Sunday, September 27, 2015

Orang Paling Jahat yang Pernah Ku Kenal





Ada orang yang begitu bertemu langsung berbuat jahat. Maling, rampok, copet, tanpa permisi mengambil hak milik dengan paksa. Tak jarang ditambah membikin luka. Dia memang penjahat.

Ada orang yang lama aku kenal sebagai orang baik, tiba-tiba tega berbuat nekad. Entah menipu, atau berkhianat. Dia menggunting dalam lipatan, seringkali baru disadari setelah terlambat. Dia memang penjahat.

Ada orang yang kukira sahabat ternyata bukan. Selalu bermuka manis, tapi munafik. Tidak mengatakan kebenaran sama saja dengan kebohongan. Dia membikin sakit lebih dari lainnya karena menodai kepercayaan. Dia memang penjahat. 

Tapi ada orang paling jahat yang pernah aku kenal, dan dia bukanlah semua itu. 

Dia tak kenal waktu jika datang mengganggu. Dia sering meremehkanku, membuatku ragu pada keyakinan dan langkahku. Menghasutku supaya berhenti berbuat baik, supaya bermalas-malasan, melupakan cita-cita dan tujuan demi kesenangan. Dia tanpa kusadari menjadi pencuri teliti dari semua yang aku kumpulkan: harta, harapan, keyakinan. 

Dia itu diriku sendiri.

Dia memang penjahat. Bahkan terjahat dari yang pernah kukenal.

Friday, August 7, 2015

Mengejar NH Dini



Baru kemarin rasanya saya meminjam buku NH Dini: Pada Sebuah Kapal dari perpustakaan sekolah. Waktu itu, hanya satu nama pengarang perempuan yang saya ingat yaitu: NH Dini. Jadi saya, yang sesungguhnya sangat menyukai pelajaran bahasa Indonesia, dibandingkan Kimia dan Fisika (salah jurusan kayaknya), merasa perlu meminjam dan membaca buku-buku beliau. Seingat saya, ada tiga judul yang pernah saya baca. Tapi ingatan pada cerita dalam buku-buku beliau? Nihil. Rupanya otak remaja belasan tahun saya nggak nyandhak untuk memahami tulisan NH Dini. 

Pertemuan kembali dengan karya beliau terjadi baru-baru saja sebetulnya. Kurang lebih empat tahun yang lalu. Saya lupa buku mana yang duluan saya beli dari setumpuk buku ini. Tapi, saya langsung jatuh cinta, terutama pada buku-buku Serial Cerita Kenangan. 

Koleksi Buku NH Dini
Bagi penggemar berat, mestinya tahu ada ‘Gap’ dari koleksi ini. Kalau ada pembaca tulisan ini yang berbaik hati memberikan informasi tentang di mana buku yang belum saya punya bisa didapatkan, akan saya terima dengan senang hati. :D Di antara lain buku yang saya cari: Langit dan Bumi Sahabat Kami, Sekayu, Dari Fontenay ke Magallianes, dan Pada Sebuah Kapal

Jadi, kita lompat pada pertemuan hari Kamis, 6 Agustus 2015. 

Hari itu termasuk satu hari yang sudah saya tunggu-tunggu. Sudah saya sampaikan pada keluarga, pokoknya pada hari itu saya harus pergi untuk sebuah acara penting. Penting buanget karena acara ini lebih dari sekedar ketemu beliau di acara launching buku lalu minta tanda tangan dan foto-foto. Lebih mahal dan berharga dibandingkan ikut acara pelatihan menulis dengan beliau, misalnya. Ini adalah acara makan siang dengan NH Dini. Semi privat pula, karena beliau hanya kerso ketemu sedikit orang. Ini adalah pengalaman yang nggak akan saya dapatkan di tempat lain.

