Wednesday, November 20, 2019

Melestarikan Jiwa Cagar Budaya Indonesia - Sobokartti



“We cannot escape history”
(Kita tidak dapat melarikan diri dari sejarah)
Abraham Lincoln 


Selama ratusan tahun, bangsa Indonesia hidup dalam masa penjajahan bangsa Eropa. Berdasarkan catatan sejarah, bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis, diikuti Spanyol, Inggris dan Belanda. 

Tak dapat dipungkiri, meski masa penjajahan menyisakan banyak kisah dan kenangan yang memprihatinkan, masih ada sisa-sisa peninggalan masa lampau yang dapat dipetik hikmahnya oleh bangsa Indonesia saat ini. 

Salah satunya adalah dengan mengambil pelajaran dari peninggalan berupa bangunan-bangunan kuno di pelbagai wilayah di Indonesia. 

Bangunan-bangunan tua yang masih berdiri di kota-kota di Indonesia, seakan menjadi saksi sejarah, tidak hanya tentang kehidupan di masa lampau, melainkan juga tentang perjalanan bangsa Indonesia dengan berbagai kisahnya. Di Surabaya ada Hotel Oranje (kini Hotel Majapahit) yang dibangun pada tahun 1916 dan pada era penjajahan Jepang berganti nama menjadi Hotel Yamato. Di sana pernah terjadi insiden penyobekan bendera Belanda menjadi bendera Merah Putih yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah nan heroik. Di Bandung, ada Hotel Savoy Homann yang menjadi saksi bahwa bangsa Indonesia pernah menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika. 

Bangunan peninggalan era Kolonial yang seringkali dibangun dengan tetes keringat dan darah para bumiputera itu penting artinya bagi generasi penerus. Setiap bangunan memiliki kisah sejarah yang bisa menjadi pembelajaran bagi generasi di masa datang. 

(Dok Pribadi)

PELESTARIAN BANGUNAN BERSEJARAH

Beragam upaya telah dilakukan oleh banyak kalangan, mulai dari pemerintah, swasta hingga organisasi-organisasi dan komunitas  dari dalam dan luar negeri, demi kelestarian bangunan-bangunan bersejarah di berbagai tempat di Indonesia. Meski tak dapat dipungkiri, banyak pula bangunan yang kemudian rusak dan musnah karena termakan usia tanpa mendapatkan perbaikan, atau hilang karena tergusur oleh kepentingan-kepentingan zaman yang lebih modern. 

Dilema kepentingan pelestarian bangunan bersejarah dan kepentingan ekonomi adalah hal yang sering terjadi yang berakibat pada dirobohkannya bangunan bersejarah untuk diganti dengan bangunan baru. Meskipun bangunan tersebut telah diberikan status cagar budaya oleh pemerintah. 

Pengertian Cagar Budaya dalam UU Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 adalah sebagai berikut: 

“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.” 

Terdapat lima kategori Cagar Budaya, yaitu:
1. Benda misalnya biola W.R Supratman
2. Struktur misalnya Tugu Pahlawan di Surabaya
3. Bangunan misalnya gedung Lawang Sewu di Semarang
4. Situs yaitu lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya
5. Kawasan yaitu lokasi yang memiliki dua atau lebih benda cagar budaya yang berdekatan.

Tidak mudah memang menyematkan status cagar budaya pada sebuah bangunan. Sebuah bangunan  harus memenuhi kriteria berusia 50 tahun atau lebih, dan mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, untuk bisa ditetapkan sebagai cagar budaya. Pun itu harus melewati proses verifikasi dari tim ahli. 
Bangunan berstatus Cagar Budaya
(Dok Pribadi)
Dengan status cagar budaya, sebuah bangunan berdasarkan Undang-Undang mendapatkan perlindungan dari Pemerintah. Undang-Undang Tentang Cagar Budaya mewajibkan setiap pemilik bangunan cagar budaya untuk menjaga dan memelihara bangunan miliknya. Pemeliharaan dilakukan dengan cara merawatnya untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan baik itu karena pengaruh alam dan/atau perbuatan manusia. Perawatan cagar budaya dilakukan dengan cara pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar Budaya. Untuk ini diperlukan pengawasan secara terstruktur, intensif dan konsisten. 

