Wednesday, April 16, 2014

Perfect Sky






Aku ingin selamanya di sini. Dalam dunia pengelana yang hidup di rerimbunan pohon dalam pondok-pondok bambu. Dunia yang dipayungi angkasa. Di atas sana biru membentang berbercak awan putih, dan sinar matahari menyelip di sela dedaunan. Ini adalah langit tanpa cela.
Namaku Lintang. Konon malam bertaburan bintang saat aku dilahirkan. Dan entah sejak kapan aku telah jatuh cinta pada langit. Kala aku menangis, aku berlari ke padang depan rumahku. Melihat awan berarak, tangisku berhenti. Jika aku resah, aku naik ke atap rumah. Aku menatap bulan tersenyum, dan merasakan hangat dipeluk angkasa. Langit selalu menyelipkan bahagia untukku.
Kuhirup udara yang asin bersama harum dari cangkir kopi. Pak Made yang baik hati telah membuatkannya untukku. Minuman yang tidak lazim dinikmati di hari cerah. Tepi pantai adalah tempat yang cocok untuk jus buah segar atau es kelapa muda. Bukan kopi tubruk. Tapi aku menginginkannya setelah terjaga puluhan jam sejak meninggalkan Jakarta.
 Ah, Jakarta. Aku tidak pernah menyukai langitnya. Warnanya selalu kusam dan tampak muram. Pagi hari udara berkabut asap. Waktu siang matahari seperti murka. Bahkan aku tak dapat melihat riang bintang berkelip di malam hari.  Jutaan lampu seperti membuatnya sembunyi. Sepuluh tahun sejak aku  meninggalkan kotaku dan tinggal di sana, aku tidak menemukan langit yang bisa membangkitkan sukacita.
Sampai aku bertemu dia.
Pertama kali kami berkenalan, aku begitu yakin dialah jodohku. Lihat saja namanya: Langit. Dan lihat namaku! Kami seolah ditakdirkan untuk bersama. Aku menemukan Langit yang sempurna. Bersama Langit aku sangat bahagia.
Sampai senja itu. Aku ingat warna yang membias di jendela. Jingga yang terhalang kabut.
“Lintang, tidak mengertikah kamu, bahwa kebahagian itu datangnya dari sini?” Langit memegang dadanya. Tempat jantungnya berdetak.
            Dan aku tidak bisa mengerti. Langit meninggalkan aku dengan sejuta pertanyaan, dan sekepal rasa bersalah yang mendesak hati. Langitku yang sempurna meninggalkan aku. Langit yang memberiku keluasan dan keteduhan.
Kusadari mungkin aku terlalu jauh. Sementara Langit, dia selalu ada. Aku tidak. Sudah sepantasnyalah dia pergi. Dan Langit membawa serta kebahagiaanku juga. Tanpa Langit, bintang tak lagi bercahaya. Kemana lagi aku bisa mencari?
Lalu aku melihatnya. Berkedip-kedip di layar monitorku. Hamparan biru angkasa dan deburan ombak. Bagai menerima surat undangan semesta, aku langsung beranjak keluar Jakarta.  Mencari langit yang sempurna.
Maka di sinilah aku. Di ceruk Nusadua, di pulau dewata bagaikan surga. Di antara deretan tempat menawan dalam kompleks The Bay Bali, aku memilih tempat ini. Pirates Bay. Dan aku menenggak kopi panas di siang bolong. Ini kemewahan yang tidak kujangkau sebelumnya. Ketika bekerja adalah untuk selamanya, dan liburan tak pernah ada dalam kamus hidupku.
            Seorang bajak laut kecil berlari melintas. Dua anak berambut pirang menyusulnya kemudian. Mereka sedang berburu harta dari sebuah kapal karam di atas pasir. Keluarga mereka riuh bersorak. Di sini semua menjadi bajak laut. Kaum pengelana yang telah melihat jutaan langit menawan di laut lepas.
Aku beranjak ke bibir pantai. Pasir yang lembut dan hangat membelai jemari. Debur ombak mendekat dan tiupan angin semakin sejuk. Sore menjelang. Tirai langit beringsut berganti. Saatnya pergantian babak dalam satu pertunjukan agung karyaNya.
Dari kejauhan Pak Made berjalan ke arahku. Topi bajak lautnya tidak menyembunyikan rautnya yang bijaksana.  
“Silakan, salah satu appetizer favorit di Pirates Bay,” ujarnya sambil menyodorkan sepiring calamari and chips. “Kami sedang menyiapkan barbeque untuk malam ini. Semua pengunjung bisa memanggang sendiri makanan yang disukai. You better be hungry, Miss Lintang.”
Aku lupa kapan terakhir kali aku benar-benar makan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rupaku siang tadi, dengan lingkaran hitam di seputar mata, setelah sehari semalam tidak tidur dan tidak mandi. Pak Made menunjukkan ketulusannya dengan memperhatikan aku sejak pertama kali tiba di Pirates Bay.
Senyumku mengembang. Dan langit mulai berwarna pelangi.
“Langitnya sangat indah, Pak Made,” ujarku mengucapkan versi lain dari terima kasih. “Apakah langit di sini selalu sesempurna ini?”
“Anda menyukai langit, Miss Lintang?”
“Saya menyukai semua langit yang indah, Pak Made. Langit pagi yang lembut, semburat senja, langit malam yang pekat. Langit yang sempurna selalu membawa kebahagiaan buat saya.”
“Ah, bukankah langit memang karyaNya Yang Selalu Sempurna, Miss Lintang?”
“Tapi di Jakarta saya tidak pernah menemukannya. Langit di sana tidak membuat  saya bahagia seperti di sini.” Lalu aku seperti mendengar dengung merdu dari semburat langit yang berangsur redup. Perfect sky.
“Sebentar lagi obor dan lampu akan dinyalakan.” Suara Pak Made yang lembut memecah hening. “Kalau miss Lintang berkenan, silakan tunggu sampai esok pagi. Sunrise di Pirates Bay adalah moment yang ditunggu-tunggu semua orang.”
I would love to, pak Made. Tidak ada yang lebih membahagian dari melihat langit yang indah dan sempurna.”
“Baik, saya akan menyiapkan sleeping bag dan keperluan lainnya. Miss Lintang bisa menginap di salah satu tenda. Biar malam ini merasakan hidup seperti bajak laut, melihat bintang-bintang ditemani ombak..”
Another perfect sky,” sambungku. “Tempat ini luar biasa.”
Pak Made mengangguk takzim. “Terima kasih, miss Lintang. Tapi, semua langitNya selalu sempurna. Kalau saja kita mau mengerti, maka tidak ada alasan untuk tidak bahagia.”
Aku merasakan hembusan angin dalam hatiku. Bisikan itu datang dari langit.
Every sky is perfect.



 Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!  www.thebaybali.com