Wednesday, November 20, 2019

Melestarikan Jiwa Cagar Budaya Indonesia - Sobokartti



“We cannot escape history”
(Kita tidak dapat melarikan diri dari sejarah)
Abraham Lincoln 


Selama ratusan tahun, bangsa Indonesia hidup dalam masa penjajahan bangsa Eropa. Berdasarkan catatan sejarah, bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis, diikuti Spanyol, Inggris dan Belanda. 

Tak dapat dipungkiri, meski masa penjajahan menyisakan banyak kisah dan kenangan yang memprihatinkan, masih ada sisa-sisa peninggalan masa lampau yang dapat dipetik hikmahnya oleh bangsa Indonesia saat ini. 

Salah satunya adalah dengan mengambil pelajaran dari peninggalan berupa bangunan-bangunan kuno di pelbagai wilayah di Indonesia. 

Bangunan-bangunan tua yang masih berdiri di kota-kota di Indonesia, seakan menjadi saksi sejarah, tidak hanya tentang kehidupan di masa lampau, melainkan juga tentang perjalanan bangsa Indonesia dengan berbagai kisahnya. Di Surabaya ada Hotel Oranje (kini Hotel Majapahit) yang dibangun pada tahun 1916 dan pada era penjajahan Jepang berganti nama menjadi Hotel Yamato. Di sana pernah terjadi insiden penyobekan bendera Belanda menjadi bendera Merah Putih yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah nan heroik. Di Bandung, ada Hotel Savoy Homann yang menjadi saksi bahwa bangsa Indonesia pernah menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika. 

Bangunan peninggalan era Kolonial yang seringkali dibangun dengan tetes keringat dan darah para bumiputera itu penting artinya bagi generasi penerus. Setiap bangunan memiliki kisah sejarah yang bisa menjadi pembelajaran bagi generasi di masa datang. 

(Dok Pribadi)

PELESTARIAN BANGUNAN BERSEJARAH

Beragam upaya telah dilakukan oleh banyak kalangan, mulai dari pemerintah, swasta hingga organisasi-organisasi dan komunitas  dari dalam dan luar negeri, demi kelestarian bangunan-bangunan bersejarah di berbagai tempat di Indonesia. Meski tak dapat dipungkiri, banyak pula bangunan yang kemudian rusak dan musnah karena termakan usia tanpa mendapatkan perbaikan, atau hilang karena tergusur oleh kepentingan-kepentingan zaman yang lebih modern. 

Dilema kepentingan pelestarian bangunan bersejarah dan kepentingan ekonomi adalah hal yang sering terjadi yang berakibat pada dirobohkannya bangunan bersejarah untuk diganti dengan bangunan baru. Meskipun bangunan tersebut telah diberikan status cagar budaya oleh pemerintah. 

Pengertian Cagar Budaya dalam UU Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 adalah sebagai berikut: 

“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.” 

Terdapat lima kategori Cagar Budaya, yaitu:
1. Benda misalnya biola W.R Supratman
2. Struktur misalnya Tugu Pahlawan di Surabaya
3. Bangunan misalnya gedung Lawang Sewu di Semarang
4. Situs yaitu lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya
5. Kawasan yaitu lokasi yang memiliki dua atau lebih benda cagar budaya yang berdekatan.

Tidak mudah memang menyematkan status cagar budaya pada sebuah bangunan. Sebuah bangunan  harus memenuhi kriteria berusia 50 tahun atau lebih, dan mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, untuk bisa ditetapkan sebagai cagar budaya. Pun itu harus melewati proses verifikasi dari tim ahli. 
Bangunan berstatus Cagar Budaya
(Dok Pribadi)
Dengan status cagar budaya, sebuah bangunan berdasarkan Undang-Undang mendapatkan perlindungan dari Pemerintah. Undang-Undang Tentang Cagar Budaya mewajibkan setiap pemilik bangunan cagar budaya untuk menjaga dan memelihara bangunan miliknya. Pemeliharaan dilakukan dengan cara merawatnya untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan baik itu karena pengaruh alam dan/atau perbuatan manusia. Perawatan cagar budaya dilakukan dengan cara pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar Budaya. Untuk ini diperlukan pengawasan secara terstruktur, intensif dan konsisten. 

Dengan Undang-Undang Cagar Budaya pemerintah secara tidak langsung juga mengajak masyarakat turut berperan aktif dalam setiap upaya pelestariannya. 

Mengapa harus repot menjaga sebuah bangunan tua yang mungkin sudah lapuk dimakan zaman? Salah satu tujuan utamanya adalah  memberikan kesempatan pada generasi yang akan datang untuk dapat lebih mengembangkan pengetahuan melalui bangunan tersebut. 

“Study the past if you would define the future.”
(Pelajari masa lampau jika kamu ingin menetapkan masa depan.)
Confusius 

Pelestarian bangunan cagar budaya menjadi penting karena keberadaan bangunan-bangunan tersebut untuk dipelajari demi masa depan. Mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pelestarian cagar budaya, tidak hanya bisa dilakukan semata untuk memenuhi aturan belaka. Penting bagi masyarakat untuk tahu tentang latar belakang sejarah, dan kisah-kisah yang tersimpan bersama bisunya bangunan-bangunan cagar budaya di sekitar kita.  

SEMARANG DAN CAGAR BUDAYA


Di Semarang, ada satu kawasan kaya bangunan cagar budaya yang disebut sebagai “Little Netherland” atau “Belanda Kecil”, yang kini dikenal sebagai kawasan “Kota Lama”. Seperti namanya, kawasan di sebelah Utara kota Semarang ini tampak bak kepingan negeri Belanda. Di sana berdiri sekitar 50 bangunan kuno berupa gedung-gedung perkantoran berdampingan dengan bangunan toko, hunian dan pergudangan, sebagai saksi sejarah majunya perdagangan antar daerah, antar pulau, dan luar negeri yang dilakukan melalui kota Semarang di masa lampau. 

Kota Semarang yang terletak di pesisir Utara Jawa, dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan yang maju. Karena itu bisa dimaklumi jika Semarang lebih dikenal karena kegiatan perniagaannya ketimbang kiprahnya di bidang yang lain. Dilihat dari sisi kesenian dan kebudayaan misalnya, Kota Semarang bisa dibilang kalah pamor ketimbang kota-kota terdekat seperti Surakarta dan Yogyakarta. 

Sehingga tak mengherankan pula, jika keberadaan satu gedung kesenian, yang lokasinya tak jauh dari Kota Lama Semarang, tidak banyak diketahui, bahkan oleh warga Semarang sendiri. Padahal bangunan ini merupakan bangunan cagar budaya yang menyimpan cerita sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kesetaraan hak dalam seni budaya. 

Bangunan itu adalah Volkstheater Sobokartti, atau biasa disebut Sobokartti. 

Gedung Sobokartti Semarang
(Dok Pribadi)
Tak banyak yang tahu, bahwa dari bangunan yang tidak nampak menonjol dari jalan raya ini dapat dipetik hikmah dari ceritanya di masa lalu yang bisa menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia ke depannya.

 
Gedung Sobokartti - Tampak Depan
(Dok Pribadi)

DI BALIK KISAH PARA PENDIRI


Gedung Sobokartti adalah gedung kesenian yang terletak di jalan Dr. Cipto No. 31-33 Semarang. Dalam masa pembangunannya, Sobokartti melalui masa-masa penting dalam sejarah Indonesia, yaitu masa ketika mulai diberlakukannya Politik Etis. Pandangan Politik Etis ini beranggapan bahwa bangsa bumiputera dan bangsa Belanda harus bersatu karena saling membutuhkan. Muncul juga pandangan bahwa “Timur” dan “Barat” bisa saling mengisi dan melengkapi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. 

Pada masa itu benih-benih nasionalisme mulai muncul di masyarakat bumiputera, termasuk di bidang kebudayaan dan kesenian. Di kalangan terpelajar timbul kesadaran bahwa kebudayaan dan kesenian bumiputera tidak kalah dari kebudayaan dan kesenian Barat, karena itu perlu untuk mendapatkan perhatian dan dipelajari secara serius. 

