Monday, December 31, 2018

Ketukan Asa Pengrajin Wayang Kulit Dusun Butuh Sidowarno


Di sudut Pasar Sidowarno, saya mengamati kegiatan jual beli yang mulai lengang, barangkali karena hari menjelang siang. Sebuah papan petunjuk desa peninggalan mahasiswa KKN terpampang di salah satu sisi pertigaan jalan. “Selamat Datang Desa Sidowarno, The Unique Village and The Hidden Potential” begitu tulisan yang terpampang di papan bercat biru tersebut. Saya bermaksud untuk menuju sebuah dusun di wilayah itu, yang baru saja dicanangkan sebagai Kampung Berseri Astra (KBA) karena potensinya sebagai pusat kerajinan wayang kulit. 

Tetenger Desa Sidowarno
Pasar Sidowarno adalah tempat janjian saya untuk bertemu dengan Baron, salah satu pengrajin wayang kulit di Dusun Butuh. Sebelumnya saya menempuh perjalanan hampir satu jam dengan menggunakan mobil dari pusat Kabupaten Klaten. 

“Mohon maaf sebelumnya kalau nanti rumah saya gedeg (rumah dari bambu). Karena tempatnya mblusuk (terpencil) nanti saya jemput di Pasar Sidowarno biar tidak nyasar (tersesat),” ucap Baron di telepon. 

Tak sampai sepuluh menit menunggu, Baron tiba dengan mengendarai sepeda motor. Mobil yang saya tumpangi kemudian menyusuri jalanan desa beraspal selebar empat meter yang lengang mengikuti Baron menuju rumahnya. Rumah dan bangunan lainnya seperti balai desa, dan rumah-rumah penduduk lebih banyak berada di sisi Timur jalan, sementara sisi yang lain ditumbuhi pepohonan. Itu adalah sisi yang berbatasan dengan sungai Bengawan Solo. Saya melewati bangunan sekolah dasar yang sepi karena sedang musim libur sekolah. Setelah lima menit berkendara, tibalah saya di sebuah tanah lapang dengan rumah-rumah yang berjajar di kedua sisinya. 

Papan petunjuk arah dalam dusun.

Pandangan saya langsung tertuju pada dua lembar kulit kerbau yang dijemur di tengah-tengah halaman. Sementara di dekatnya, seorang laki-laki sedang mengerok kulit kerbau yang dibentangkan dalam rangka bambu. 

Kulit kerbau dijemur di tengah-tengah halaman
Saya mengikuti Baron melangkah menuju salah satu rumah yang di terasnya ada sebuah meja dengan aneka peralatan seperti tatah, palu, dan sebuah wayang kulit setengah jadi. Spanduk bertuliskan “Sanggar Aruming Budaya” menyambut di dinding depan rumah. 

Sanggar Aruming Budaya

Sugeng rawuh, nyuwun pangapunten sakwontenipun (Selamat datang, maaf ala kadarnya),” sambut Baron kemudian ketika saya sudah duduk di dalam rumah. Gelas-gelas teh panas terhidang sembari kami berbincang. 

Saya mendapatkan nomor kontak Baron melalui Wahyu dari Astra Solo dan berkenalan dengan Baron lewat WhatsApp, tiga hari sebelumnya. Namun kehangatan dan keterbukaan Baron mengingatkan saya pada keramahan yang menjadi ciri khas masyarakat pedesaan. Percakapan dengan Baron kemudian berlangsung dengan menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Jawa. (Saya menuliskan di sini terjemahannya dalam bahasa Indonesia.) 

Saya menatap ruang tamu yang luas, dengan lantai keramik yang dipenuhi wayang kulit yang sudah jadi, maupun setengah jadi. Rumah Baron, sama sekali bukan rumah gedeg seperti yang dia sebutkan di telepon. 

Berkenalan dengan Pengrajin Wayang Kulit 


Dusun Butuh adalah salah satu desa yang berada di Desa Sidowarno, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Meskipun terletak dalam wilayah Kabupaten Klaten, Dusun Butuh sangat dekat dari kabupaten tetangganya, yaitu hanya berjarak sembilan kilometer dari pusat kabupaten Sukoharjo. Dari pusat Kabupaten Klaten Dusun Butuh berjarak 28 kilometer, sementara dari kota Solo, Dusun Butuh hanya berjarak kurang dari sepuluh kilometer. 

