,” ujar Trisno. “Saya berharap kepemilikan saham di usaha yang berada di tengah tengah masyarakat dimiliki oleh setiap kepala keluarga yang ada di tengah-tengah masyarakat itu sendiri sehingga distribusi hasil dan manfaat betul-betul dirasakan setara oleh masyarakat Tanon dan sekitarnya.” 

KABAR BAIK DARI DESA MENARI 

Perkembangan profesi asli masyarakat pedesaan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi kadang memaksa para pemuda meninggalkan desanya untuk mencari mata pencaharian baru. Hal ini juga disampaikan Trisno, bahwa ada paradigma yang tertanam bahwa dengan bekerja di luar desa, seperti di toko, atau pabrik, membuat penduduk desa merasa naik kelas. 

Namun satu hal yang terus diyakini Trisno bahwa kehidupan masyarakat desa dengan segala kesederhanaannya memiliki potensi untuk berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Kebudayaan dan pelestariannya bisa terus bergerak dinamis sesuai dengan kehidupan masyarakat modern dan perkembangan teknologi. 

Modifikasi yang dilakukan pada aneka jenis profesi, pada tarian-tarian, bukan berarti meninggalkan tradisi tapi menyelaraskan perubahan dengan tradisi, pakem dan aturan yang sudah ada. Dengan demikian, kehidupan asli, esensi dari profesi asli masyarakat desa tidak hilang, justru semakin lestari dari generasi ke generasi. 

Kehidupan masyarakat desa dengan profesi dan kegiatannya bisa tampil harmonis di tengah-tengah masyarakat yang semakin modern. 
Pemuda pelestari seni tradisi, mengenakan kostum tari Topeng Ayu, selepas pentas. 
Hari itu di Desa Menari Tanon, para pengunjung bisa melihat banyak hal-hal baik dari kehidupan masyarakat desa yang bisa kita ambil pelajaran dan dijadikan inspirasi. Seperti ajakan dari Perhumas, untuk "membangun narasi yang baik", menuliskan cerita tentang Trisno dan Tanon adalah salah satu upaya untuk mengabarkan kabar baik itu kepada lebih banyak pihak.

Sungguh sebuah kabar baik, dengan melihat perkembangan Desa Menari, dan semakin bertambahnya partisipasi masyarakat, tidak hanya dari para orang tua, tetapi juga dari anak-anak dan para pemudanya, harapan kita bangkit bahwa profesi masyarakat desa dan kesenian tradisi akan tetap lestari, tidak hanya bagi dusun Tanon, tapi juga bagi seluruh negeri.

Seperti semangat Trisno: 

“Mengabdi pada tanah kelahiran sama dengan mengabdi pada Indonesia.” 

Tarian Topeng Ayu
Tarian Topeng Ayu yang ditarikan oleh pemuda pemudi Tanon mengakhiri kunjungan saya di dusun Tanon. Matahari mulai tergelincir ke Barat. Rasanya ingin kembali ke desa ini untuk menyatu dengan denyut kehidupan masyarakat pedesaan yang asri, merasakan keramahan masyarakat desa yang menyambut kita bak saudara.


Seperti syair yang dinyanyikan dalam tarian Topeng Ayu: 

Muda-mudi ing Dusun Tanton Paring hiburan 
(Pemuda dan pemudi di desa Tanon memberikan hiburan)
Mugo-mugo tambah seduluran 
(Semoga menambah saudara)


Dari KBA Desa Menari Dusun Tanon, Sejahtera Bersama Bangsa 

#KitaSATUIndonesia #IndonesiaBicaraBaik #LFAAPA2019SEMARANG

Sosial Media Desa Menari Tanon:
IG @desawisatamenari

Foto-foto: Dokumentasi Pribadi

4 comments:

  1. Tulisannya lengkap dan detail banget, Mbak Win. Aku paling suka sama tari Geculan Bocah dan tari Topeng. Seneng banget ya akhirnya bisa menghadiri festival lereng telomoyo 2019.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Soalnya cerita Kang Tris memang banyak bisa digali untuk jadi inspirasi bagi pengembangan desa wisata lainnya. Seneng banget bisa ke sana. :))

      Delete
  2. Tulisannya komplit banget mbak Winda. Usaha Trisno memang layak diapresiasi. Semoga Tanon dapat berkembang terus sesuai impian Trisno.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin.. senang kalau ada Desa Wisata yang bisa terus bertahan dan maju.

      Delete