Sementara pada masa itu, keraton sebagai pusat kesenian belum terbuka sepenuhnya bagi pihak dari luar untuk bisa mempelajari dan menikmati kesenian dari dalam keraton. Hingga pada masa itu para pemuda pelajar di Yogyakarta meminta kepada Sultan Hamengkubuwana VII agar diperbolehkan mempelajari kesenian keraton. 

Permintaan itu dipenuhi pihak keraton dengan mendirikan Kridha Beksa Wirama (KBW) pada tahun 1918. Peristiwa itu menandai awal proses demokratisasi seni pertunjukkan kraton Jawa. Sultan sendiri yang memberikan dukungan finansial bagi kegiatan-kegiatan KBW. KBW menjadi wadah untuk menyebarluaskan pendidikan seni tari bagi masyarakat umum. Tari-tarian yang tadinya hanya berkembang di dalam keraton seperti Bedhaya dan Srimpi, bisa dipelajari dan ditampilkan di luar Keraton. 

Karsten bersama istrinya Soembinah dan tiga dari empat anaknya.
(Sumber gambar: https://sobokartti.wordpress.com/)

Thomas Karsten adalah seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memiliki peran penting dalam sejarah perencanaan kota dan arsitektur di Indonesia. Atas undangan Henri Maclaine-Pont temannya semasa kuliah di Delft Belanda, Karsten datang ke Semarang pada 1914. 

Gedung-gedung karya Karsten di Semarang antara lain: Pasar Johar, Kantor Kereta Api DAOP 4, dan Kantor Asuransi Jiwasraya. Museum Sono Budoyo di Yogyakarta dan Pasar Gede di Surakarta adalah karya Karsten lainnya.

Keistimewaan Karsten tidak hanya menyangkut karya-karya arsitekturnya, melainkan juga kepedulian Karsten pada isu-isu sosial dan politik. Karsten yang beristrikan perempuan pribumi ini mengakui bahwa kebudayaan Barat membawa kemajuan, tapi dia memandang kebudayaan Barat sedang merosot. Kebudayan Timur dengan spiritualisme dan ikatan sosialnya bisa menyelamatkan Barat dari kemerosotannya itu. 

Menurut Karsten, unsur-unsur terbaik Timur dan Barat bisa digabungkan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik lagi serta membawa kemajuan bagi keduanya. Karsten mempunyai visi tentang Indonesia pasca penjajahan, di mana Timur dan Barat hidup bersama dan sederajat dalam masyarakat yang harmonis. 

Karsten banyak berhubungan dengan para intelektual Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Pangeran Mangkunegoro VII, penguasa Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Di antara Mangkunegoro VII dan Karsten terjalin persahabatan yang didasari rasa saling hormat. Keduanya disatukan oleh kepedulian pada kebudayaan Jawa. Karsten melihat sosok Mangkunagara VII sebagai model priyayi Jawa modern.
Mangkunagara VII
(Sumber Gambar: Wikipedia)
Mangkunagara VII dikenal kiprahnya dalam memajukan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat, dan salah satunya kesenian. Pada Juli 1918 atas inisiatifnya di Mangkunegaran diadakan pertemuan pertama serangkaian kongres untuk memajukan kebudayaan Jawa. Sekitar 375 utusan, sebagian diantara mereka orang Eropa, datang dari seluruh Jawa. Pada akhir kongres dibacakan mosi tentang perlunya dibentuk sebuah lembaga tetap untuk memajukan studi dan mengembangkan kebudayaan Jawa. Sekali lagi berkat usaha Mangkunagara VII pada Agustus 1917 berdirilah Java Instituut yang bertujuan ”memajukan perkembangan kebudayaan pribumi, dalam arti kata yang seluas-luasnya, di Jawa, Madura dan Bali.” (Larson, 1990) 

Untuk mewujudkan gagasan yang dipelopori oleh KBW, di Semarang Karsten bersama Mangkunegara VII mengadakan pertemuan yang dihadiri antara lain burgemeester Semarang Ir de Jonghe, Bupati Semarang RMAA Purbaningrat, GPH Kusumayuda dari kraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar ”De Locomotief”. Dalam pertemuan itu disepakati untuk mendirikan perkumpulan kesenian yang diberi nama “Sobokartti” (tempat berkarya). 

Menurut anggaran dasar Kunstvereeneging Sobokartti yang disahkan pada 6 September 1926 tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian bangsa sendiri (inheemsche kunst). 

Adapun nama Sobokartti berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu Sabhā yang berarti tempat atau ruang pertemuan dan Kīrti yang berarti perbuatan baik. 

Pada awalnya kegiatan-kegiatan Sobokartti dilakukan di paseban Kabupaten Semarang dan di Stadstuin. Tapi pada 1930 berhasil dibangun gedung kesenian di Karenweg (sekarang Jalan Dr. Cipto), yang diberi nama Volkstheater Sobokartti

JIWA DEMOKRATISASI DI SOBOKARTTI

Bangunan teater Sobokartti dari sisi Tenggara
(Dok Pribadi)
Bangunan Sobokartti saat ini mungkin terlihat tersembunyi karena tidak menghadap jalan raya di sisi Timur, melainkan menghadap Selatan. Bangunan teater Sobokartti menyerupai struktur bangunan pendopo, dengan serambi di bagian depan. Atapnya berbentuk limasan bersusun, dengan teritisan atap yang lebar. 

Soko Guru di bangunan utama Sobokartti
(Dok Pribadi)
Pondasi bangunan dibuat dari batu kali, dan berkonstruksi kayu, dengan empat soko guru sebagai pilar utama penyangga atap bangunan. Dinding bangunan terbuat dari batu bata, yang dilapisi dengan plesteran dan kemudian di cat putih.
Denah Situasi Sobokartti
(Sumber Gambar: Djudjun Rusmiatmoko, Erni Setyowati, Gagoek Hardiman, Kontribusi Lubang Angin Dan Ventilasi Udara Pada Bangunan Sobokartti Semarang Dalam Mewujudkan Kenyamanan)
Bagian serambi memiliki atap yang terpisah dari bangunan utama, berbentuk limasan. Bagian serambi ini terdapat loket untuk menjual tiket pertunjukan, sekaligus ruang tunggu bagi penonton.
Denah Gedung Sobokartti
(Sumber Gambar: Djudjun Rusmiatmoko, Erni Setyowati, Gagoek Hardiman, Kontribusi Lubang Angin Dan Ventilasi Udara Pada Bangunan Sobokartti Semarang Dalam Mewujudkan Kenyamanan)
Di ruang utama terdapat panggung pertunjukan. Penonton bisa memakai sisi lainnya untuk menyaksikan pertunjukan di panggung utama, dengan tempat duduk panjang yang bertingkat semakin tinggi ke belakang seperti pada bangunan teater. Di bagian belakang panggung utama terdapat ruangan untuk persiapan pementasan.

Serambi Sobokartti dengan Atap Limasan
(Dok Pribadi)
Serambi Sobokartti
(Dok Pribadi)
Penataan ruangan seperti itu tak lepas dari proses diskusi antara Karsten dan Mangkunagara VII yang berlangsung jauh sebelum organisasi Sobokartti berdiri tentang konsep rancangan gedung teater yang sesuai bagi seni pentas Jawa 

Karsten tidak sekedar mempertimbangkan faktor-faktor arsitektur seperti estetika, penghawaan, pencahayaan dan akustik tapi juga tentang masa depan. 

Seni pertunjukan Jawa (seperti umumnya seni pertunjukan di Nusantara) tidak mengenal pemisahan yang ketat antara penonton dan pelakon. Selain itu, koregrafi tarian Jawa dirancang untuk dinikmati dari semua penjuru (Brandon, 1967). Sementara seni pertunjukan Barat justru berusaha menciptakan realitas baru atau dunia lain yang sepenuhnya terpisah dari penonton. Karena itu Karsten berpendapat panggung ala Barat yang hanya bisa dinikmati dari satu sisi bukan tempat yang cocok untuk pementasan kesenian Jawa. 

