Thursday, June 26, 2014

(Mau) Nulis aja Kok Repot




Pernahkah kita, ketika membaca tulisan orang lain entah itu cerpen, novel, artikel di koran, bahkan running text di tivi lantas membatin:
“Kalau gini aja, aku bisa buat yang lebih bagus.”
“Kok cerita kayak gini aja bisa masuk majalah, sih? Bagusan juga punyaku.”

Oke, masalahnya, mana tulisanmu yang katanya lebih bagus itu?
Lalu kita came up with:
“Ya idenya sih banyak. Di kepala, nih!" (Sayang kepala kita nggak ada layarnya)
“Mana ada waktu lah, aku kan ngantor dari pagi sampai sore.”
“Anakku empat nggak punya pembantu, boo. Boro-boro nulis!”
“Pak RT nih, ngajak siskamling tiap malam!”

Duh, jadi repot ya bikin alasan. Ini-lah itu-lah. Saking repotnya, malah jadi nggak (pernah) nulis. Padahal kalau alasan itu dikumpulin, jadi tuh, novel 150 halaman. Hoho. 

Seringkali kita lupa, penulis juga punya keluarga, ibu-ayah, anak-cucu, kakak-adik, tetangga, yang masing-masing perlu ‘diurus’. Dan lagi memangnya penulis itu bukan manusia sehingga nggak perlu melakukan domestic chores? Dikira mereka cukup minum pil lalu kenyang seharian atau nggak perlu ke kamar mandi buat sikat gigi? Mereka juga bukan penyihir yang bisa menghentikan waktu sementara dia bisa asyik menulis tanpa dijatah 24 jam sehari. 

Bisa menang melawan segala macam alasan itulah yang menjadikan penulis-penulis itu hebat. Writing is Fighting, kiranya memang pas menggambarkan curhat para penulis di buku ini. Berasa curhat karena ditulis dengan bahasa yang santai macam ngobrol dengan teman lama. Begitu yang saya rasakan ketika membacanya. 

15 penulis yang sharing di buku ini punya beragam latar belakang, dari ibu rumah tangga, pekerja kantoran, wartawan, you name it.  Pengalaman mereka semua diceritakan di buku ini. Pahit manisnya perjuangan mereka dengan “baggage” masing-masing, tapi tetap bisa berkarya!

Semua orang punya “musuh” yang harus dikalahkan untuk istiqomah. Dalam hal ini, kekeuh menulis. “Musuh” itu yang mesti digusur jauh-jauh. Kadang bahkan fighting bukan sekedar melawan malas atau ngantuk, tapi juga “fight” dalam arti berkompromi dengan anak sendiri yang heboh mengajak si emak main (Mak Dedew). Dan si emak rempong ini bisa tuuh menelurkan belasan buku best seller! Duhai Mak, saya juga mau sepertimu.

Ada juga kisah-kisah penulis menghadapi writer's block, serunya riset yang mirip cerita detektif,  cerita lucu "behind the scene", hingga kisah-kisah mengharu biru, ketika para penulis ini mesti berhadapan dengan penerbit abal-abal, tulisan yang tidak dihargai, merevisi tulisan tanpa henti. Semua cerita-cerita bagai kisah mistis yang sering membuat jiper duluan (padahal punya karya aja belum). 

Tapi setelah “mendengar” penulis-penulis ini bercerita, setidaknya memberikan suntikan semangat baru: Kalau mereka bisa, kenapa saya tidak? They fight and keep fighting till the end! (Alias tulisan mereka SELESAI)

Buat saya, membaca buku ini membuat saya malu karena banyak beralasan tidak bisa menulis. Stop reasoning with yourself. Lawan tuh malasmu! (Ini jeritan hati saya hehe)

Nah? Nggak usah repot nyari alasan. Masih ingin jadi penulis, kan? *toyordirisendiri