Dengan Undang-Undang Cagar Budaya pemerintah secara tidak langsung juga mengajak masyarakat turut berperan aktif dalam setiap upaya pelestariannya. 

Mengapa harus repot menjaga sebuah bangunan tua yang mungkin sudah lapuk dimakan zaman? Salah satu tujuan utamanya adalah  memberikan kesempatan pada generasi yang akan datang untuk dapat lebih mengembangkan pengetahuan melalui bangunan tersebut. 

“Study the past if you would define the future.”
(Pelajari masa lampau jika kamu ingin menetapkan masa depan.)
Confusius 

Pelestarian bangunan cagar budaya menjadi penting karena keberadaan bangunan-bangunan tersebut untuk dipelajari demi masa depan. Mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pelestarian cagar budaya, tidak hanya bisa dilakukan semata untuk memenuhi aturan belaka. Penting bagi masyarakat untuk tahu tentang latar belakang sejarah, dan kisah-kisah yang tersimpan bersama bisunya bangunan-bangunan cagar budaya di sekitar kita.  

SEMARANG DAN CAGAR BUDAYA


Di Semarang, ada satu kawasan kaya bangunan cagar budaya yang disebut sebagai “Little Netherland” atau “Belanda Kecil”, yang kini dikenal sebagai kawasan “Kota Lama”. Seperti namanya, kawasan di sebelah Utara kota Semarang ini tampak bak kepingan negeri Belanda. Di sana berdiri sekitar 50 bangunan kuno berupa gedung-gedung perkantoran berdampingan dengan bangunan toko, hunian dan pergudangan, sebagai saksi sejarah majunya perdagangan antar daerah, antar pulau, dan luar negeri yang dilakukan melalui kota Semarang di masa lampau. 

Kota Semarang yang terletak di pesisir Utara Jawa, dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan yang maju. Karena itu bisa dimaklumi jika Semarang lebih dikenal karena kegiatan perniagaannya ketimbang kiprahnya di bidang yang lain. Dilihat dari sisi kesenian dan kebudayaan misalnya, Kota Semarang bisa dibilang kalah pamor ketimbang kota-kota terdekat seperti Surakarta dan Yogyakarta. 

Sehingga tak mengherankan pula, jika keberadaan satu gedung kesenian, yang lokasinya tak jauh dari Kota Lama Semarang, tidak banyak diketahui, bahkan oleh warga Semarang sendiri. Padahal bangunan ini merupakan bangunan cagar budaya yang menyimpan cerita sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kesetaraan hak dalam seni budaya. 

Bangunan itu adalah Volkstheater Sobokartti, atau biasa disebut Sobokartti. 

Gedung Sobokartti Semarang
(Dok Pribadi)
Tak banyak yang tahu, bahwa dari bangunan yang tidak nampak menonjol dari jalan raya ini dapat dipetik hikmah dari ceritanya di masa lalu yang bisa menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia ke depannya.

 
Gedung Sobokartti - Tampak Depan
(Dok Pribadi)

DI BALIK KISAH PARA PENDIRI


Gedung Sobokartti adalah gedung kesenian yang terletak di jalan Dr. Cipto No. 31-33 Semarang. Dalam masa pembangunannya, Sobokartti melalui masa-masa penting dalam sejarah Indonesia, yaitu masa ketika mulai diberlakukannya Politik Etis. Pandangan Politik Etis ini beranggapan bahwa bangsa bumiputera dan bangsa Belanda harus bersatu karena saling membutuhkan. Muncul juga pandangan bahwa “Timur” dan “Barat” bisa saling mengisi dan melengkapi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. 

Pada masa itu benih-benih nasionalisme mulai muncul di masyarakat bumiputera, termasuk di bidang kebudayaan dan kesenian. Di kalangan terpelajar timbul kesadaran bahwa kebudayaan dan kesenian bumiputera tidak kalah dari kebudayaan dan kesenian Barat, karena itu perlu untuk mendapatkan perhatian dan dipelajari secara serius. 