Alhamdulillah, melalui Dewi Rieka dan Artie Ahmad, saya dapat kesempatan ini.
Terus mengapa cerita pertemuan dengan NH Dini jadi “Mengejar NH Dini?” Karena, ehm, begini: 

Memang dalam cerita mesti ada ‘twist’ biar menarik. Saya sudah berangkat ‘ke bawah’ sejak pukul sembilan pagi. (Orang Semarang pasti paham kalau ‘ke bawah’ itu mengindikasikan rumah saya ada nun jauh di daerah Semarang atas.) Jam sebelas sudah sampai di ‘lokasi’, (setengah jam sebelum jadwal janjian). Mbak Dian Nafi sudah di sana juga. Kami sempat ngobrol-ngobrol nervous soal mau ketemu NH Dini! Setengah jam berlalu, saya mulai gelisah. Kenapa bu Dini belum juga muncul? Dari cerita di buku-bukunya saya yakin beliau adalah orang yang sangat menghargai waktu. 

Jadi, ini ‘twist-nya’:
Ternyata, restoran tempat saya dan mba Dian Nafi menunggu, bukanlah restoran yang dimaksud. Kami nunggu di Nglaras Roso cabang Thamrin, bu Dini (dan Artie) nunggu di Ungaran! Itu berarti sekitar 25 km jauhnya dari lokasi kami. (Yang sebetulnya malahan deket dari rumah saya). Namanya sama, lokasinya beda. Jeng jeng jeng!

Di ujung telepon sayup saya mendengar suara bu Dini. Dan Artie, menambah suasana horor di hati saya dengan kalimat, “Tapi Eyang nggak mau nunggu lho, Mbak.”
“Saya berangkat ke sana, mbak Artie, kalaupun nanti bu Dini sudah tindak, saya pasrah,” tutup saya di telepon.
Maka dengan menatap galau mata mbak Dian Nafi, “Yuk, Mbak, kita nyusul ke sana.” Mbak Dian langsung mengiyakan. 

Bismillah. Saya tahu waktu normal berkendara dari Jl. Thamrin sampai Ungaran adalah 45 menit, bahkan bisa satu jam. Selain jauh, jalanan sering padat. Mbak Dedew, yang waktu itu di dalam bus juga langsung balik kanan. 

Saya  nyetir senekad mungkin -sambil membayangkan bu Dini yang mungkin marah pada kami-,  sambil ngeri-ngeri sedap menyalip dan ngomelin pengemudi lain yang mendadak jadi siput, kami berdua selamat tiba di lokasi dalam waktu 25 menit! Nyaris bareng dengan Mbak Dedew yang saya lihat ‘loncat’ dari dalam taxi. Hihihi. Kami semua ‘mengejar’ waktu berharga kami bareng NH Dini.
Seberapa menit-pun yang tersisa, kami harus sempat ketemu!

Buru-buru mencium tangan beliau, kami bertiga berupaya meminta maaf. Bu Dini berkata kalau beliau harus istirahat pada jam satu karena sore harinya ada janji yang lain. Karena kondisi kesehatannya, beliau harus cukup berbaring sebelum melakukan aktivitas lain. Makanya tidak bisa menunggu kami terlalu lama. Tapi untunglah beliau tetap ramah, dan Artie langsung jadi ice breaker dengan berkata, “Ya udah, sekarang buku yang mau ditanda-tangani dikeluarin to, Mbak.”


Whoa! Langsung seisi ransel saya keluarin semua. Hehehe. Karena sebelumnya saya blank, tidak tahu mau bicara apa. Akibat habis lulus jadi pembalap, segala pertanyaan yang sudah saya persiapkan sejak sebulan lalu menguap di udara. Untungnya obrolan dengan eyang Dini mengalir begitu saja. (Iya, saya memang jadi labil ketika manggil beliau. Ibu atau eyang?)