Desa Sidowarno ini adalah salah satu desa dimana banyak penduduknya berprofesi sebagai pengrajin. Seperti papan nama desa yang artinya “Desa yang Unik dan Menyimpan Potensi Tersembunyi”, desa ini menyimpan keahlian masyarakatnya yang sudah puluhan tahun menekuni aneka kerajinan. Selain wayang kulit, di Desa Sidowarno juga tersimpan kerajinan ukir, kerajinan kaligrafi, dan payet. Kerajinan kaligrafi di atas kulit kambing sudah dipasarkan sampai ke mancanegara. Begitupun kerajinan payet di atas baju pengantin, yang sudah dipakai oleh keluarga presiden RI ke-7 Joko Widodo ketika menggelar hajatan pernikahan. 
Sunardi Baron
Untuk kerajinan wayang kulit, Baron yang memiliki nama lengkap Sunardi Baron, menyebutkan setidaknya ada 75 pengrajin wayang kulit di wilayah Sidowarno, khususnya di Dusun Butuh. Baron sendiri bersama kedua saudaranya, Sukari dan Sunarto adalah keluarga pengrajin wayang. Profesi pengrajin wayang kulit memang telah berlangsung secara turun temurun di Dusun Butuh. Namun demikian bukan berarti hanya keturunan pengrajin yang bisa menjadi pembuat wayang kulit. Baron sendiri justru mendapatkan keahliannnya dari orang lain. 

Semua diawali dari tekad Sismiyanto Sutar, ayah Baron untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya. Sismiyanto meminta anaknya untuk tekun belajar membuat wayang. Meski tidak berprofesi sebagai pengrajin wayang, Sismiyanto ingin anak-anaknya memiliki keahlian tersebut. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, sepulang sekolah Baron rutin belajar membuat wayang dari salah satu pengrajin wayang di dusun Butuh. 

“Bapak tidak ingin saya seperti dirinya. Bapak ingin saya lebih maju. Kalau saya malas, Bapak marah," tutur Baron. “Begitu semangatnya Bapak saya, waktu itu uang yang tidak banyak, sebagiannya dibelikan bahan-bahan untuk membuat wayang,” kenang Baron sedikit berkaca-kaca. 

Selepas belajar di Sekolah Menengah Pertama, Baron fokus untuk menekuni pembuatan wayang kulit hingga merantau ke Jawa Timur. Lima tahun merantau belajar membuat wayang, pria berusia 44 tahun ini kembali ke desanya. Meski demikian perjalanannya menjadi pengrajin wayang bukannya tanpa liku-liku. 

Setelah usahanya membuat wayang mulai mendapatkan hasil, Baron tergoda untuk bertani Buah Melon. Usahanya ini kemudian kandas karena hasil panenannya diambil pengepul tanpa dibayar setimpal. Setelah itu Baron kembali mencoba menekuni bidang lain yaitu menjadi peternak ayam. Kembali usaha ini berujung pada kerugian dan membuat Baron bangkrut karena ribuan ayamnya mati terkena penyakit. 

Setelah mengalami aneka kejadian itu, Baron kemudian kembali memantapkan tekadnya untuk menjadi pengrajin. Baron bersyukur bahwa ayahnya sangat disiplin dan keras mendorong Baron untuk belajar membuat wayang kulit. Terbukti kini membuat wayang adalah keterampilan yang bisa menjadi jalan rezeki untuk diri dan keluarganya. 

Mengenal Pembuatan Wayang Kulit 

Pertunjukan Wayang Kulit di Kabupaten Klaten (Sumber gambar: https://klatenkab.go.id/)

Wayang kulit adalah suatu pertunjukan yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa dan telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Oleh karena itu, wayang kulit sudah dianggap sebagai tradisi atau kebudayaan Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wujud pertunjukannya berupa boneka wayang yang dibuat dari bahan kulit (biasanya kulit kerbau) yang diperagakan atau dimainkan oleh seniman wayang yang disebut dalang. Seluruh adegan pertunjukan diiringi oleh musik tradisional Jawa yang disebut gamelan. 

Dalang bertugas memainkan wayang sambil duduk bersila di depan layar yang disebut kelir sebagai latar belakang. Pagelaran wayang dapat juga disaksikan dari belakang layar sekalipun yang terlihat hanyalah bayang-bayang wayang. Layar berwarna putih disinari lampu khusus yang disebut blencong. Latar belakang ini disebut “pakeliran” atau oleh orang asing dinamai “shadow puppet”. Dengan demikian Wayang Kulit merupakan satu kesatuan dengan pertunjukan wayang, di mana wayang yang terbuat dari kulit, dalang, gamelan, merupakan satu kesatuan kesenian yang tidak dapat dipisahkan. 

Pada tahun 2003, pertunjukan wayang kulit telah diakui UNESCO sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). 