Meski demikian, pendhapa konvensional di istana dan rumah para bangsawan yang biasa dipakai untuk menggelar seni pertunjukan Jawa juga tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Kelemahan paling mendasar pendhapa konvensional sebagai suatu teater adalah karena faktor kenyamanan penonton. Tidak ada tempat yang jelas bagi penonton apakah duduk atau berdiri, dan apakah mereka bisa melihat panggung dengan jelas, tidak dipikirkan dalam rancangan pendhapa konvensional . Bagi Karsten ini sama sekali tidak bisa diterima justru ketika “kesenjangan sosial di masyarakat harus semakin dihilangkan” (Jessup, 1985).

 
Prototype Javaanse Schouwburg oleh Karsten
(Sumber gambar: https://sobokartti.wordpress.com/)
Karsten membuat sebuah prototipe gedung teater jawa (javaanse schouwburg) yang diharapkannya bisa menjadi acuan mendirikan gedung pertunjukan di berbagai tempat yang sesuai dengan karakter seni pertunjukan Jawa. 

Di kemudian hari satu-satunya javaanse schouwburg yang berhasil dibangun berdasarkan konsep dari Karsten adalah teater Sobokartti. Karena keterbatasan dana, tidak sepenuhnya rancangan Karsten berhasil terwujud. Bangunan Sobokartti yang ada saat ini terlihat lebih kecil dan sederhana ketimbang rancanngan maket Karsten. 

Sobokartti kini
(Dok Pribadi)
Rancangan Sobokartti Karsten memiliki prinsip yang sama mewakili pandangan Politik Etis dengan memadukan hal-hal baik dari “Barat” dan “Timur” untuk mencapai keselarasan dalam desainnya. Tempat pertunjukan teater model Barat dikawinkan dengan konteks pertunjukan kesenian lokal. 

Meskipun demikian, prinsip dasar yang diterapkan tetap sama, yaitu berangkat dari sesuatu yang telah dimiliki orang Jawa sejak dulu, yang diberikan unsur-unsur “Barat” sebagai pelengkap untuk menyempurnakannya. 

TANTANGAN SOBOKARTTI SEBAGAI CAGAR BUDAYA

Logo Sobokartti Semarang
(Sumber gambar: https://sobokartti.wordpress.com/)
Penetapan Sobokartti sebagai Cagar Budaya
(Dok Pribadi)

Saat ini Sobokartti dimiliki dan dikelola oleh Yayasan Sobokartti. Status Sobokartti sebagai cagar budaya ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II Semarang no. 646/50 tanggal 4 Februari 1992. Artinya sebagai bangunan cagar budaya sudah tentu Gedung Volkstheater Sobokartti memiliki nilai signifikan yang memberi kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. 

Bangunan Cagar Budaya yang dilindungi.
(Dok Pribadi)
Sedangkan dalam situs Kemendikbud dan sistem registrasi cagar budaya, Sobokartti tercatat didaftarkan pada bulan September 2017, berstatus lolos verifikasi dan dalam tahap kajian dan penilaian tim ahli. 

(Dok Pribadi)
Saat ini keberlangsungan bangunan teater Sobokartti menghadapi tantangan yang kurang lebih sama dialami oleh bangunan-bangunan tua lainnya yang lapuk dimakan usia di wilayah Semarang. Bencana banjir, rob, dan intrusi air laut adalah tantangan yang harus dihadapi bangunan teater ini setiap musimnya. 

Banjir dari luapan Kali Banger pernah membuat bangunan utama terendam air setinggi lutut orang dewasa yang membuat semua aktivitas kesenian terhenti. Tantangan lainnya adalah menata lingkungan di sekitar teater Sobokartti agar tidak menjadi kumuh dan jorok. Saat ini sedikitnya 20 keluarga yang tinggal dan menempati (magersari) kompleks Sobokartti. 

Secara bertahap perbaikan terus dilakukan dengan membuat gorong-gorong, menyediakan dan memperbaiki sarana dan prasarana seperti MCK di lingkungan Sobokartti. Ini adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah dan murah untuk menjaga dan merawat Sobokartti agar bisa bertahan di masa depan. 
Latihan Karawitan di Sobokartti
(Sumber Gambar: Youtube)
Akan tetapi melestarikan cagar budaya bukan hanya upaya merawat secara fisik, tetapi juga menjaga jiwa dan semangat dari bangunan cagar budaya agar tetap hidup dan berkembang.

Patut disyukuri hingga saat ini bangunan Sobokartti masih mewadahi aneka kegiatan kesenian diantaranya kursus tari, kursus karawitan, pedalangan, pranatacara, bahkan kursus membatik. Di Sobokartti juga sering berlangsung perhelatan kebudayaan yang melibatkan seniman-seniman lokal termasuk pentas wayang secara rutin.

Pentas Tari Modern di Sobokartti
(Sumber Gambar: Youtube)
Yang membahagiakan adalah bahwa Sobokartti juga berhasil menarik minat generasi muda untuk belajar kesenian tradisi.
Generasi muda, laki-laki dan perempuan berlatih tari di Pendopo luar Sobokartti
(Sumber Gambar: Youtube)
Sobokartti di usianya yang menjelang 88 tahun, bisa bertahan dengan idealisme para pendirinya, sebagai tempat untuk berkarya dan tempat apresiasi karya di bidang kesenian. Hal ini patut diapresiasi. Di tengah euforia penyambutan masyarakat Indonesia pada seniman dari luar dengan panggung megah dan biaya besar, memang tak banyak panggung yang tersedia bagi para seniman lokal. Khususnya seniman tradisi. Apalah daya para seniman jika terus diharapkan berkarya tanpa apresiasi. 

Setiap generasi manusia adalah pewaris kebudayaan. Manusia lahir tidak membawa kebudayaan dari alam Garbani (alam sebelum manusia terlahir ke dunia), melainkan bertumbuh dan berkembang menjadi dewasa dalam lingkungan budaya tertentu, di mana dia dilahirkan. Perkembangan manusia dibentuk oleh kebudayan yang melingkunginya. 

Dengan hilangnya kesenian lokal dalam kehidupan sehari-hari, tak heran jika generasi muda Indonesia kemudian tak mengenali lagi kesenian asli bangsanya sendiri. 

Pertunjukan kesenian lokal di media acapkali hanya untuk memenuhi tuntutan seremonial. Selain penonton yang semakin berkurang, kesenian lokal juga terdesak karena tidak memiliki pengayom, yang mampu mendukung agar bisa tumbuh dan berkembang. Kesenian bangsa ini terancam musnah. Merupakan kewajiban kita semua untuk membuatnya lestari dan kembali berjaya di negeri sendiri. 

Meskipun tembok dan soko guru penyangga Sobokartti bisa tegak hingga puluhan tahun lagi, apalah artinya jika bertahan tanpa jiwa yang hidup di dalamnya. 



#CagarBudayaIndonesia
#KemendikbudxIIDN

Yuk berpartisipasi pada Kompetisi "Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!


