Pages

Thursday, October 6, 2022

Menang

 



“Kalau nggak suka bola, kok nonton bola?”

“Aku suka melihat orang yang menonton pertandingan sepak bola.”

“Semacam hobi gitu nontonin orang? Aneh banget sih, nggak ngerti.”

Memang banyak yang dia tidak mengerti.

“Aku suka melihat wajah-wajah penonton bola.”

“Ada apa emangnya di muka mereka?”

“Ada berbagai macam emosi.”

Dahinya berkerut.

“Kalau mukanya penonton bulutangkis kamu tontonin juga?”

Aku menggeleng.

“Basket? Voli?”

“Tidak.”

“Aneh. Kamu ini orang paling datar. Tapi hobinya nontonin muka orang.”

“Malam minggu besok ada pertandingan. Kamu mau ikut?”

Sorot matanya langsung berubah. Sejurus kemudian berganti lagi.

“Nggak deh, makasih. Mana mungkin. Aku ini sakit.”

“Dokter bilang kamu boleh keluar rumah.”

“Buat apa, toh bentar lagi mati.”

“Kamu tidak boleh menyerah.”

“Kamu nggak liat apa keadaanku ini? Kalau hidup ini pertandingan, aku udah kalah.”

Rautnya masygul.

“Di pertandingan sepak bola kamu bisa melihat wajah-wajah yang kalah seperti apa. Bukan seperti kamu.”

Bibirnya mengerucut, alisnya yang tebal bertaut.

“Kalau kamu ikut, aku akan menemani kamu ke mana saja kamu mau.”

“Ke mana aja?”

Aku mengangguk.

Dia terdiam. Tangannya sibuk memainkan ponsel, meski aku tahu pikirnya telah bertualang.

“Kalau aku mati, emangnya kamu mau nemenin?”

Dikiranya aku tak mendengar.  

*

“Aduh! Kemasukan gol lagi!”

Pekikmu terurai oleh marah yang menggemuruh. Kerumunan raut menjadi geram dan gusar.

Aku beranjak.  

“Ayo pulang.”

“Nanggung, sekalian nonton sampai selesai, ya!”

Paras yang telah berminggu-minggu pucat itu merona.

“Aku mengajakmu bukan untuk menonton pertandingan.”

“Minta minum!”

Aku menyodorkan air dalam botol yang telah surut separuh.

Dia menenggaknya sampai habis.  Pandangannya beralih ke lapangan. Rakus melahap kembali hidupnya yang sempat terenggut senyap.

Menit-menit berlalu. Aku mengedarkan pandangan. Mengamati aneka rupa. Mengintai gerak-gerik. Kecewa, amarah, frustrasi.

“Kita pulang sekarang.”

Tanganku menangkap tangannya. Siap menariknya pergi.

Matanya membola menatapku.

“Kamu… takut?”

Iya.

“Lebih baik pulang sekarang.”

Senyumnya tersungging.

“Tapi aku masih mau di sini. Ayo, tepati janjimu, temani aku.”

Aku berhitung.

“Tidak akan menang.”

“Seperti aku.”

“Bukan.”

“Kamu tahu rasanya berminggu-minggu cuma teronggok seperti lap gembel?”

Aku menggeleng.

“Sekarang aku nggak peduli kalah atau menang. Aku cuma mau nonton pertandingan ini sampai selesai!”

Dalam kekuatannya aku melesak. Terus menatapnya. Tak seguratpun cemas.

Orang-orang mulai merangsek. Dia makin merona diantara berang.

Asap menyesakkan membumbung. Aku menyeret langkahnya menerobos kemelut.

Tapi ujung jalan pun pampat.

Aku sudah tak bisa melihat dia. Hanya mendengarnya terus tertawa meski terjejal di dekatku. Sedekat kudengarkan degupan jantungnya.

Aku merenungkan parasnya sekali lagi. Dia tidak pernah kalah.


Foto dan Gambar:

Freepik

No comments:

Post a Comment