Sementara pada masa itu, keraton sebagai pusat kesenian belum terbuka sepenuhnya bagi pihak dari luar untuk bisa mempelajari dan menikmati kesenian dari dalam keraton. Hingga pada masa itu para pemuda pelajar di Yogyakarta meminta kepada Sultan Hamengkubuwana VII agar diperbolehkan mempelajari kesenian keraton. 

Permintaan itu dipenuhi pihak keraton dengan mendirikan Kridha Beksa Wirama (KBW) pada tahun 1918. Peristiwa itu menandai awal proses demokratisasi seni pertunjukkan kraton Jawa. Sultan sendiri yang memberikan dukungan finansial bagi kegiatan-kegiatan KBW. KBW menjadi wadah untuk menyebarluaskan pendidikan seni tari bagi masyarakat umum. Tari-tarian yang tadinya hanya berkembang di dalam keraton seperti Bedhaya dan Srimpi, bisa dipelajari dan ditampilkan di luar Keraton. 

Karsten bersama istrinya Soembinah dan tiga dari empat anaknya.
(Sumber gambar: https://sobokartti.wordpress.com/)

Thomas Karsten adalah seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memiliki peran penting dalam sejarah perencanaan kota dan arsitektur di Indonesia. Atas undangan Henri Maclaine-Pont temannya semasa kuliah di Delft Belanda, Karsten datang ke Semarang pada 1914. 

Gedung-gedung karya Karsten di Semarang antara lain: Pasar Johar, Kantor Kereta Api DAOP 4, dan Kantor Asuransi Jiwasraya. Museum Sono Budoyo di Yogyakarta dan Pasar Gede di Surakarta adalah karya Karsten lainnya.

Keistimewaan Karsten tidak hanya menyangkut karya-karya arsitekturnya, melainkan juga kepedulian Karsten pada isu-isu sosial dan politik. Karsten yang beristrikan perempuan pribumi ini mengakui bahwa kebudayaan Barat membawa kemajuan, tapi dia memandang kebudayaan Barat sedang merosot. Kebudayan Timur dengan spiritualisme dan ikatan sosialnya bisa menyelamatkan Barat dari kemerosotannya itu. 

Menurut Karsten, unsur-unsur terbaik Timur dan Barat bisa digabungkan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik lagi serta membawa kemajuan bagi keduanya. Karsten mempunyai visi tentang Indonesia pasca penjajahan, di mana Timur dan Barat hidup bersama dan sederajat dalam masyarakat yang harmonis. 

Karsten banyak berhubungan dengan para intelektual Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Pangeran Mangkunegoro VII, penguasa Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Di antara Mangkunegoro VII dan Karsten terjalin persahabatan yang didasari rasa saling hormat. Keduanya disatukan oleh kepedulian pada kebudayaan Jawa. Karsten melihat sosok Mangkunagara VII sebagai model priyayi Jawa modern.
Mangkunagara VII
(Sumber Gambar: Wikipedia)
Mangkunagara VII dikenal kiprahnya dalam memajukan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat, dan salah satunya kesenian. Pada Juli 1918 atas inisiatifnya di Mangkunegaran diadakan pertemuan pertama serangkaian kongres untuk memajukan kebudayaan Jawa. Sekitar 375 utusan, sebagian diantara mereka orang Eropa, datang dari seluruh Jawa. Pada akhir kongres dibacakan mosi tentang perlunya dibentuk sebuah lembaga tetap untuk memajukan studi dan mengembangkan kebudayaan Jawa. Sekali lagi berkat usaha Mangkunagara VII pada Agustus 1917 berdirilah Java Instituut yang bertujuan ”memajukan perkembangan kebudayaan pribumi, dalam arti kata yang seluas-luasnya, di Jawa, Madura dan Bali.” (Larson, 1990) 

Untuk mewujudkan gagasan yang dipelopori oleh KBW, di Semarang Karsten bersama Mangkunegara VII mengadakan pertemuan yang dihadiri antara lain burgemeester Semarang Ir de Jonghe, Bupati Semarang RMAA Purbaningrat, GPH Kusumayuda dari kraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar ”De Locomotief”. Dalam pertemuan itu disepakati untuk mendirikan perkumpulan kesenian yang diberi nama “Sobokartti” (tempat berkarya). 