Transformasi kulit menjadi wayang Arjuna.

Wayang kulit dibuat dari lembaran kulit yang ditatah, dibentuk, serta digambari dengan aneka macam warna, yang dalam tradisi Jawa disebut “disungging” dan dibentuk sedemikian rupa dengan lambang-lambang yang menyerupai wujud aslinya. Untuk wayang berwujud manusia sebagai tokoh-tokoh dalam cerita wayang dibuat dengan sudut pandang dari samping sehingga terlihat pipih. 


Sismiyanto mengerjakan pengerokan kulit kerbau.

Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk membuat satu buah wayang kulit memang panjang. Dua lembar kulit kerbau yang dijemur di halaman adalah proses awalnya. Setelah melalui proses perendaman dan penjemuran, kulit yang masih ditempeli bulu tadi harus dikerok terlebih dahulu. Untuk itu kulit dibentangkan dengan tali pada kerangka bambu. Setelah kulit bersih dari bulu, kulit direndam lagi di aliran sungai Bengawan Solo yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah Baron. 
Kulit yang sudah dipotong seuai pola, dipentheng pada papan kayu.
Setelahnya kulit dijemur dengan cara dipentheng atau dijemur dengan cara dibentangkan menggunakan paku di atas papan kayu. Biasanya kulit yang dipentheng ini sudah dipotong sesuai model wayang yang akan dibuat. Paku-paku ditatahkan di sekeliling kulit untuk menjaga bentuk kulitnya tetap datar dan tidak bergelung. 
Perangkat menatah wayang
Sunarto menatah wayang
Selanjutnya kulit yang sudah dipotong seukuran wayang itu mulai digambar lebih detail, lalu ditatah sesuai dengan polanya. Bentuk wayang akan mulai tampak setelah proses ini. Proses selanjutnya adalah menyungging atau proses mewarnai. Baron mewarnai wayang kulitnya menggunakan kuas dan cat sablon. Untuk pesanan khusus, wayang kulit juga bisa diwarnai dengan pelapis emas. 

Sukari menyungging wayang dengan prada/ emas.
Bahan pewarna terbuat dari emas
Agar dapat berdiri tegak, kulit yang sudah ditatah dan diwarnai tadi diberi apitan (gapit) dari cempurit yang terbuat dari tanduk. Ujung-ujung tangannya diberi hulu (tuding) terbuat dari tanduk, berguna untuk menggerakkan bagian tangan wayang saat dimainan oleh dalang. Karena bahan baku tanduk yang cukup mahal, mencapai ratusan ribu sebuah, terkadang gapit dibuat dari kayu sejenis rotan. 

Gapit rotan (kiri berwarna coklat muda) dan Gapit dari tanduk (berwarna hitam)

“Membuat wayang tidak mudah, prosesnya panjang, tidak bisa cepat selesai, dan belajarnya juga lama,” ucap Baron. 

Karena itu Baron memahami jika anak-anak muda semakin jarang yang mau berprofesi sebagai pengrajin wayang kulit. Mereka lebih memilih untuk bekerja di tempat-tempat usaha yang banyak berada di sekitar Dusun Butuh. Wilayah Sukoharjo dan Solo Baru yang berbatasan langsung dengan desa memang merupakan pusat industri dan komersial dengan berdirinya pabrik-pabrik dan pusat perbelanjaan. Dekatnya tempat kerja dari rumah, dan kepastian gaji yang didapatkan setiap bulannya, membuat para pemuda lulusan setingkat SMP atau SMA lebih memilih menjadi karyawan. 

Aneka wayang setelah ditatah, sebagian merupakan pesanan dari Jawa Timur.
Menurut Baron, untuk bisa mengetahui dasar-dasar pembuatan wayang, seseorang setidaknya harus belajar setidaknya selama lima bulan secara intensif. 

“Meskipun belajarnya lama, penghasilan yang didapat dari membuat wayang bisa lebih baik dibandingkan gaji di pabrik. Dan buat saya, kebebasan mengatur waktu sendiri adalah salah satu keuntungan yang tidak bisa didapatkan kalau saya kerja di pabrik.” Demikian ungkap Baron. 

Kini melalui sanggar wayang kulit Aruming Budoyo miliknya, selain menerima pembuatan wayang kulit untuk pertunjukan, Baron juga membuat aneka bentuk modifikasi wayang seperti hiasan dinding, kaligrafi dan gantungan kunci untuk suvenir. 