Saya sampaikan rasa penasaran saya mengenai sebanyak apa catatan yang eyang Dini miliki. Kok beliau bisa sangat rinci ketika menuliskan suatu peristiwa, sampai ke warna baju, kadang potongan rambut, cara berjalan, dan lain sebagainya. Terutama saya kagum karena seri Cerita Kenangan adalah kisah beliau sendiri. Kisah nyata, nggak ngarang. 

Intermezo: ----Jadi, dear pembaca yang ingin mengenal lebih dalam tentang NH Dini, bacalah buku serial Cerita Kenangan ini. Antara lain: Sebuah Lorong di Kotaku, Kemayoran, Jepun Negerinya Hiroko, sampai buku beliau terbaru: Dari Ngalian ke Sendowo. Baru release tahun ini (2015), jadi buruan cari di toko buku. Susah lho nyari lagi kalau sudah habis.----
Buku Baru eyang NH Dini

Salah satu serial Cerita Kenangan. Covernya dilukis oleh Eyang sendiri, lho! Sayang lukisan itu sampai saat ini tak diketahui rimbanya.

Sedangkan kisah-kisah lainnya, eyang banyak mengambil inspirasi dari peristiwa yang juga pernah beliau alami/ ketahui sendiri. Kan hebat, beliau masih ingat secara rinci kejadian belasan sampai puluhan tahun yang lalu. 

Eyang Dini bilang it’s a given. Bahwa beliau punya ingatan ‘filmis’. Bahwa banyak peristiwa meski telah puluhan tahun yang lalu terjadi, bisa muncul di dalam ingatan beliau seperti film yang diputar.
Selain itu eyang punya  ‘buku Merah’. Buku tempat beliau mencatat semua adegan yang dirasa penting. Jika eyang mendapati kejadian menarik, akan langsung dicatatnya, lalu, beliau akan memindahkan catatan itu ke dalam ‘buku Merah’. Buku merah ini akan menjadi sumber penting bagi adegan-adegan di dalam cerita. 
 
:) ;) :)
Eyang Dini juga bercerita kisah ketika beliau menerjemahkan karya sastra Perancis dari seorang peraih hadiah Nobel, Albert Camus: La Peste, (diterjemahkan menjadi 'Sampar'). Beliau kekeuh memegang prinsip bahwa sebuah karya sastra tidak bisa 'dipotong' seenaknya, apalagi demi mengejar jumlah halaman. Bahkan eyang Dini berupaya memahami benar pesan yang ingin disampaikan sampai kata per kata. Tidak sekedar menerjemahkannya menjadi bahasa Indonesia. Wah, jadi kesentil kan, dengan fenomena terjemahan ngawur jika sekedar mengetikkan kalimat ke translator tanpa mengerti maknanya.

Kami terus berbincang, kebanyakan tentang cerita-cerita dalam buku-bukunya. Tentang sahabat-sahabat beliau, dan bagaimana saya mengagumi ketelatenan beliau mengurus anak-anaknya ketika beliau mengikuti tugas suaminya waktu itu dan berpindah-pindah negara. 

Begitupun saya kagum dengan keahlian beliau dalam memasak. Akibat menyampaikan rasa penasaran saya akan ‘sambal bajak’ yang beliau selalu bawa kemana-mana ketika di luar negeri, kami jadi punya ‘janji kencan’ lagi dengan eyang! Amiin, semoga terjadi.
 
Eyang, semoga sehat selalu.
Doa kami semua, di usianya yang menjelang 80 tahun, semoga eyang NH Dini selalu sehat, sehingga dapat terus berkarya, menginspirasi, dan meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi Indonesia. 

Waktu terus berlalu, dan waktu hampir mendekati jam setengah dua! Alhamdulillah, eyang kerso berbagi dengan kami lebih dari waktu yang beliau siapkan sendiri. 

Sebelum pulang Eyang NH Dini tidak segan berfoto bersama kami. Hua. Rasanya haru dipeluk dan cipika cipiki dengan seorang NH Dini. Seseorang yang sudah saya kenal namanya sejak jaman sekolah, dan muncul di buku-buku pelajaran bersama HB Jassin, WS Rendra, dan Chairil Anwar!
 
