Satu Minggu Sebelum Pesta Ulang Tahun Sandra
“Setiap tahun hadiah yang dia kasih makin mahal, Nan.”
Kinan refleks mengelus kalung dengan liontin berlian di
lehernya, hadiah ulang tahunnya dari Sandra dua tahun yang lalu. Dia berbisik, “Kata adikku kalung ini harganya
hampir sepuluh juta.”
“Aku tahu banget berapa harganya.” Reni berkata lesu. “Kamu
jangan bilang Sandra, punyaku kugadai waktu kemarin bayar kontrakan. Heru baru
aja mulai kerja lagi, jadi tabunganku nol rupiah.”
“Beneran kamu jual?” Kinan terkejut.
“Aku gadai, Nan,” ralat Reni. “Kalau ada uang nanti kutebus
lagi.”
Kinan mendesah. “Well,
kalau mau jujur, aku masih punya utang
kartu kredit buat beliin hadiahnya tahun lalu.”
“Ooh, tas itu ya?
Kamu nyicil berapa lama?”
“Dua puluh empat bulan. Tas itu baru lunas setahun lagi,”
keluh Kinan.
Kinan dan Reni menatap selembar kertas merah muda berhias
aplikasi renda putih dengan gundah. Di zaman serba digital ini masih ada
rupanya orang yang mengirim undangan ulang tahun bak undangan kawinan dan
diantar kurir. Amplop undangan itu tidak datang sendirian, ia datang bersama
sebuah bingkisan berisi seperangkat alat rias bermerk premium, dan selembar
kain bersulam untuk dijahit menjadi baju seragam.
Ulang tahun Sandra yang ke dua puluh lima rupanya akan
menjadi lebih istimewa ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Tahun-tahun yang
biasanya dirayakan bersama dengan Kinan dan Reni. Sebagai sahabat dekat sejak SMA
-ditambah hari ulang tahun mereka yang hanya terpaut masing-masing satu hari- Kinan,
Reni, dan Sandra sudah merayakan ulang tahun bersama-sama sejak sepuluh tahun
yang lalu.
“Mungkin.... kita nggak perlu kasih Sandra hadiah apa-apa
tahun ini. Toh dia udah punya semuanya.”
“Tapi Nan, dia selalu beliin kita hadiah. Belum lagi
oleh-olehnya setiap pulang dari luar negeri. Masa kita setahun sekali aja nggak
mau beliin dia kado?”
“Bukan nggak mau, Ren, tapi nggak mampu,” keluh Kinan.
“Eh, aku kemarin mikir-mikir mau beliin Sandra ini. Bagus nih, lagi tren, diskon lagi.” Reni
menunjukkan satu set baju longgar bermotif shibori dari ponselnya. “Aku juga pengen
beli kalo udah gajian.”
Kinan menatap Reni serius. “Ren, kamu nggak ingat cerita
Sandra? Waktu dapet oleh-oleh baju kayak gitu dari luar negeri tapi dia
nggak suka, trus baju itu....”
“Dia kasih ke asistennya....” Reni menyambung dengan
muram. Setelan seharga dua ratus ribu
itu mendadak kehilangan pesonanya.
“Dia sih enak, suaminya kaya tujuh turunan.”
“Nggak cuma itu, tiap hari dia sendiri juga makin kaya, Ren.”
Kinan membuka-buka Instagram Sandra. “Satu kali posting begini dia bisa dapet ratusan ribu sampe jutaan.”
“Beruntung banget sih dia. Suami tajir, kerjaan enak. Kerja
sehari bisa dapat gajiku sebulan.”
Kinan dan Reni menghela nafas bersamaan untuk kesekian kalinya hari
itu. Lumpia udang dengan acar bawang dan saus kental yang terhidang di hadapan mereka
belum juga tersentuh.
“Kok bisa ya nasib kita beda banget begini.”
“Dulu padahal Sandra yang sering pinjem PR kamu kan, Ren.
Kalau bukan karena kamu rajin ngelesin dia, Sandra bisa-bisa nggak lulus UN, tuh.”
“Kalau nggak dijemput kamu, Sandra pasti sering telat gara-gara
mesti naik angkot ke sekolah.”