Menurut anggaran dasar Kunstvereeneging Sobokartti yang disahkan pada 6 September 1926 tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian bangsa sendiri (inheemsche kunst). 

Adapun nama Sobokartti berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu Sabhā yang berarti tempat atau ruang pertemuan dan Kīrti yang berarti perbuatan baik. 

Pada awalnya kegiatan-kegiatan Sobokartti dilakukan di paseban Kabupaten Semarang dan di Stadstuin. Tapi pada 1930 berhasil dibangun gedung kesenian di Karenweg (sekarang Jalan Dr. Cipto), yang diberi nama Volkstheater Sobokartti

JIWA DEMOKRATISASI DI SOBOKARTTI

Bangunan teater Sobokartti dari sisi Tenggara
(Dok Pribadi)
Bangunan Sobokartti saat ini mungkin terlihat tersembunyi karena tidak menghadap jalan raya di sisi Timur, melainkan menghadap Selatan. Bangunan teater Sobokartti menyerupai struktur bangunan pendopo, dengan serambi di bagian depan. Atapnya berbentuk limasan bersusun, dengan teritisan atap yang lebar. 

Soko Guru di bangunan utama Sobokartti
(Dok Pribadi)
Pondasi bangunan dibuat dari batu kali, dan berkonstruksi kayu, dengan empat soko guru sebagai pilar utama penyangga atap bangunan. Dinding bangunan terbuat dari batu bata, yang dilapisi dengan plesteran dan kemudian di cat putih.
Denah Situasi Sobokartti
(Sumber Gambar: Djudjun Rusmiatmoko, Erni Setyowati, Gagoek Hardiman, Kontribusi Lubang Angin Dan Ventilasi Udara Pada Bangunan Sobokartti Semarang Dalam Mewujudkan Kenyamanan)
Bagian serambi memiliki atap yang terpisah dari bangunan utama, berbentuk limasan. Bagian serambi ini terdapat loket untuk menjual tiket pertunjukan, sekaligus ruang tunggu bagi penonton.
Denah Gedung Sobokartti
(Sumber Gambar: Djudjun Rusmiatmoko, Erni Setyowati, Gagoek Hardiman, Kontribusi Lubang Angin Dan Ventilasi Udara Pada Bangunan Sobokartti Semarang Dalam Mewujudkan Kenyamanan)
Di ruang utama terdapat panggung pertunjukan. Penonton bisa memakai sisi lainnya untuk menyaksikan pertunjukan di panggung utama, dengan tempat duduk panjang yang bertingkat semakin tinggi ke belakang seperti pada bangunan teater. Di bagian belakang panggung utama terdapat ruangan untuk persiapan pementasan.

Serambi Sobokartti dengan Atap Limasan
(Dok Pribadi)
Serambi Sobokartti
(Dok Pribadi)
Penataan ruangan seperti itu tak lepas dari proses diskusi antara Karsten dan Mangkunagara VII yang berlangsung jauh sebelum organisasi Sobokartti berdiri tentang konsep rancangan gedung teater yang sesuai bagi seni pentas Jawa 

Karsten tidak sekedar mempertimbangkan faktor-faktor arsitektur seperti estetika, penghawaan, pencahayaan dan akustik tapi juga tentang masa depan. 

Seni pertunjukan Jawa (seperti umumnya seni pertunjukan di Nusantara) tidak mengenal pemisahan yang ketat antara penonton dan pelakon. Selain itu, koregrafi tarian Jawa dirancang untuk dinikmati dari semua penjuru (Brandon, 1967). Sementara seni pertunjukan Barat justru berusaha menciptakan realitas baru atau dunia lain yang sepenuhnya terpisah dari penonton. Karena itu Karsten berpendapat panggung ala Barat yang hanya bisa dinikmati dari satu sisi bukan tempat yang cocok untuk pementasan kesenian Jawa. 