Daftar pustaka dan sumber tulisan:
  • Djudjun Rusmiatmoko, Erni Setyowati, Gagoek Hardiman, Kontribusi Lubang Angin Dan Ventilasi Udara Pada Bangunan Sobokartti Semarang Dalam Mewujudkan Kenyamanan Termal, Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro
  • Marnimin (Ed), 1994, Jangan Tangisi Tradisi, Penerbit Kanisius.
  • Purwanto, L.M.F dan Soenarto, 2012, Menapak Jejak-jejak Sejarah Kota Lama Semarang, Bina Manggala Widya.
  • Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia, 2012, Tegang Bentang – Seratus Tahun Perspektif Arsitektural di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama.
  • Sriayu Aritha Panggabean, Perubahan Fungsi dan Struktur Bangunan Cagar Budaya Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Cagar Budaya, Pandecta, Volume 9. Nomor 2. Januari 2014.
  • Tjahjono Rahardjo, 2013, Javaanse Schouwburg Sobokartti dan Visi Indonesia Merdeka
  • Foto caption dari Youtube Channel UPGRI Semarang: https://www.youtube.com/watch?v=RaLd9TY1psU
  • https://sobokartti.wordpress.com/
  • https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
  • https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/
  • https://www.kompasiana.com/tag/seni

Monday, November 4, 2019

Sehari di Kampung Nyusu


Wilayah Kabupaten Semarang memiliki beragam daya tarik wisata mulai dari wisata alam hingga buatan. Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Semarang dan sekitarnya, wilayah Bandungan dan Kopeng, dikenal sebagai daerah dengan hawa dingin yang menjadi salah satu tujuan wisata keluarga.

Nah diantara puluhan daya tarik wisata di Kabupaten Semarang, ada 35 desa wisata yang kian hari semakin dibenahi untuk menarik lebih banyak lagi wisatawan ke wilayah ini. Memang wilayah Kabupaten Semarang ini masih memiliki daerah-daerah pedesaan dengan potensi wisata alami. Selain Desa Menari di Tanon Getasan, di wilayah yang berdekatan ada juga desa wisata yang terkenal dengan jargon Kampung Nyusu. 

Pas banget di hari Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 2019 kemarin, saya bareng rombongan bloger diajak oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang untuk mengunjungi Kampung Nyusu ini yaitu Desa Sumogawe di wilayah Getasan. Desa-desa di wilayah ini memang dikenal sebagai penghasil susu. Rata-rata warga memiliki sapi perah dan di sana juga terdapat koperasi peternakan sapi perah sekaligus pengolahan susu. 

Mengenal Tradisi Saparan


Hari kunjungan kami waktu itu jatuh pada hari pasaran Senin Legi, yaitu hari untuk perayaan Saparan di dusun Sumogawe. Perayaan Saparan (yang diambil dari kata: Bulan Safar dalam penanggalan Islam) sendiri merupakan tradisi di desa-desa di Indonesia terutama di wilayah Jawa. Masing-masing desa biasanya memiliki harinya sendiri. 
Suasana Jalan dusun Sumogawe
Selepas berkendara sekitar 45 menit dari kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang, kami tiba di Sumogawe. Hawa cukup sejuk karena dusun ini berada di lereng gunung Merbabu. Suasana jalan desa meriah dipenuhi pedagang yang menjajakan aneka jenis barang dari makanan hingga mainan. 
Panggung acara sudah didirikan di salah satu pelataran warga. Di satu sisi makanan khas desa seperti pisang, telo dan kacang rebus, terhidang di atas meja, bersama –tentu saja- produk khas desa Sumogawe, susu. 
Siapa yang langsung terngiang jinglenya?

Saya baru tahu kalau salah satu produk susu yang dijual keliling dengan jinglenya akrab banget di telinga saya sejak zaman kuliah, ternyata diproduksi di wilayah ini.


Waktu kami tiba di Sumogawe sekitar pukul 10 pagi, acara kirab sudah dimulai. Masyarakat Sumogawe dari berbagai kalangan, mulai dari para sesepuh desa hingga anak-anak, turut meramaikan kirab. Seluruh peserta kirab berjalan dan berbaris mengelilingi desa dengan atributnya masing-masing, termasuk membawa gunungan berisi hasil bumi seperti sayur dan buah-buahan, tak ketinggalan tumpeng dan ingkung (ayam). 
Gunungan Hasil Bumi
Peserta Kirab
Tradisi Saparan, atau juga disebut oleh pak Lurah dalam sambutannya sebagai kegiatan Merti Deso diadakan setiap tahun di hari Senin Legi. Kegiatan ini sudah dilakukan di Sumogawe sejak zaman nenek moyang. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan semua umat. Karena pada hari itu semua unsur lapisan masyarakat berkumpul.


Tidak hanya warga dusun Sumogawe saja, tapi juga warga dari dusun tetangga. Termasuk juga sahabat dan para kerabat diundang dan sengaja hadir khusus dalam rangka Saparan ini. Kami juga berbaur bersama warga menonton pertunjukan seni yaitu Tari Prajuritan, yang berkisah tentang perjuangan pangeran Diponegoro melawan penjajah. 
Tari Prajuritan
Selain panggung pertunjukan seni, acara Saparan yang mengingatkan saya pada suasana Lebaran di kampung simbah ini dimeriahkan dengan acara saling berkunjung ke rumah-rumah warga. Begitupun kami, dengan ditemani mas dan mbak dari Sumogawe yang dilatih untuk memandu pengunjung, kami turut merasakan keakraban dan keramahan warga Sumogawe, dan tentu saja, aneka masakan dan camilan yang dihidangkan di rumah-rumah. 

Alhamdulillah, kenyangnya tahan sampai besoknya. Hehe. 

Keramahan Warga desa
Seluruh warga dengan senang hati menghidangkan aneka masakan kepada siapa saja yang berkunjung ke rumahnya. Bahkan konon semakin banyak yang berkunjung, warga akan semakin senang. Semuanya merupakan wujud tanda syukur kepada Allah, dan berharap diberikan keselamatan dan panjang umur, serta murah rezeki. 

Ken Nyusu


Ada yang kurang dalam arak-arakan hasil bumi dalam acara Saparan kemarin, yaitu arak-arakan sapi, hehe. Warga desa rata-rata memiliki lima ekor sapi perah di rumahnya. Susu yang dihasilkan menjadi salah satu sumber mata pencaharian warga. 

Truk Tangki Susu di Koperasi
Susu yang dihasilkan di wilayah melimpah ini bisa mencapai 80.000 liter setiap harinya. Susu sapi yang dihasilkan, selain disalurkan ke pabrik-pabrik susu besar, oleh warga sebagiannya disulap menjadi berbagai bentuk olahan seperti sabun, pie susu, kerupuk susu, yoghurt, kefir dan es krim. Sayang hari itu kami tidak sempat mampir untuk belanja produk-produk ini. Warga juga sedang repot mengurusi acara Saparan, jadi tidak sempat membuat stok yang cukup. 

Tempat Penyimpanan Biogas
Setelah perut kenyang dengan hidangan warga Sumogawe tadi, kami diajak ke salah satu Koperasi tempat pengolahan susu sapi, sekaligus tempat peternakan sapi perah di dusun Bumiharjo masih di wilayah Getasan. Tapi lagi-lagi kami tidak tiba di waktu yang tepat, alias belum bisa melihat proses pemerahan susu sapi. Sapi-sapi itu biasa diperah hanya di waktu-waktu tertentu, pagi dan sore. Kandang sapi milik Koperasi ini juga memanfaatkan kotoran sapi sebagai biogas, untuk bahan bakar. 
Tata Cara Pemerahan Susu Sapi
Yang menarik juga dari perjalanan hari itu adalah demo pembuatan keju mozzarela di rumah warga di dusun Magersari. Menarik buat ibu-ibu kayak saya, mungkin hehehe. Ternyata keju mozzarela yang sering kita jumpai jadi topping pizza dan meleleh itu bisa juga dibuat di rumah. Malahan kalau keju produksi sendiri, kita bisa memastikan bahan bakunya lebih banyak susu asli, ketimbang bahan tambahan lainnya. 
Demo Pembuatan Keju Mozzarela
Wisata di Kampung Susu memang menyuguhkan pengetahuan kepada pengunjungnya mulai dari cara beternak hingga cara mengolah hasil ternak, alias susu. Salah satunya dengan belajar membuat keju sendiri. 

One Day Tour

Untuk siapa saja yang ingin berwisata di wilayah Kabupaten Semarang, Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang bisa memfasilitasi One Day Tour dengan biaya 150ribu rupiah per-orang. Paket ini bisa dipesan untuk minimal 15 peserta. 