Aneka suvenir gantungan kunci berbentuk wayang
Wayang kulit buatan Baron dijual mulai dari 400 ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Satu buah wayang kulit jug bisa berharga sampai belasan juta rupiah tergantung ukuran dan hiasan akhirnya. Wayang berlapis emas, atau prada tentunya lebih mahal dibandingkan wayang dengan cat biasa. Baron juga pernah membuat wayang berukuran dua meter. Semua dibuatnya sesuai dengan permintaan pelanggan. 

Baron dan cetakan ukuran wayang kulit setinggi dua meter yang pernah dibuatnya.
Wayang kulit bisa dibuat dalam pelbagai ukuran, mulai dari yang disebut Baron sebagai “Caperan” dengan ukuran tinggi sekitar 20 sentimeter, wayang “Kidang Kencanan” yaitu wayang berukuran sedang yang biasa dimainkan oleh dalang anak-anak, dan wayang ukuran biasa. 

Waktu pembuatan wayang kulit bervariasi, tergantung tingkat kesulitannya. Rata-rata satu wayang ukuran biasa bisa diselesaikan dalam waktu dua minggu sampai satu bulan. 

Setelah kurang lebih 30 tahun menekuni usaha pembuatan wayang kulit, konsumen Baron kini tersebar dari Jawa Timur hingga Jakarta. Baron juga rutin mengikuti pameran, salah satunya pameran tahunan Jateng Fair yang diadakan di Semarang. Meskipun sementara ini konsumen langsungnya adalah orang Indonesia, Baron diberi tahu bahwa beberapa wayang hasil karyanya dibawa keluar negeri sebagai hadiah atau suvenir. 

“Saya sendiri tidak tahu wayang saya sudah sampai mana saja. Sementara saya masih di desa sini saja,” gurau Baron. 

Terkadang Baron mendapat pesanan wayang yang cukup banyak dan harus selesai dalam waktu singkat, misalnya untuk memenuhi kebutuhan pentas wayang. Untuk memenuhi pesanan seperti itu, Baron bekerja sama dengan rekan pengrajin wayang kulit lain yang tergabung di dalam KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang diberi nama KUBE Bima. 

Kanan: Anggota KUBE Bima berfoto bersama ASTRA
Kiri:  Andika Jagad Putu, putra sulung Baron sewaktu kecil
Pada tahun 2010 anggota KUBE Bima mencapai puluhan orang. Saat ini anggota KUBE Bima  menyusut hingga belasan orang. Namun Baron tetap optimis bahwa keberadaan KUBE akan mampu mendorong kemajuan pengrajin wayang di desanya. 

“Di KUBE kami bersama-sama bekerja untuk memajukan desa lewat usaha pembuatan wayang kulit. Kuncinya adalah mau bekerjasama.” 

Peran Astra untuk Pengrajin Wayang 


Baron memang tidak sendiri menekuni profesi sebagai pengrajin wayang kulit di Dusun Butuh. Wayang kulit dari Butuh dikenal berkualitas baik sehingga banyak disukai dalang untuk digunakan dalam pentas wayang. 

“Kalau kualitas wayangnya jelek, tidak enak dipakai ndalang. Misalnya buat sabetan, rasanya tidak nyaman dipakai.” 

Dari kiri ke kanan: FX Nanang (ASTRA), Sunardi Baron, Wahyu (ASTRA) ketika Pencanangan Kampung Berseri Astra

Potensi kerajinan wayang yang berkualitas ini disambut baik oleh PT Astra Internasional (ASTRA) dengan mencanangkan Dusun Butuh sebagai Kampung Berseri Astra (KBA) ke 74 se-Indonesia dan yang ke-2 di Jawa Tengah. Disampaikan Baron, keberadaan KUBE menjadi salah satu pertimbangan mengapa ASTRA memilih Dusun Butuh sebagai KBA. 

Pencanangan KBA sendiri merupakan program Corporate Social Responsibility (CSR) ASTRA untuk desa-desa di seluruh Indonesia yang dinilai memiliki potensi tertentu. Potensi-potensi yang ingin dikembangkan ASTRA melalui KBA beragam, yaitu: 

1. Kampung Wisata, yaitu kampung yang menunjukkan suasana asli perkampungan dari aspek sosial ekonomi, budaya, adat istiadat dan keseharian. 
2. Kampung Hijau, yaitu perkampungan dengan lingkungan hijau yang asri dan sehat, dengan penerapan program pelestarian lingkungan dalam segala komponen baik sosial ekonomi, pendidikan, budaya, dan kesehatan masyarakat. 
3. Kampung Produktif, yaitu konsep kampung mandiri yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri melalui kegiatan produktif dan menjadi pusat pembelajaran 
4. Kampung Cyber, yaitu kampung modern dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam setiap komponen kehidupan kampung terkait administrasi, interaksi sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya. 
5. Kampung Budaya, yaitu kampung yang melestarikan dan mengembangkan potensi adat, tradisi, kesenian, kerajinan, arsitektur, dan tata ruang yang nyata dalam kehidupan sehari-harinya. 