Meski demikian, pendhapa konvensional di istana dan rumah para bangsawan yang biasa dipakai untuk menggelar seni pertunjukan Jawa juga tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Kelemahan paling mendasar pendhapa konvensional sebagai suatu teater adalah karena faktor kenyamanan penonton. Tidak ada tempat yang jelas bagi penonton apakah duduk atau berdiri, dan apakah mereka bisa melihat panggung dengan jelas, tidak dipikirkan dalam rancangan pendhapa konvensional . Bagi Karsten ini sama sekali tidak bisa diterima justru ketika “kesenjangan sosial di masyarakat harus semakin dihilangkan” (Jessup, 1985).

 
Prototype Javaanse Schouwburg oleh Karsten
(Sumber gambar: https://sobokartti.wordpress.com/)
Karsten membuat sebuah prototipe gedung teater jawa (javaanse schouwburg) yang diharapkannya bisa menjadi acuan mendirikan gedung pertunjukan di berbagai tempat yang sesuai dengan karakter seni pertunjukan Jawa. 

Di kemudian hari satu-satunya javaanse schouwburg yang berhasil dibangun berdasarkan konsep dari Karsten adalah teater Sobokartti. Karena keterbatasan dana, tidak sepenuhnya rancangan Karsten berhasil terwujud. Bangunan Sobokartti yang ada saat ini terlihat lebih kecil dan sederhana ketimbang rancanngan maket Karsten. 

Sobokartti kini
(Dok Pribadi)
Rancangan Sobokartti Karsten memiliki prinsip yang sama mewakili pandangan Politik Etis dengan memadukan hal-hal baik dari “Barat” dan “Timur” untuk mencapai keselarasan dalam desainnya. Tempat pertunjukan teater model Barat dikawinkan dengan konteks pertunjukan kesenian lokal. 

Meskipun demikian, prinsip dasar yang diterapkan tetap sama, yaitu berangkat dari sesuatu yang telah dimiliki orang Jawa sejak dulu, yang diberikan unsur-unsur “Barat” sebagai pelengkap untuk menyempurnakannya. 

TANTANGAN SOBOKARTTI SEBAGAI CAGAR BUDAYA

Logo Sobokartti Semarang
(Sumber gambar: https://sobokartti.wordpress.com/)
Penetapan Sobokartti sebagai Cagar Budaya
(Dok Pribadi)

Saat ini Sobokartti dimiliki dan dikelola oleh Yayasan Sobokartti. Status Sobokartti sebagai cagar budaya ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II Semarang no. 646/50 tanggal 4 Februari 1992. Artinya sebagai bangunan cagar budaya sudah tentu Gedung Volkstheater Sobokartti memiliki nilai signifikan yang memberi kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. 

Bangunan Cagar Budaya yang dilindungi.
(Dok Pribadi)
Sedangkan dalam situs Kemendikbud dan sistem registrasi cagar budaya, Sobokartti tercatat didaftarkan pada bulan September 2017, berstatus lolos verifikasi dan dalam tahap kajian dan penilaian tim ahli. 

(Dok Pribadi)
Saat ini keberlangsungan bangunan teater Sobokartti menghadapi tantangan yang kurang lebih sama dialami oleh bangunan-bangunan tua lainnya yang lapuk dimakan usia di wilayah Semarang. Bencana banjir, rob, dan intrusi air laut adalah tantangan yang harus dihadapi bangunan teater ini setiap musimnya. 

Banjir dari luapan Kali Banger pernah membuat bangunan utama terendam air setinggi lutut orang dewasa yang membuat semua aktivitas kesenian terhenti. Tantangan lainnya adalah menata lingkungan di sekitar teater Sobokartti agar tidak menjadi kumuh dan jorok. Saat ini sedikitnya 20 keluarga yang tinggal dan menempati (magersari) kompleks Sobokartti. 

Secara bertahap perbaikan terus dilakukan dengan membuat gorong-gorong, menyediakan dan memperbaiki sarana dan prasarana seperti MCK di lingkungan Sobokartti. Ini adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah dan murah untuk menjaga dan merawat Sobokartti agar bisa bertahan di masa depan. 
Latihan Karawitan di Sobokartti
(Sumber Gambar: Youtube)
Akan tetapi melestarikan cagar budaya bukan hanya upaya merawat secara fisik, tetapi juga menjaga jiwa dan semangat dari bangunan cagar budaya agar tetap hidup dan berkembang.