Dengan biaya tersebut, rombongan mendapatkan fasilitas 1 kali makan, 1 kali snack, dan transportasi AC, dengan area penjemputan dan pengantaran bebas selama berada di wilayah Kabupaten Semarang atau kota Semarang. Jika penjemputan di luar wilayah bisa diatur dengan biaya tambahan. 

Rombongan bisa memilih tiga obyek wisata di wilayah Kabupaten Semarang, dengan syarat salah satunya adalah milik Pemda Kabupaten. Obyek wisata milik Kabupaten Semarang diantaranya adalah Candi Gedongsongo, Bukit Cinta Rawa Pening, Palagan Ambarawa, Pemandian Muncul dan Muncul Waterpark. 

Kalau tertarik mengikuti One Day Tour ini bisa cari-cari info di Instagram @pesona_kabsemarang

Friday, October 25, 2019

Menebar Kabar Baik dari KBA Desa Menari Tanon


Matahari bersinar cerah ketika anak-anak, kaum muda, orang tua dan sesepuh desa di dusun Tanon, Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang berkumpul di pekarangan warga yang disulap menjadi panggung pertunjukan. Hawa sejuk pegunungan masih terasa di tengah terik matahari yang menyinari panggung berlapis karpet merah. Berbaur di sana bersama warga, para tamu undangan dan pengunjung yang sengaja hadir untuk menyaksikan pembukaan Festival Lereng Telomoyo 2019. 



Dusun Tanon tempat festival dilangsungkan berjarak sekitar 60 kilometer dari kota Semarang, ibu kota Jawa Tengah dengan waktu tempuh satu jam jika mengendarai mobil. Untuk menuju Tanon, kita bisa melewati jalan menuju wilayah Kopeng yang sudah lebih dulu dikenal sebagai tempat wisata berhawa sejuk di lereng Gunung Merbabu. Jika tiba di Polsek Getasan, berarti sudah semakin dekat dengan tujuan. Jalanan berlapis aspal berkelok sebelum tiba di gapura dusun. Bus berukuran medium bisa menjangkau wilayah desa di lereng gunung Telomoyo ini. 

Rumah-rumah warga dusun Tanon
Di hari-hari biasa keadaan dusun Tanon tidak jauh beda dengan kawasan pedesaan pada umumnya. Suasana cenderung sepi ditingkahi kicauan burung berpadu dengan desir angin diantara pepohonan bambu. Rumah-rumah warga berjajar di sepanjang jalan desa, yang meskipun sebagian diantaranya sudah bertembok bata seperti rumah di perkotaan, pada umumnya memiliki halaman luas dan asri dengan pepohonan. 
Gapura Desa Menari KBA Tanon
Sebuah gapura bata merah, dengan tulisan Desa Menari – Kampung Berseri Astra – Tanon Ngrawan, menyambut di ujung jalan desa yang sudah dibeton. Yang berbeda dari hari biasa adalah janur dan penjor yang dipasang di sepanjang jalan menandai jalan menuju tempat keramaian festival. 

FESTIVAL LERENG TELOMOYO 2019


Hari itu, 12 Oktober 2019, setidaknya ada empat pelataran warga yang digunakan untuk menggelar hajatan warga Tanon ini. Festival Lereng Telomoyo akan digelar selama dua hari. Pembukaan festival dipusatkan di satu panggung utama, dengan latar belakang dinding dari bata merah bertuliskan “Desa Menari”. Di satu sisi seperangkat gamelan untuk mengiringi aneka pertunjukan telah disiapkan. Kursi-kursi ditata di sisi yang lain dan di depan panggung.
Tari Geculan Bocah
Sekelompok anak lincah menarikan “Geculan Bocah”. Sebuah tarian hasil adaptasi dari Tari Warok, yang sudah disesuaikan gerakannya untuk ditarikan anak-anak. Tarian ini sukses membangkitkan tawa penonton karena gerakan dan musiknya yang lucu dan atraktif. 

Sebelumnya sebagai pembuka ada tarian “Lembu Tanon” yang mengisahkan tentang profesi masyarakat Tanon sebagai peternak sapi perah. 
Permainan Tradisional; Enggrang
Ibu-ibu memainkan lesung
Selepas sambutan dan pertunjukan tari di panggung utama, acara festival bergeser ke teras dan pekarangan warga lainnya untuk menyaksikan aneka dolanan tradisional, salah satunya permainan lesung oleh ibu-ibu, dan eggrang oleh para pemuda. Tak lupa penonton mendapatkan kesempatan untuk mencoba bermain. 
Pertunjukan Pantomim oleh Mas Tata
Di pelataran yang lain, pemain pantomim sedang bersiap-siap untuk pentas. Mas Tata dari Solo, menggelar pertunjukannya di tengah-tengah halaman yang juga digunakan untuk pasar rakyat. Di pasar rakyat, warga Tanon menjual aneka hasil pertanian, buah-buahan, juga masakan khas desa.
Kegiatan Pasar Rakyat 
Sementara itu sebagian ibu-ibu dibantu mahasiswa yang sedang menempuh KKN (Kuliah Kerja Nyata) mulai menyiapkan hidangan untuk makan siang. Aneka camilan juga sudah disiapkan dalam toples-toples di rumah-rumah warga yang terbuka bagi setiap pengunjung festival. 
Ibu-ibu memasak untuk kegiatan festival
Hidangan makan siang hasil kerjasama warga
Di salah satu sudut rumah beberapa remaja putri sedang merias diri. Mereka bersiap untuk pertunjukan tari Topeng Ayu, yang akan digelar selepas waktu makan siang. Tarian Topeng Ayu merupakan metamorfosis dari Tari Topeng Ireng yang dikreasikan menjadi tarian selamat datang. Gerakannya terinspirasi dari perjuangan kehidupan. 

Penari Topeng Ayu, sedang bersiap sebelum pentas.
Pada hari itu sekurangnya ada empat pelataran warga dipakai untuk menggelar festival. Belum termasuk rumah-rumah warga yang juga digunakan untuk segala kegiatan persiapan dan penyelenggaraan hajatan itu. Pendek kata, seluruh elemen masyarakat berpartisipasi sesuai dengan kemampuannya. 

Selain menikmati aneka suguhan kesenian dan dolanan rakyat, pengunjung festival juga diajak menilik kegiatan sehari-hari masyarakat yang berprofesi sebagai peternak sapi perah. Pengunjung diajak menengok kandang sapi warga yang biasanya terletak di samping atau di bagian belakang rumah. Rata-rata ada tiga ekor sapi di dalam kandang, yang harus diperah setiap harinya. Pengepul susu yang akan mengambil ke rumah-rumah warga di waktu-waktu tertentu. 

Profesi warga Tanon sebagai peternak sapi perah.
Selain aneka kegiatan kesenian di atas, Festival Lereng Telomoyo 2019 juga dilengkapi dengan posko pelayanan kesehatan dan fisioterapi untuk melayani warga dengan kerjasama dari Ikatan Apoteker Indonesia. 

Di tengah-tengah kemeriahan Festival Lereng Telomoyo 2019, ada satu sosok yang seolah menjadi magnet dan memancing perhatian pengunjung. Dia adalah Trisno, pemuda asli dusun Tanon yang menjadi warga pertama yang berhasil menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. 

Tetapi bukan hanya karena itu pemuda kelahiran Tanon 38 tahun yang lalu ini menjadi sosok yang inspiratif di desanya. Trisno adalah sosok penerima Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards di tahun 2015. 

Waktu diskusi pengunjung festival bersama Trisno, Astra dan Perhumas.
Siang itu saya bersama rombongan dari Astra dan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) menikmati hidangan hasil masakan ibu-ibu yang lezat, sembari mendengarkan cerita dari TrisnoSang Ikon kebanggaan Desa Menari tentang desanya.  