Puisi WS Rendra yang eyang Dini cantumkan dalam novelnya.
Dalam mobil (dimana saya udah rileks nyetirnya) saya dan mbak Dian Nafi norak-norak bergembira nggak jelas gitu, mengenang kejadian yang baru kita alami. Hahaha. Mungkin ini yang dirasakan para ABG ketika nonton boysband, atau para Wota yang nonton AKB 48. Hihi. 
Thank you, Artie
 Thank you, very much, buat Artie Ahmad (Penulis buku Turning Seventeen à cari di tobuk yaa). And the lovely Dewi Rieka. Maknya kos Dodol ini memang really amazed me! (I love you full, Mak. 'Kedodolan' itu berulang kali membawa berkah!)





Saturday, June 27, 2015

Sepanjang Janji



Pemandangan dari balik jendela kereta melintas cepat bagaikan film yang memutar balik cerita kita. Aku telah menangguhkan keinginanku untuk naik pesawat, karena perjalanan ini harus sesuai dengan keinginanmu. Padahal aku tidak suka perjalanan darat yang panjang. Bagiku itu buang-buang waktu dan hanya akan membuat badanku lelah. Tapi kamu suka, kan.
Katamu perjalanan darat akan membuatmu benar-benar merasakan perjalanan sesungguhnya. Kamu bilang setiap detik di jalan akan membuat kita sadar akan limpahan kekayaan alam di setiap tempatnya. Membuat hati menjadi peka keindahan, dan bersyukur pada setiap anugerahNya. Kamu sangat suka memandangi hamparan sawah, kebun sayuran, juga pohon-pohon di hutan.
Aku sempat tertawa. Apa enaknya menikmati perjalanan sambil pegal-pegal, sementara dengan pesawat terbang kita bisa langsung sampai di tujuan. Lagipula jalan-jalan di Jawa khususnya saat ini sudah tak lagi menghamparkan keindahan. Alih-alih pepohonan atau sawah yang menghijau, kita hanya akan disuguhi pemandangan padatnya rumah dan pabrik.
 “Riani,…” ucapmu seperti sedang mengajari anak kecil. Padahal umur kita sebaya. “…semakin sering kamu bepergian, kamu akan tahu bahwa setiap tempat itu istimewa. Perubahan itu nggak akan kamu rasakan kalau kamu kemana-mana naik pesawat.”
“Terus, aku mesti naik apa kalau mau ke Singapura atau Bali dari Jakarta? Numpang bajaj?” gerutuku. Selama ini aku tidak pernah mau liburan ke kota-kota yang tidak memiliki bandara. Aku malas menghabiskan terlalu banyak waktu untuk perjalanan darat. Sudah cukup waktuku habis di jalanan Jakarta.
Kamu gemas mengacak rambutku. “Bukan itu maksudku nona manis. Tempat-tempat yang paling indah, aneka tumbuhan dan satwa yang unik, justru banyak yang hanya bisa ditemui dengan perjalanan darat. Nggak jarang mesti jalan kaki, lho. Tapi di situlah tantangannya. Dengan begitu kamu akan melihat, mendengar, dan akhirnya lebih banyak tahu. Apalagi kita tinggal di Indonesia. Negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Negara kita ini disebut sebagai negara Megabiodiversity, lho.”