Patut disyukuri hingga saat ini bangunan Sobokartti masih mewadahi aneka kegiatan kesenian diantaranya kursus tari, kursus karawitan, pedalangan, pranatacara, bahkan kursus membatik. Di Sobokartti juga sering berlangsung perhelatan kebudayaan yang melibatkan seniman-seniman lokal termasuk pentas wayang secara rutin.

Pentas Tari Modern di Sobokartti
(Sumber Gambar: Youtube)
Yang membahagiakan adalah bahwa Sobokartti juga berhasil menarik minat generasi muda untuk belajar kesenian tradisi.
Generasi muda, laki-laki dan perempuan berlatih tari di Pendopo luar Sobokartti
(Sumber Gambar: Youtube)
Sobokartti di usianya yang menjelang 88 tahun, bisa bertahan dengan idealisme para pendirinya, sebagai tempat untuk berkarya dan tempat apresiasi karya di bidang kesenian. Hal ini patut diapresiasi. Di tengah euforia penyambutan masyarakat Indonesia pada seniman dari luar dengan panggung megah dan biaya besar, memang tak banyak panggung yang tersedia bagi para seniman lokal. Khususnya seniman tradisi. Apalah daya para seniman jika terus diharapkan berkarya tanpa apresiasi. 

Setiap generasi manusia adalah pewaris kebudayaan. Manusia lahir tidak membawa kebudayaan dari alam Garbani (alam sebelum manusia terlahir ke dunia), melainkan bertumbuh dan berkembang menjadi dewasa dalam lingkungan budaya tertentu, di mana dia dilahirkan. Perkembangan manusia dibentuk oleh kebudayan yang melingkunginya. 

Dengan hilangnya kesenian lokal dalam kehidupan sehari-hari, tak heran jika generasi muda Indonesia kemudian tak mengenali lagi kesenian asli bangsanya sendiri. 

Pertunjukan kesenian lokal di media acapkali hanya untuk memenuhi tuntutan seremonial. Selain penonton yang semakin berkurang, kesenian lokal juga terdesak karena tidak memiliki pengayom, yang mampu mendukung agar bisa tumbuh dan berkembang. Kesenian bangsa ini terancam musnah. Merupakan kewajiban kita semua untuk membuatnya lestari dan kembali berjaya di negeri sendiri. 

Meskipun tembok dan soko guru penyangga Sobokartti bisa tegak hingga puluhan tahun lagi, apalah artinya jika bertahan tanpa jiwa yang hidup di dalamnya. 



#CagarBudayaIndonesia
#KemendikbudxIIDN

Yuk berpartisipasi pada Kompetisi "Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!


Daftar pustaka dan sumber tulisan:
  • Djudjun Rusmiatmoko, Erni Setyowati, Gagoek Hardiman, Kontribusi Lubang Angin Dan Ventilasi Udara Pada Bangunan Sobokartti Semarang Dalam Mewujudkan Kenyamanan Termal, Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro
  • Marnimin (Ed), 1994, Jangan Tangisi Tradisi, Penerbit Kanisius.
  • Purwanto, L.M.F dan Soenarto, 2012, Menapak Jejak-jejak Sejarah Kota Lama Semarang, Bina Manggala Widya.
  • Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia, 2012, Tegang Bentang – Seratus Tahun Perspektif Arsitektural di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama.
  • Sriayu Aritha Panggabean, Perubahan Fungsi dan Struktur Bangunan Cagar Budaya Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Cagar Budaya, Pandecta, Volume 9. Nomor 2. Januari 2014.
  • Tjahjono Rahardjo, 2013, Javaanse Schouwburg Sobokartti dan Visi Indonesia Merdeka
  • Foto caption dari Youtube Channel UPGRI Semarang: https://www.youtube.com/watch?v=RaLd9TY1psU
  • https://sobokartti.wordpress.com/
  • https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
  • https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/
  • https://www.kompasiana.com/tag/seni

Monday, November 4, 2019

Sehari di Kampung Nyusu


Wilayah Kabupaten Semarang memiliki beragam daya tarik wisata mulai dari wisata alam hingga buatan. Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Semarang dan sekitarnya, wilayah Bandungan dan Kopeng, dikenal sebagai daerah dengan hawa dingin yang menjadi salah satu tujuan wisata keluarga.