KISAH CINTA TRISNO DAN TANON

Trisno, pemenang penghargaan SATU Indonesia Award 2015
Trisno dalam bahasa Jawa berarti cinta. Rupanya nama yang melekat pada dirinya juga membuahkan perasaan cinta yang dalam pada tanah kelahirannya, dusun Tanon. Cerita panjang menyertai perjalanan Trisno dan Tanon hingga dikenal sebagai Desa Menari seperti sekarang. 

Warga Tanon turun temurun menetap di dataran tinggi dan dikenal sebagai petani dan peternak. Dusun ini di zaman dulu bahkan terhitung sebagai wilayah yang terbelakang. Namun kondisi yang serba terbatas tidak menyurutkan semangat Trisno untuk maju. 

Sejak SMA Trisno sudah gemar membaca buku-buku yang membuat dirinya termotivasi untuk meningkatkan kapasitas dan menyadarkan dirinya akan pentingnya pendidikan. 

“Hal itu membuat saya bercita-cita meraih pendidikan setinggi mungkin. Bahkan sekarang saja saya masih ingin menempuh studi lebih lanjut jika waktu dan keadaan memungkinkan,” tutur Trisno. 

Trisno berprinsip: Pendidikan adalah salah satu pilar atau pemicu untuk kemajuan masyakarakat. 

Orang tua Trisno, mendorong semua anaknya untuk menempuh jenjang pendidikan maksimal mungkin dan semampu yang bisa diraih. Dukungan dari orang tua Trisno tetap kuat meski lingkungan sekitar tidak mendukung. 

Berkat dukungan dari orang tuanya, Trisno kemudian menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2005. 

Kecintaan Trisno pada desanya tak pernah luntur meskipun telah mengecap kehidupan kota semasa kuliah. Justru tekadnya untuk kembali ke desa dan membangun desanya semakin hari semakin menguat. 

Trisno menyebutkan tahun 2006 adalah tahun pertama dia mencoba program pemberdayaan desa. 

Sesuai dengan niatnya untuk kembali setelah belajar di kota, di tahun 2006 itu Trisno kembali ke desa dan memulai langkah pemberdayaan di wilayah kecamatan Getasan dan Ampel. Fokus Trisno adalah masuk dari bidang peternakan, karena profesi masyarakat setempat adalah petani dan peternak. Niat Trisno adalah memasukkan keilmuan yang didapatnya dari kampus ke lini peternakan rakyat. 

Kegiatan pemberdayaan ini berjalan selama tiga tahun, dan selama kurun waktu tersebut berhasil mendatangkan program-program CSR (Corporate Social Responsibility) dari pihak swasta dan juga telah berhasil berinteraksi dengan banyak pakar dari berbagai perusahaan. 

“Tetapi setelah saya eveluasi, saya merasa ada kegagalan meskipun oleh orang luar tampak berhasil,” tutur Trisno. 

Rupanya apa yang sudah ada dirasa tidak sesuai dengan konsep Trisno yang ingin membangun sebuah laboratorium sosial. Maka di tahun 2009 Trisno mulai menginisiasi kegiatan yang sesuai dengan konsepnya dengan cara melakukan konservasi profesi asli masyarakat petani dan peternak, dolanan tradisional, dan kesenian lokal. 

“Saya miris karena profesi-profesi asli masyarakat di desa kehilangan generasi penerus. Anak muda jarang yang mau meneruskan profesi orang tuanya.” 

Trisno harus mencari cara agar anak-anak muda mau kembali ke kampung halamannya.

PENDEKATAN WISATA UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Trisno bersama rombongan dari bidang kesehatan yang mendukung kegiatan festival.
Berdasarkan keprihatinan itu Trisno akhirnya menemukan konsep yang cocok untuk Tanon, yaitu dengan pendekatan wisata. Jika desa diibaratkan sebuah rumah, salah satu pintu masuk yang efektif menurut Trisno adalah dengan wisata. Hal ini dipelajari Trisno setelah sebelumnya merasa gagal masuk ke jantung ekonomi masyarakat petani dan peternak. Wisata adalah pintu masuk untuk memberdayakan masyarakat dari berbagai sisi. 

Melalui pendekatan wisata, kegiatan pemberdayaan di wilayah Tanon mulai berjalan, hingga di tahun 2012 warga berkomitmen bergabung untuk bersama-sama mengembangkan desa menjadi lebih terbuka dengan pendekatan wisata. Semakin hari masyarakat semakin merasakan manfaat berkembangnya dusun secara ekonomi, sehingga semakin banyak juga partisipasi masyarakat yang didapatkan. 

Warga Tanon mengembangkan wisata berbasis konservasi, yang artinya berbasis pelestarian atau perlindungan. Pendekatan ini berbeda dengan wisata di tempat lain pada umumnya, yang biasanya membangun obyek-obyek untuk wisata. Di Tanon, seluruh aktivitas masyarakatlah yang menjadi daya tariknya. Kegiatan masyarakat yang melakukan aktivitas sehari-hari seperti bertani, beternak, termasuk dolanan tradisional, dan pasar rakyat adalah yang dijual kepada pengunjung. Konsekuensinya jika tidak ada jadwal kunjungan, dusun Tanon terlihat sepi. 

Pendekatan pariwisata ini dipilih karena karakternya bersifat ke dalam dan ke luar. Yang pertama pariwisata bersifat ke dalam artinya memberikan pemasukan. Masukan yang dimaksud Trisno bukan semata-mata ekonomi, tetapi berarti membuka akses bagi masyarakat Tanon. Dengan berinteraksi dengan pihak luar, wawasan masyarakat bisa berubah dan berkembang, tetapi tetap mengonservasi aktivitas-aktivitas lokal. 

“Paket-paket wisata yang dijual di sini adalah paket-paket aktivitas yang biasa dilakukan masyarakat sehari-hari.” 

Karakter pariwisata yang kedua adalah bersifat ke luar, sehingga masyarakat bisa berpromosi hingga ke luar wilayah Tanon. Perkembangan teknologi juga telah dirasakan sebagai sarana untuk memperluas cakupan informasi mengenai Tanon, melalui sosial media semakin banyak pihak yang mengetahui tentang kegiatan di Tanon. 

Secara bertahap setelah melakukan pendekatan wisata, masyarakat Tanon mulai mengalami perubahan. 

KEBERSAMAAN ADALAH MODAL UTAMA 

Kemajuan bertahap di Desa Menari hasil gotong royong banyak pihak.
Sejak awal jika ditanya, dari mana mendapatkan dana untuk memajukan desa? Trisno selalu yakin untuk berusaha mandiri. Prinsip Trisno adalah “tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”. 

“Kita bukannya anti bantuan. Tapi kita ingin ketika diberi bantuan dari pihak manapun itu, karena mereka memandang kita layak untuk dikembangkan, bukan karena kita meminta belas kasihan.” 

Trisno terus menggelorakan semangat untuk mandiri itu kepada masyarakat. Diawali dari modal 200 ribu rupiah, yang diwujudkan dalam bentuk lincak (kursi) sebagai tempat warga berkumpul, dusun Tanon semakin berkembang. 

“Intinya adalah semangat gotong royong. Ibaratnya siapa yang punya bambu menyumbang bambu, yang punya tenaga menyumbang tenaga,” jelas Trisno mantap. 

Semangat gotong royong ini diperlukan, karena pemberdayaan tidak bisa dilakukan sendirian. 

Trisno bersama masyarakat kemudian membranding Tanon menjadi “Desa Menari” yang memiliki dua arti. Arti yang pertama karena masyarakat Tanon adalah pelestari kesenian tari. Kegiatan menari adalah hobi kolektif atau aktivitas yang menyatukan warga masyarakat.

Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori: MENARI
Menari dalam arti yang lebih luas adalah akronim dari “Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori”. 

Trisno menjelaskan, Desa Menari Tanon menyediakan wisata nostalgia, budaya, dan pembelajaran

Masyarakat yang datang ke Tanon bisa merasakan harmoni atau keselarasan, melalui interaksi dengan warga masyarakat dan alam di sekitarnya. 