“Otak kamu yang paling encer sampe bisa dapet beasiswa kuliah.”
“Kamu yang hebat bisa kuliah ke luar negeri.”
“Bukan kuliah, cuma short
course,” ralat Kinan cepat.
“Yang penting pernah hidup di Amerika enam bulan. Keren
banget, tuh.”
“Dan Sandra cuma kursus kecantikan satu tahun.”
“Semua berubah drastis sejak dia nikah sama Nico.”
“Stop, stop!” Kinan mendadak tersadar kalau sedang julid. “Ren.
Ini Sandra, temen kita, dan selalu baik sama kita.”
“Iya, tapi sekarang masalahnya dia selalu kasih kita hadiah
mahal-mahal itu. Bikin pusing balesnya.”
Kinan dan Reni tercenung sambil mulai menggigit lumpianya. Di
sekeliling mereka antrian orang yang ingin membeli oleh-oleh khas Semarang itu
semakin mengular.
“Eh, tahun ini kita kompakan yuk, nggak usah beli hadiah
mahal,” usul Kinan setelah lumpianya tandas.
“Trus kita kasih dia apa?”
“Kita bisa beliin bunga, misalnya,” jawab Kinan ragu-ragu.
“Kok bunga sih
kayak mau ketemu nenek-nenek, ah.”
“Ren, ini solusi buat kita yang lagi bokek. Apalah nanti hadiahnya
kita pikirin. Demi keselamatan dompet kita sendiri, kita mesti kompakan nggak
beli hadiah mahal buat Sandra.”
Reni tersenyum. “Oke, deal.”
Satu Hari Sebelum Pesta Ulang Tahun Sandra
“Kamu beli apa?” Kinan tercengang mendengar cerita Reni.
“Bonus dari kantor tiba-tiba cair, Nan,” kilah Reni.
“Tapi bonus kantor bisa kamu tabung, Ren. Keperluan kamu kan
banyak,” sesal Kinan. “Mending kamu balikin deh,
jamnya.”
“Jujur, aku galau juga habis beli ini. Bonusku langsung
amblas.” Reni menimang-nimang kotak berisi jam yang baru dibelinya. “Sandra juga
pasti punya jam yang lebih bagus dan mahal. Jangan-jangan jam ini nanti dia
kasih buat asistennya juga.”
Kinan mengeluh. “Makanya, kita kan kemarin udah sepakat
kalau tahun ini nggak akan beli hadiah mahal buat Sandra.” Dia mendadak
kehilangan selera menyendok gelato yang baru saja diantarkan ke mejanya.
“Apa kita patungan
aja? Seadanya kamu punya berapa?” harap Reni.
“Sori, Ren. Aku belum
ada job nulis lagi, nih.” Kinan meraih
jam dari tangan Reni. “Tapi jam ini bagus kok. Dan nggak mungkin Sandra ngasih
hadiah dari kamu ke orang lain,” hibur Kinan.
“Yah, mungkin hadiah dari Sandra nanti bisa buat ganti jam
tangan ini,” cetus Reni.
Kinan menyergah, “Reni!”
Reni meringis. “Sorry,
tapi aku desperado, nih!”
Kinan memutar-mutar mangkuk gelatonya. “Tapi.... betul juga
ya. Sandra selalu ngasih hadiah yang jauh lebih bagus dari punya kita.”
“Nggak cuma lebih bagus, tapi lebih mahal,” tegas Reni.
“Hadiahnya nanti bisa kita... Ah enggak-enggak.” Kinan
buru-buru mengibaskan tangan seperti mengusir nyamuk.
Reni mengerling. “Kenapa enggak?”
“Kamu juga mikirin apa yang aku pikirin?”
Keduanya bertatapan lalu terbahak.
“Parah kamu, Ren.”
“Kamu juga parah.”
“Tapi itu bisa jadi solusi sementara sampai kita punya duit
lagi.”
Kinan terdiam lama. Pekerjaannya sebagai penulis lepas memang
membuat pendapatannya sering tak pasti. Selama ini tak pernah terpikirkan
olehnya untuk menjual hadiah dari Sandra. Atau seperti Reni: menggadaikannya. Sebuah
kemungkinan baru yang sangat menggoda.