Nah diantara puluhan daya tarik wisata di Kabupaten Semarang, ada 35 desa wisata yang kian hari semakin dibenahi untuk menarik lebih banyak lagi wisatawan ke wilayah ini. Memang wilayah Kabupaten Semarang ini masih memiliki daerah-daerah pedesaan dengan potensi wisata alami. Selain Desa Menari di Tanon Getasan, di wilayah yang berdekatan ada juga desa wisata yang terkenal dengan jargon Kampung Nyusu. 

Pas banget di hari Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 2019 kemarin, saya bareng rombongan bloger diajak oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang untuk mengunjungi Kampung Nyusu ini yaitu Desa Sumogawe di wilayah Getasan. Desa-desa di wilayah ini memang dikenal sebagai penghasil susu. Rata-rata warga memiliki sapi perah dan di sana juga terdapat koperasi peternakan sapi perah sekaligus pengolahan susu. 

Mengenal Tradisi Saparan


Hari kunjungan kami waktu itu jatuh pada hari pasaran Senin Legi, yaitu hari untuk perayaan Saparan di dusun Sumogawe. Perayaan Saparan (yang diambil dari kata: Bulan Safar dalam penanggalan Islam) sendiri merupakan tradisi di desa-desa di Indonesia terutama di wilayah Jawa. Masing-masing desa biasanya memiliki harinya sendiri. 
Suasana Jalan dusun Sumogawe
Selepas berkendara sekitar 45 menit dari kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang, kami tiba di Sumogawe. Hawa cukup sejuk karena dusun ini berada di lereng gunung Merbabu. Suasana jalan desa meriah dipenuhi pedagang yang menjajakan aneka jenis barang dari makanan hingga mainan. 
Panggung acara sudah didirikan di salah satu pelataran warga. Di satu sisi makanan khas desa seperti pisang, telo dan kacang rebus, terhidang di atas meja, bersama –tentu saja- produk khas desa Sumogawe, susu. 
Siapa yang langsung terngiang jinglenya?

Saya baru tahu kalau salah satu produk susu yang dijual keliling dengan jinglenya akrab banget di telinga saya sejak zaman kuliah, ternyata diproduksi di wilayah ini.


Waktu kami tiba di Sumogawe sekitar pukul 10 pagi, acara kirab sudah dimulai. Masyarakat Sumogawe dari berbagai kalangan, mulai dari para sesepuh desa hingga anak-anak, turut meramaikan kirab. Seluruh peserta kirab berjalan dan berbaris mengelilingi desa dengan atributnya masing-masing, termasuk membawa gunungan berisi hasil bumi seperti sayur dan buah-buahan, tak ketinggalan tumpeng dan ingkung (ayam). 
Gunungan Hasil Bumi
Peserta Kirab
Tradisi Saparan, atau juga disebut oleh pak Lurah dalam sambutannya sebagai kegiatan Merti Deso diadakan setiap tahun di hari Senin Legi. Kegiatan ini sudah dilakukan di Sumogawe sejak zaman nenek moyang. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan semua umat. Karena pada hari itu semua unsur lapisan masyarakat berkumpul.


Tidak hanya warga dusun Sumogawe saja, tapi juga warga dari dusun tetangga. Termasuk juga sahabat dan para kerabat diundang dan sengaja hadir khusus dalam rangka Saparan ini. Kami juga berbaur bersama warga menonton pertunjukan seni yaitu Tari Prajuritan, yang berkisah tentang perjuangan pangeran Diponegoro melawan penjajah. 
Tari Prajuritan
Selain panggung pertunjukan seni, acara Saparan yang mengingatkan saya pada suasana Lebaran di kampung simbah ini dimeriahkan dengan acara saling berkunjung ke rumah-rumah warga. Begitupun kami, dengan ditemani mas dan mbak dari Sumogawe yang dilatih untuk memandu pengunjung, kami turut merasakan keakraban dan keramahan warga Sumogawe, dan tentu saja, aneka masakan dan camilan yang dihidangkan di rumah-rumah. 