“Orang kota yang datang ke Tanon bisa kembali ke ritme kehidupan masyarakat desa dan slowing down, lebih lambat. Jadi bisa bergerak seiring dengan irama alam yang lembut namun kuat,” ujar Trisno. “Kalo di Jakarta harus bayar mahal. Di sini cuma beraktivitas dengan masyarakat, sudah bisa rileks.”

Apa yang dilakukan oleh Trisno bersama warga masyarakat sejak tahun 2012 terus mengkristal, dan terjawab di tahun 2015. Kegiatan yang dilakukan dengan penuh kegigihan bersama ini akhirnya dilirik oleh Astra. Trisno mewakili masyarakat dusun Tanon mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Award kategori lingkungan oleh PT Astra International, Tbk. 

Munculnya sosok Trisno sebagai pemenang penghargaan dari Astra membuat nama Tanon ikut dikenal khalayak luas. Di tahun berikutnya Desa Menari Tanon juga menjadi Kampung Berseri Astra yang pertama di Jawa Tengah. 

SENTUHAN ASTRA DI DESA MENARI


Kampung Berseri Astra (KBA) merupakan program Kontribusi Sosial Berkelanjutan Astra yang diimplementasikan kepada masyarakat dengan konsep pengembangan yang mengintegrasikan empat pilar program yaitu Pendidikan, Kewirausahaan, Lingkungan dan Kesehatan. 

Wiwik Setyowati, Manager Environment and Social Responsibility Division PT. Astra International Tbk menjelaskan bahwa selama ini Astra melakukan pemilihan desa yang layak untuk dijadikan KBA dengan cara Social Mapping

Social Mapping atau pemetaan sosial adalah proses penggambaran masyarakat secara sistematik melalui pengumpulan data dan informasi tentang masyarakat tersebut. Keberhasilan program-program pemberdayaan masyarakat dan CSR bisa dibilang ditentukan oleh ketepatan dalam melakukan social mapping ini. 

Dijelaskan oleh Wiwik bahwa bagi Astra setiap KBA itu berbeda dan memiliki ciri khasnya masing-masing. Sampai saat ini Astra selalu mencari desa-desa yang cocok untuk dikembangkan salah satunya dengan cara bekerja sama dengan pemerintah pusat, melalui Kemendes yang memiliki data yang mengerucut sampai ke bawah. 

Desa yang dipilih oleh Astra tidak hanya yang siap secara fisik, tetapi yang paling penting adalah kesiapan dari SDM (Sumber Daya Manusia) di desa. “Mereka harus siap untuk maju,” jelas Wiwik. 

Untuk di dusun Tanon, Astra mengambil pendekatan awal dengan mencari seseorang sebagai simbol atau tokoh yang bisa diajak untuk membesarkan kampungnya. Dengan adanya tokoh dari masyarakat sendiri, sebuah desa bisa bertransformasi menjadi desa yang lebih sejahtera. 

Dari sanalah, Astra bertemu dengan Trisno. 

Disebutkan Trisno, kehadiran Astra di Desa Menari mempercepat perkembangan desa. Empat Pilar Program dari Astra berjalan seirama dengan Tanon, yang meskipun sederhana, terus berkembang tanpa melupakan kearifan lokal. 

Untuk bidang pendidikan, melalui program Beasiswa Astra Lestari, 36 anak dusun Tanon mendapatkan beasiswa mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Sosok Trisno juga menjadi role model bagi anak-anak untuk bersekolah setinggi-tingginya. 

Trisno sendiri sejak awal fokus pada program-program pendidikan non formal, antara lain diskusi dan kerja sama dengan perguruan tinggi untuk kegiatan di desa seperti pertanian. Dengan metode ini, warga desa bisa berinteraksi dengan berbagai pihak untuk mendapatkan pengetahuan. 
Kebun warga dusunTanon
Untuk program kesehatan, gerakan pemeriksaan kesehatan gratis, dengan cara jemput bola ke pertemuan-pertemuan warga dilakukan. Warga diberikan layanan cek kesehatan seperti asam urat dan kolesterol. Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) juga didirikan untuk memberikan layanan pencegahan penyakit tidak menular. 

Dari sisi kewirausahaan, dengan semakin majunya Desa Menari, seluruh aktivitas masyarakat dapat menjadi obyek wisata yang memberikan pemasukan. Sebagai desa wisata, rumah-rumah warga disiapkan menjadi homestay. Trisno mengatakan bahwa hanya rumah-rumah yang dihuni oleh keluarga saja yang bisa dijadikan homestay. Hal ini agar sesuai dengan konsep Desa Menari bahwa setiap pengunjung bisa merasakan kehidupan desa senatural mungkin. 
Rumah-rumah warga menjadi Homestay

Di bidang lingkungan, penataan zonasi, pembenahan lokasi untuk pasar rakyat juga mendapatkan dukungan dari Astra. Termasuk penataan kawasan seperti tempat untuk outbound dan penataan homestay. Astra juga melakukan upaya konservasi mata air untuk wilayah Tanon. 

PANGGUNG APRESIASI KESENIAN LOKAL

Tema Festival Lereng Telomoyo 2019 adalah Sumunaring Telomoyo dalam Mewujudkan Keseimbangan Hidup. Sama seperti kegiatan Festival Lereng Telomoyo yang pertama di tahun 2017, kegiatan Festival Lereng Telomoyo 2019 juga mendapatkan dukungan dari Astra, sebagai salah satu strategi untuk mengenalkan KBA ke khalayak yang lebih luas. 

Festival Lereng Telomoyo ini adalah kegiatan desa wisata dalam rangka mengonservasi dan memberikan panggung apresiasi bagi kesenian lokal agar tetap lestari, tumbuh dan berkembang. 

Menurut Trisno salah satu kunci kelestarian adalah kepedulian. Salah satu wujud kepedulian adalah dengan membiasakan generasi muda untuk berlatih mengenali tari-tarian. Melalui festival, generasi muda Tanon mendapatkan panggung untuk tampil, sekaligus mengenalkan aneka tari-tarian kepada masyarakat luas. 
Para pemuda penabuh gamelan, pengiring tarian.
Festival ini juga merupakan wujud keprihatinan Trisno akan kurangnya wadah apresiasi bagi kesenian tradisional. “Kesenian lokal banyak sekali tapi pada mati suri karena kurang panggung apresiasi.” 

Dampaknya, menurut Trisno, banyak ditemui seniman-seniman lokal melakukan “pentas jalanan”, dan mengamen di perempatan jalan.

Tata, bersama anak-anak yang sebelumnya menarikan Geculan Bocah ketika pentas di Festival Lereng Telomoyo
“Para seniman yang tampil di festival ini datang secara sukarela,” jelas Trisno. Bagi para seniman, bisa tampil di festival Lereng Telomoyo adalah satu bentuk apresiasi bagi karya yang tidak banyak disediakan di tempat lain. 

“Berkesenian adalah cara mereka untuk berbakti pada negeri dan kemajuan bumi pertiwi.” 
Perwakilan dari Astra, pemerintah, bersama Trisno dan anak-anak penari di Pembukaan Festival Lereng Telomoyo.
Seperti disampaikan dalam pidato sambutan dari Gubernur Jawa Tengah yang dibacakan di awal pembukaan Festival yang memberikan apresiasi kepada masyarakat Tanon atas kesengkuyungannya (kebersamaannya) dalam nguri-nguri budaya. Termasuk juga memberikan apresiasi kepada Astra yang terus berkomitmen untuk meningkatkan potensi masyarakat. Harapannya semua pihak terus berkarya, mengedukasi, mencintai NKRI, menjauhi hal-hal negatif demi bangsa yang makin maju dan bahagia. 
Perwakilan Gubernur Jawa Tengah membuka Festival Lereng Telomoyo 2019

KEBERHASILAN DALAM KESEDERHANAAN

Dengan aneka pembenahan dan program yang semakin berkembang, saat ini Desa Menari Tanon menerima 1500 – 3000 pengunjung setiap tahunnya. 

