Thursday, March 15, 2012

Para Priyayi

Para Priyayi adalah salah satu dari buku yang sering saya baca ulang. Buku ini telah menghuni lemari buku saya lebih dari 15 tahun. Biarlah saya dibilang old school, tetapi saya sungguh terkesan dengan buku ini. Diantara cerita mengenai keluarga dalam novel-novel yang saya baca, tidak ada yang selengkap dan secanggih di sini.

Saya membaca buku ini saat masih SMP. Usia saya sekitar 15 tahun. Dalam kerangka berpikir saya ketika itu, saya menemukan sebuah keasyikan membaca kisah dan gambaran dari secukil sejarah bangsa, yang disampaikan entah berdasarkan fiksi atau kenyataan. Para Priyayi berlatarkan kondisi Indonesia mulai jaman Kolonial hingga Gestapu. Lokasi-lokasi dalam cerita digambarkan secara jelas. Imajinasi akan sebuah desa, rumah joglo dengan pohon nangka, andong, dan aneka jajan pasar, telah memesona saya. Saya tidak pernah bosan membacanya.

Membaca Para Priyayi waktu remaja, membantu saya untuk mengenal konsep keluarga secara utuh. Para Priyayi bercerita dalam tiga generasi, dengan banyak tokoh, dan banyak kedudukan dalam keluarga. Saya hanya mempunyai satu adik kandung. Ayah dan ibu saya berpisah sejak kami kecil. Rumah saya, tidak banyak terisi manusia. Bagi saya, Para Priyayi membangkitkan perasaan saya akan adanya sosok kakek, nenek, ayah, ibu, adik, kakak, yang somehow, mengobati kerinduan dan membangkitkan fantasi saya akan sosok-sosoknya. Saya selalu kangen mereka.

Jika ada satu hal yang sangat berkesan dalam Para Priyayi adalah cerita mengenai bagaimana para tokohnya menjaga kedekatan dan kehadiran untuk satu sama lain. Meskipun ketika telah tinggal berjauhan. Pada suatu masa ketika saya kuliah dan hidup tak lagi serumah dengan ibu dan adik saya, saya sungguh individualis. Saya mengabaikan mereka. Saya jarang pulang. Saya tak sehangat dulu. Saya punya tugas kuliah yang lebih penting daripada datang sekedar untuk merayakan ulang tahun ibu. Saya lupa bahwa keluarga, bagaimanapun menginginkan kita ada. Keberadaan saya penting, sebagaimana keluarga penting bagi saya, meski kadang tidak saya sadari.

Para Priyayi membuka hati saya bahwa konsep keluarga sesungguhnya adalah bahwa saya akan selalu punya orang-orang yang bisa saya andalkan. Orang yang bisa saya sebut sebagai “keluarga” adalah orang-orang yang akan memberikan uluran tangannya lebih dulu. Tak peduli apakah saya sesungguhnya ber-DNA yang sama atau tidak. Ada banyak tempat di dunia ini dimana saya bisa menemukan keluarga.

Dengan membaca Para Priyayi, saya merasakan pengalaman menjadi seorang anak, adik, kakak, istri, suami, ibu, ayah, kakek, nenek. Pengalaman itu membuka hati untuk lebih mau memahami bahwa melihat suatu persoalan tidak dapat dilihat dari satu sisi. Setiap orang memiliki pertimbangan, pandangan masing-masing berdasarkan pengalaman dan kearifan masing-masing. Saya tidak boleh egois, saya harus mau mendengar.

Bagaimana dengan kondisi saat ini, relevankah Para Priyayi dibaca dan diperkenalkan kembali? Saya jelas akan mengatakan sangat relevan! Menurut saya, inilah intisari yang saya dapatkan dari membaca buku ini. Dalam kehidupan, menjadi “priyayi” tidak ada hubungannya dengan keturunan, jabatan, dan uang. Tiga hal yang justru sering menjadi ukuran bagi kedudukan seseorang pada masa sekarang. “Priyayi” yang sesungguhnya adalah orang yang paling sedikit menyusahkan orang lain sekaligus paling bermanfaat bagi orang banyak. “Priyayi” adalah orang yang paling rela berkorban, paling rela membantu, menolong, tanpa kenal lelah dan tidak mengenal kesombongan. Dengan membaca Para Priyayi, saya ingin selalu diingatkan.




Tulisan ini masuk dalam buku #READ2SHARE di www.nulisbuku.com

Thursday, March 1, 2012

Connection

Somehow, you feel connected with someone.

Maybe it’s not love.

You’re just thinking of that person sometimes.

And miss that person, sometimes too.