Alhamdulillah, kenyangnya tahan sampai besoknya. Hehe. 

Keramahan Warga desa
Seluruh warga dengan senang hati menghidangkan aneka masakan kepada siapa saja yang berkunjung ke rumahnya. Bahkan konon semakin banyak yang berkunjung, warga akan semakin senang. Semuanya merupakan wujud tanda syukur kepada Allah, dan berharap diberikan keselamatan dan panjang umur, serta murah rezeki. 

Ken Nyusu


Ada yang kurang dalam arak-arakan hasil bumi dalam acara Saparan kemarin, yaitu arak-arakan sapi, hehe. Warga desa rata-rata memiliki lima ekor sapi perah di rumahnya. Susu yang dihasilkan menjadi salah satu sumber mata pencaharian warga. 

Truk Tangki Susu di Koperasi
Susu yang dihasilkan di wilayah melimpah ini bisa mencapai 80.000 liter setiap harinya. Susu sapi yang dihasilkan, selain disalurkan ke pabrik-pabrik susu besar, oleh warga sebagiannya disulap menjadi berbagai bentuk olahan seperti sabun, pie susu, kerupuk susu, yoghurt, kefir dan es krim. Sayang hari itu kami tidak sempat mampir untuk belanja produk-produk ini. Warga juga sedang repot mengurusi acara Saparan, jadi tidak sempat membuat stok yang cukup. 

Tempat Penyimpanan Biogas
Setelah perut kenyang dengan hidangan warga Sumogawe tadi, kami diajak ke salah satu Koperasi tempat pengolahan susu sapi, sekaligus tempat peternakan sapi perah di dusun Bumiharjo masih di wilayah Getasan. Tapi lagi-lagi kami tidak tiba di waktu yang tepat, alias belum bisa melihat proses pemerahan susu sapi. Sapi-sapi itu biasa diperah hanya di waktu-waktu tertentu, pagi dan sore. Kandang sapi milik Koperasi ini juga memanfaatkan kotoran sapi sebagai biogas, untuk bahan bakar. 
Tata Cara Pemerahan Susu Sapi
Yang menarik juga dari perjalanan hari itu adalah demo pembuatan keju mozzarela di rumah warga di dusun Magersari. Menarik buat ibu-ibu kayak saya, mungkin hehehe. Ternyata keju mozzarela yang sering kita jumpai jadi topping pizza dan meleleh itu bisa juga dibuat di rumah. Malahan kalau keju produksi sendiri, kita bisa memastikan bahan bakunya lebih banyak susu asli, ketimbang bahan tambahan lainnya. 
Demo Pembuatan Keju Mozzarela
Wisata di Kampung Susu memang menyuguhkan pengetahuan kepada pengunjungnya mulai dari cara beternak hingga cara mengolah hasil ternak, alias susu. Salah satunya dengan belajar membuat keju sendiri. 

One Day Tour

Untuk siapa saja yang ingin berwisata di wilayah Kabupaten Semarang, Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang bisa memfasilitasi One Day Tour dengan biaya 150ribu rupiah per-orang. Paket ini bisa dipesan untuk minimal 15 peserta. 

Dengan biaya tersebut, rombongan mendapatkan fasilitas 1 kali makan, 1 kali snack, dan transportasi AC, dengan area penjemputan dan pengantaran bebas selama berada di wilayah Kabupaten Semarang atau kota Semarang. Jika penjemputan di luar wilayah bisa diatur dengan biaya tambahan. 

Rombongan bisa memilih tiga obyek wisata di wilayah Kabupaten Semarang, dengan syarat salah satunya adalah milik Pemda Kabupaten. Obyek wisata milik Kabupaten Semarang diantaranya adalah Candi Gedongsongo, Bukit Cinta Rawa Pening, Palagan Ambarawa, Pemandian Muncul dan Muncul Waterpark. 

Kalau tertarik mengikuti One Day Tour ini bisa cari-cari info di Instagram @pesona_kabsemarang