Namun bagi Trisno, bukan banyaknya jumlah pengunjung yang menjadi tolok ukur keberhasilan Desa Menari, melainkan adalah seberapa banyak nilai-nilai dari Tanon yang berhasil disebarkan kepada orang lain. 
Trisno bersama seniman dan pengunjung festival berbaur menjadi satu.
Trisno menekankan kepada masyarakat bahwa siapapun yang hadir ke Tanon adalah guru. Jadi masyarakat juga bisa memetik ilmu dari setiap pengunjung, begitu pula sebaliknya. 

“Kami berharap dari satu titik (para pengunjung) bisa mengambil inspirasi dari Tanon ini meskipun dari hal yang sederhana. Dari hal itu diharapkan bisa muncul memori yang indah. Kearifan lokal bisa menjadi oase untuk meneduhkan jiwa.” 

Hal ini juga dijelaskan Trisno sebagai kunci mengapa Desa Menari Tanon bisa bertahan sampai saat ini. Sejak awal Desa Menari berusaha konsisten untuk selalu berpijak pada kearifan lokal. Hanya hal-hal yang melekat di tengah masyarakat saja yang diangkat menjadi paket wisata, dan sengaja tidak membuat obyek. 

“Berjalan alamiah saja, hal-hal keseharian yang dijual sehingga bisa bertahan,” jelas Trisno. “Tidak mengada-adakan, apapun yang kita lakukan mengacu pada apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.” 

Resep lainnya adalah dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk berjalan dengan utuh dan mempertahankan semangat tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, berkarya lebih baik daripada meminta. 

Faktor ekonomi adalah hal yang penting dalam perkembangan suatu daerah. Sejak awal Trisno merasakan bahwa masyarakat sempat ragu apakah dengan apa adanya mereka bisa menjadi sesuatu. “Apa bisa dengan apa yang kita punya ini bisa maju?” Demikian keraguan warga. 

Trisno selalu berpesan: 

Lihatlah sesuatu yang sederhana dari sudut pandang yang berbeda. Lihatlah hal-hal yang sangat sederhana dari diri dan lingkungan kita dari sudut pandang yang berbeda, 

Lakukan dengan pendekatan dengan berbeda, nikmati prosesnya dan yakin hasilnya pasti akan berbeda. 

MENYIAPKAN GENERASI PENERUS

Senada dengan Astra, Trisno menyadari bahwa kesiapan SDM di Tanon baik dari segi pendidikan maupun partisipasi msyarakat adalah salah satu kunci terpenting sekaligus menjadi tantangan untuk keberhasilan Desa Menari. Tantangan lainnya adalah dukungan dari pemerintah dan kesiapan infrastruktur. Namun begitu tantangan terberat adalah bagaimana bisa menjaga konsep bahwa Desa Menari sebagai laboratorium sosial. Bukan pendapatan besar yang menjadi tolok ukur keberhasilan.

Untuk menjaga konsep ini tetap berjalan, masyarakat harus bisa berperan secara maksimal. Trisno mengatakan agar masyarakat mau berperan adalah dengan cara mengajak warga untuk aktif berorganisasi, dan juga dengan mencari "orang-orang kunci" di setiap titik. Trisno mulai membagi perannya dengan meregenerasi para pemuda untuk bertanggung jawab pada titik-titik aktivitas desa, seperti tim pasar rakyat, homestay, dan outbound.

"Sekarang saya hadir di sini memang sebagai figur (ikon), tapi kegiatan-kegiatan festival ini bisa berjalan dengan PIC -penanggung jawab-nya  sendiri-sendiri."  Dengan menggerakkan warga khususnya pemuda secara aktif, Trisno mulai menyiapkan generasi penerus bagi keberlangsungan Desa Menari.

Di tengah pesatnya kemajuan desanya, Trisno masih memiliki visi jangka panjang untuk Tanon. Visi Trisno dalam jangka panjang adalah ingin membentuk Perusahaan Sosial berbasis Kepala Keluarga. Tanon, lebih luas Ngrawan dan sebagainya dibayangkan Trisno bisa di manajemen seperti sebuah perusahaan. 

“Artinya seluruh potensi yang ada di desa menjadi potensi daya ungkit ekonomi. Kita tetap menjadi orang desa, berkegiatan ala desa tetapi termanajemen secara modern,” ujar Trisno. “Saya berharap kepemilikan saham di usaha yang berada di tengah tengah masyarakat dimiliki oleh setiap kepala keluarga yang ada di tengah-tengah masyarakat itu sendiri sehingga distribusi hasil dan manfaat betul-betul dirasakan setara oleh masyarakat Tanon dan sekitarnya.” 

KABAR BAIK DARI DESA MENARI 

Perkembangan profesi asli masyarakat pedesaan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi kadang memaksa para pemuda meninggalkan desanya untuk mencari mata pencaharian baru. Hal ini juga disampaikan Trisno, bahwa ada paradigma yang tertanam bahwa dengan bekerja di luar desa, seperti di toko, atau pabrik, membuat penduduk desa merasa naik kelas. 

Namun satu hal yang terus diyakini Trisno bahwa kehidupan masyarakat desa dengan segala kesederhanaannya memiliki potensi untuk berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Kebudayaan dan pelestariannya bisa terus bergerak dinamis sesuai dengan kehidupan masyarakat modern dan perkembangan teknologi. 

Modifikasi yang dilakukan pada aneka jenis profesi, pada tarian-tarian, bukan berarti meninggalkan tradisi tapi menyelaraskan perubahan dengan tradisi, pakem dan aturan yang sudah ada. Dengan demikian, kehidupan asli, esensi dari profesi asli masyarakat desa tidak hilang, justru semakin lestari dari generasi ke generasi. 

Kehidupan masyarakat desa dengan profesi dan kegiatannya bisa tampil harmonis di tengah-tengah masyarakat yang semakin modern. 
Pemuda pelestari seni tradisi, mengenakan kostum tari Topeng Ayu, selepas pentas. 
Hari itu di Desa Menari Tanon, para pengunjung bisa melihat banyak hal-hal baik dari kehidupan masyarakat desa yang bisa kita ambil pelajaran dan dijadikan inspirasi. Seperti ajakan dari Perhumas, untuk "membangun narasi yang baik", menuliskan cerita tentang Trisno dan Tanon adalah salah satu upaya untuk mengabarkan kabar baik itu kepada lebih banyak pihak.

Sungguh sebuah kabar baik, dengan melihat perkembangan Desa Menari, dan semakin bertambahnya partisipasi masyarakat, tidak hanya dari para orang tua, tetapi juga dari anak-anak dan para pemudanya, harapan kita bangkit bahwa profesi masyarakat desa dan kesenian tradisi akan tetap lestari, tidak hanya bagi dusun Tanon, tapi juga bagi seluruh negeri.

Seperti semangat Trisno: 

“Mengabdi pada tanah kelahiran sama dengan mengabdi pada Indonesia.” 

Tarian Topeng Ayu
Tarian Topeng Ayu yang ditarikan oleh pemuda pemudi Tanon mengakhiri kunjungan saya di dusun Tanon. Matahari mulai tergelincir ke Barat. Rasanya ingin kembali ke desa ini untuk menyatu dengan denyut kehidupan masyarakat pedesaan yang asri, merasakan keramahan masyarakat desa yang menyambut kita bak saudara.


Seperti syair yang dinyanyikan dalam tarian Topeng Ayu: 

Muda-mudi ing Dusun Tanton Paring hiburan 
(Pemuda dan pemudi di desa Tanon memberikan hiburan)
Mugo-mugo tambah seduluran 
(Semoga menambah saudara)


Dari KBA Desa Menari Dusun Tanon, Sejahtera Bersama Bangsa 

#KitaSATUIndonesia #IndonesiaBicaraBaik #LFAAPA2019SEMARANG

Sosial Media Desa Menari Tanon:
IG @desawisatamenari

Foto-foto: Dokumentasi Pribadi