Aku berdecak. Kamu, Bagus, adalah orang paling idealis yang pernah kukenal. Khususnya soal lingkungan. Selain itu kamu sangat aktif dengan komunitasmu itu, komunitas berisi orang-orang yang hobi mendokumentasikan aneka hewan dan tanaman di hutan-hutan. Pantas kamu begitu menikmati pekerjaanmu. Menjadi kameraman stasiun televisi bisa membuatmu bepergian ke segala pelosok negeri. Membawamu pada beragam perjalanan yang kamu rindui.
Aku melirik jam tangan darimu. Kamu beli untukku dari gaji pertamamu. Hingga kini aku belum pernah menggantinya dengan yang lain. Aku sedang menghitung-hitung. Dalam delapan jam kereta ini akan tiba di Solo. Perjalanan naik bus ke Tawangmangu perlu waktu dua jam. Naik angkutan umum dari terminal Tawangmangu ke pos pendakian Cemoro Sewu, mungkin hanya setengah jam. Semua telah kuhafal di luar kepala sejak kamu memberiku rute perjalanan itu. Empat tahun yang lalu. 

“Jadi kamu mau liputan ke Lawu, Gus? Ada acara apa sih di gunung?” tanyaku setelah membaca jadwal perjalananmu.
“Aku dan teman-teman akan membantu penelitian tentang keanekaragaman hayati di Lawu. Khususnya tanaman. Kebetulan stasiun tiviku juga akan membuat film dokumenternya,” jawabmu penuh gairah. Aku merasakannya dalam suaramu, sorot matamu. Semua yang aku suka darimu.
“Berapa lama?”
“Seminggu. Mungkin lebih.”
Aku langsung cemberut.
Kamu yang menyadari perubahan wajahku langsung merangkulku.
“Seminggu kan tidak lama,” bujukmu.
“Memangnya Lawu seberapa luasnya sampai kamu butuh waktu berhari-hari buat melihat tanaman saja,” protesku.
Pekerjaanmu sebagai jurnalis, belum lagi aktivitas di komunitasmu itu, ditambah pekerjaanku di bank yang membuatku makin sering lembur, membuat kita jarang bertemu.
Kamu malah tertawa. “Kegiatan ini penting, Riani. Kamu tahu, di gunung Lawu perusakan lingkungan sudah cukup mengkhawatirkan. Sebagian besar disebabkan oleh penebangan liar, tanah longsor, kebakaran hutan, dan juga perambahan hutan untuk pertanian. Karena itu penelitian tentang keanekaragaman tumbuhan ini penting, sebagai salah satu upaya konservasi pada kawasan hutan di gunung Lawu.”
Ah, kamu mulai dengan kuliahmu.
“Tapi aku pasti kangen.” Aku merajuk.
Kamu menatapku, lalu melepaskan jaket biru kesayanganmu, dan melingkarkannya di bahuku.
“Kalau kangen peluk jaketku aja, ya.”
Huh, jaketnya bau kamu.” Aku masih merajuk.
Kamu seperti berpikir sejenak sebelum berkata, “Gini, deh, aku janji, nanti begitu dapat libur, aku akan mengajakmu pergi.”
“Kemana?” tanyaku sumringah.
“Naik gunung.”
Semangatku langsung surut. “Kenapa mesti naik gunung, sih, Gus? Jauh banget. Capek tahu!” protesku.
Aku adalah gadis kota tulen yang interaksi terdekatku dengan alam adalah pergi ke kebun binatang. Membayangkan memanggul ransel di tengah-tengah rimba ditambah mendaki berjam-jam membuat migrenku kambuh. Kepalaku pusing membayangkan kerepotan apa yang harus aku jalani demi perjalanan seperti itu.
Kamu tersenyum dan menyibakkan rambut ikalmu yang diam-diam aku kagumi.
“Soalnya, aku kepingin menunjukkan padamu seperti apa pohon Paederia Scandans itu, mau mengajakmu melihat matahari bangun di puncak gunung. Kamu pasti akan mengenangnya seumur hidupmu.”
“Pohon apa?”
“Pohon sembukan, alias daun yang berbau seperti kentut.” Kamu tergelak.
Aku mencubiti lenganmu dengan kesal. Kamu segera menangkap tanganku.  
“Kamu mau ya, ikut denganku?”
Duh, mana mungkin aku kuat jalan sampai ke puncak. Lagian boro-boro naik gunung, jalan kaki keliling komplek aja udah gempor!”
“Kamu pasti bisa, Riani.”
“Kalau aku pingsan?”
“Kamu nggak akan pingsan.”
“Kalau aku takut?”
“Kan ada aku.”
Genggamanmu makin erat. “Kita janji, ya?”
Lalu akupun jatuh dalam keteduhan matamu.