“Oke, problem,”
ujar Kinan akhirnya. “Kamu udah punya hadiah buat Sandra. Sekarang kamu harus
nemenin aku cari hadiah.”
“Serius?”
Kinan bergegas menghabiskan gelatonya, lalu menyeret Reni keluar
dari gedung tua tempat cafe favorit mereka berada. Kartu kreditnya masih menyisakan limit kredit.
Masih cukup untuk membayar sepatu yang pernah dilihatnya di salah satu butik
itu.
Satu Jam Setelah Pesta Ulang Tahun Sandra
Kamar Sandra (dan Nico) berada di lantai dua dengan
pemandangan kerlip lampu kota Semarang di malam hari. Sandra merancang kamarnya
seperti kamar para putri raja di buku dongeng kesukaannya. Berada di
lereng bukit, rumah itu bagaikan kastil Eropa.
“Kamu kok tahu kalau aku kepingin sepatu ini, Nan? Ukurannya
pas lagi!” seru Sandra sambil mencoba sepatu hadiah dari Kinan. Tumpukan hadiah yang belum dibuka terserak di
sekelilingnya.
“Dari dulu kan
ukuran kaki kita sama,” senyum Kinan.
“And I looove this
watch, Ren. Aku pernah tunjukin ke Nico tapi malah kamu duluan yang beliin.
Thank you.”
Sandra memeluk erat Reni dan Kinan.
“Tapi sebetulnya kalian nggak usah repot-repot begini. Aku super happy akhirnya kita ketemu dan tetap
bisa ngerayain ulang tahun bareng. Aku jarang banget bisa meet-up sama kalian,” sesal Sandra.
“Nggak apa-apa, kita ngerti kok,” hibur Reni.
“Aku
sering banget mimpi kita lagi jalan-jalan dan liburan bareng. Dalam minggu ini
bahkan hampir tiap hari lho mimpiin
kalian,” cerita Sandra sungguh-sungguh.
Setahun belakangan Sandra memang jadi super sibuk. Apalagi
setelah followers instagramnya
menyentuh angka satu juta. Bahkan tiga bulan terakhir mereka hanya bisa bertemu
Sandra lewat video call.
“Itu tandanya kamu kangen kita,” ujar Reni.
“Nico juga bilang begitu. Katanya aku perlu spend quality time bareng kalian. Nico bilang,
nggak cuma aku sama dia aja yang perlu honeymoon,
tapi aku sama kalian juga.”
Reni dan Kinan mesam-mesem. Memang sejak awal berkenalan, Nico, sang pangeran pemilik rumah segede istana ini juga selalu bersikap baik pada Reni
dan Kinan seolah sahabatnya sendiri.
“Nah, minggu lalu mendadak aku dapat ilham.” Ekspresi Sandra
tiba-tiba jadi misterius. “Sebenernya ini masih rahasia, tapi aku udah nggak
sabar pingin ngasih tahu.”
“Rahasia apa, sih?” Kinan bertanya antusias.
“Jadi gini, tahun kemarin aku liburan sama Nico di resort hotel punya keluarganya di Lombok.
So beautiful. Di sana deket sama
toko-toko kerajinan kesukaan kamu, Ren. Kamu juga bisa nulis di pinggir pantai
sambil lihat sunset, Nan. Aku pikir
pasti akan seru kalau kita bisa sama-sama liburan bareng di sana.” Senyum
Sandra mengembang. “So...., I’m taking
you guys there.”
“Hah?”
“Aku akan atur semuanya: transport, makan, kalian nggak usah
mikirin. Kita tinggal janjian kapan bisa sama-sama berangkat.”
“Tapi San...,” Reni menatap Kinan mencari bantuan.
“Masa kita liburan dibayarin kamu gitu, it’s too much,” sambung Kinan.
Sandra menatap kedua sahabatnya bergantian. “Please,” ucapnya penuh harap. “I wish
you could accept this. Ini hadiah dari aku.”
“Hadiah?” tanya Kinan.
“Ini hadiah ulang tahun buat my best friends!” lanjut Sandra berseri-seri.
“Hadiah ulang....” Reni tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
Matanya nanar menatap Kinan yang balas melongo.
***