*

Aku merasakan kereta melambat. Sayup denting lagu beradu dengan derap roda-roda besi di Stasiun Balapan. Aku merenggangkan tubuh. Lihat, Bagus, aku tidak mengomel untuk jam-jam panjang yang kuhadapi.
            Hembusan angin segar di halaman stasiun menyambutku. Menguarkan aroma kerinduanmu akan kota ini. Aku segera menuju tempat becak-becak diparkir. Berbekal bahasa Jawa yang pernah kamu ajarkan, aku minta seseorang mengantarku ke terminal. Perjalanan naik becak ini juga idemu. Beberapa kali aku ke Solo, baru kali ini aku bergerak pelan seiring keriyat-keriyut kayuhan pedal becak.
            “Kamu harus merasakan naik becak. Duduk di becak bisa membuat kamu merasakan udara berhembus di sela telingamu, membaui aroma masakan, bunga, rumput,…”
            “Juga bau sampah, keringat orang,” selaku. Kamu terlalu puitis. Kalau kamu tidak jadi kameramen barangkali kamu akan jadi pujangga.
            Kini, ditingkahi semilir angin, aku memejamkan mata. Merayap bersama waktu di jalan-jalan kota yang sangat kamu cintai. Ah, sepertinya akupun jatuh cinta.  

*
           
Bus ini bergoncang untuk kesekian puluh kalinya. Tak kubayangkan perjalanan ke lereng gunung Lawu akan penuh kelokan, tanjakan, dan tikungan tajam. Deretan pohon pinus di sepanjang jalan seperti tentara yang berjaga, agar bus oleng ini tidak terjun ke jurang. Anehnya aku tidak mengomel, atau mengumpat. Tidak sekalipun, selain mendaras doa. Aku masih ingin selamat untuk menunaikan janji kita.
Mungkin karena kamu mendekap aku, aku menjadi tenang. Aku ingat kamu pernah berpesan untuk berserah diri ketika sedang menempuh perjalanan. Aku nikmati setiap hentakan tubuhku ketika bus mendadak berhenti atau berbelok cepat. Padahal jurang-jurang menganga bagai mulut monster yang siap menyambut nyawa. Ah, maut begitu dekat sekaligus begitu jauh. Tapi bersamamu, aku tak lagi takut apapun. 

*

Aku termangu di pintu Cemoro Sewu. Titian ini semakin dekat. Sebentar lagi perjalanan sesungguhnya akan dimulai. Mendaki gunung adalah bukan tentang penaklukan, tapi sebuah perjalanan ke dalam dirimu, begitu selalu katamu, Bagus.
Seorang kawanmu memeriksa kelengkapan barang-barang kubawa. Sahabat-sahabatmu memang sekumpulan orang yang sangat baik dan hangat. Mereka menyambutku laksana sahabat lama, padahal belum pernah sebelumnya berjumpa. Pada tanggal yang sama, -sejak empat tahun yang lalu-, mereka selalu bersama-sama kembali menempuh perjalanan ini.
Abdul, pemimpin rombongan berdiri menjajariku. “Terima kasih mbak Riani mau ikut kegiatan kami. Mas Bagus pasti senang sekali. Setiap kali kami kembali untuk mendokumentasikan tanaman di jalur pendakian ini, kami hanya bisa berharap kerusakannya tidak semakin parah setiap tahunnya. Tidak banyak lagi orang yang peduli dengan kelestarian hutan, Mbak.”
Aku menunduk malu. Lama juga waktu yang kuperlukan untuk peduli. Atau tepatnya aku butuh waktu yang sangat lama untuk berani memenuhi janji ini. Aku menarik nafas, membulatkan tekad. Sambil menggenggammu lebih erat, aku mulai menapaki jejak-jejak yang dulu pernah kau pijak. Gemeresik langkahku beradu lembut dengan bebatuan dan rumput. Dengung kumbang dan selintas suara burung-burung adalah musik paling merdu yang pernah kudengar. 

Seperti apa rupamu waktu pertama kali melewati jalanan ini, Bagus? Aku membayangkan kamu sepuluh tahun lebih muda. Barangkali rambutmu belum sepanjang saat aku mengenalmu. Barangkali tubuhmu lebih kurus. Tapi aku yakin senyummu tetap sama.
Teman-temanmu bilang meskipun banyak gunung-gunung lain yang telah kamu daki, kamu selalu merindukan Gunung Lawu. Waktu itu aku berkata bukankah sudah banyak gunung lain yang kamu datangi. Sebagiannya bahkan mendapat gelar gunung-gunung dengan puncak tertinggi.
 “Lawu adalah gunung pertama yang aku daki. Cinta pertamaku jatuh kepadanya. Pada hutannya, pada keelokannya. Karena itu aku selalu mengingatnya sebagai pengalamanku yang paling mengesankan,” begitu katamu.

Kini aku mengerti. Cintaku pertama juga jatuh padamu, Bagus. Aku juga selalu ingat. Meski kenangan tentang kamu menorehkan nyeri dalam diri yang aku tak tahu datang dari mana. Karena hingga kini aku tak pernah bisa lupa, detik-detik kehilangan kamu.
“Mbak Riani?”
Waktu itu aku baru tiba di rumah selepas kerja. Aku tersambung dengan seseorang bernomer telepon asing.
“Mbak Riani saya menelepon untuk menyampaikan kabar tentang Bagus Ardi.”
“Bagus kenapa, Mas?” Perasaanku langsung tak enak.
“Bagus menuliskan telepon Mbak di nomer telepon yang harus dihubungi dalam keadaan darurat.”
Aku menahan jantungku lompat dari rongganya.
“Saya harus mengabarkan kalau Bagus hilang di Gunung Lawu.”
Kalimat terakhir itu kemudian menjelma gema yang tak berkesudahan di kepalaku. Doa yang berhari-hari kuretas barangkali lebih deras daripada hujan yang mengguyur Jakarta.
Kamu harus kembali, Bagus. Kita masih memegang janji. 

*

Tapi hari berlalu tanpa kabar kepulanganmu. 

*
Hanya janji yang membuatku mampu berdiri di Hargo Dumilah, puncak tertinggi Gunung Lawu. Aku membaui rumput yang basah oleh embun. Lebih segar dibandingkan aneka minyak aromatherapy di tempat spa termahal sekalipun. Aku dibuat takjub dengan aroma hutan di sepanjang jalan. Aku jadi kesal bercampur geli karena jadi tahu bau daun sembukan, pohon yang dulu kamu sebutkan. Benar-benar seperti gas berbau tajam. Masih pula terbayang keindahan bunga edelweiss yang kujumpai dalam perjalanan menuju puncak. Kecil terselip di antara rerumputan. Aku berharap bunga-bunga itu selalu tumbuh abadi seperti namanya.
Perjalanan ini membuatku semakin mengerti, Bagus. Kecintaanmu pada tumbuhan, pada alam, adalah wujud syukurmu yang terbesar pada karunia yang diberikanNya untuk bumi ini.
Dalam deru nafasku aku menyaksikan tirai langit membuka. Mentari yang perlahan bangun, hangatnya seperti sinar matamu. Aku mendekapmu semakin erat. Aku merasa dekat, terbenam dalam jaket biru yang kamu tinggalkan untukku. 

Demi Alam yang menyambutmu pulang, aku mencintaimu, Bagus. Sepanjang janji kita.
 
Selesai

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com