Melalui Program KBA, Astra memberikan kontribusi sosial berkelanjutan kepada masyarakat dengan konsep pengembangan empat pilar program yaitu kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kewirausahaan.

Baron bercerita bahwa, Koordinator Wilayah Grup Astra Solo, FX Nanang pernah menyampaikan dalam acara Pencanangan KBA pada bulan Agustus 2018 lalu, bahwa Astra ingin mengangkat sisi budaya di Dusun Butuh, sehingga harapannya Dusun Butuh bisa menjadi destinasi wisata untuk para turis. 

Kedekatan Dukuh Butuh dengan kota Solo merupakan keistimewaan tersendiri karena Solo dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa, yang memiliki dua keraton yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Selain itu kabupaten Klaten juga merupakan daerah perlintasan untuk menuju Yogyakarta, yang dikenal juga sebagai pusat kebudayaa dan sebagai tujuan wisata populer di Indonesia. 

Dengan pencanangan Dusun Butuh sebagai KBA, Astra akan memberikan dukungan berupa program-program yang disesuaikan dengan kebutuhan warga setempat. FX Nanang menyampaikan bahwa bantuan bisa berupa sarana, pelatihan, alat-alat yang dibutuhkan untuk membuat atau mempromosikan produk-produk pengrajin. 

Diharapkan di kemudian hari usaha masyarakat khususnya kerajinan wayang kulit semakin maju. Untuk itu ditargetkan dalam dua atau tiga tahun ke depan potensi yang ada khususnya kerajinan wayang kulit di Dusun Butuh bisa menjadi percontohan dan kebanggan masyarakat. 

Harapan dan upaya Astra itu seiring dengan asa Baron, dan juga pengrajin wayang kulit di Dusun Butuh yang ingin desanya semakin maju. 

“Kalau desanya makin maju, anak-anak muda juga akan makin bangga kerja jadi pengrajin di desa. Anak-anak muda sekarang sukanya kerja di pabrik.” 

Keprihatinan Baron bisa dikatakan mewakili kegelisahan para pengrajin wayang akan penerus keterampilan mereka. Hal ini juga menjadi salah satu yang menjadi perhatian ASTRA yaitu kurangnya regenerasi pengrajin wayang kulit di dusun Butuh. 

Setelah desanya dicanangkan sebagai KBA, Baron berharap ASTRA bisa menjadi kepanjangan tangan para pengrajin untuk semakin mengenalkan Dusun Butuh dan potensinya. 

Mewariskan Ilmu 


Demi keberlanjutan kerajinan wayang kulit di desanya, Baron bertekad untuk mengajarkan keterampilannya ke sebanyak mungkin orang, diawali dari keluarganya sendiri. Untuk mewariskan ilmu pembuatan wayang kulit, Baron sudah mulai melatih anak sulungnya, Andika Jagad Putu yang kini duduk di kelas sembilan. Anak perempuannya, Kanaya, yang masih balita nantinya juga akan diajari membuat wayang kulit. Menurutnya siapapun bisa belajar membuat wayang. Tak terbatas usia dan jenis kelamin. 

Perempuan juga bisa belajar membuat wayang kulit
“Anak-anak SD kelas tiga atau empat sudah bisa mulai dilatih membuat wayang kulit,” tutur Baron. “Saya menerapkan disiplin seperti Bapak dulu untuk anak saya. Meski anak-anak sekarang penanganannya beda dengan zaman dulu.” 

Menurut Baron, anak muda sekarang tidak bisa dipaksa. Agar mau belajar membuat wayang kulit, kuncinya adalah menanamkan kecintaan mereka terlebih dahulu terhadap wayang. Dan salah satu kunci untuk bisa membuat anak muda mencintai wayang adalah mengemas cerita-cerita wayang kulit sedemikian rupa agar menarik generasi muda. 

“Waktu ada film Mahabarata di televisi, pesanan wayang Pandawa, khususnya Arjuna meningkat.” Menurut Baron ini adalah salah satu bukti berhasilnya tayangan tersebut untuk menarik minat masyarakat luas terhadap tokoh-tokoh wayang. Dengan tampilan kemasan pertunjukan yang bagus, dengan memanfaatkan teknologi masa kini, anak-anak bisa diarahkan untuk menjadi semakin mengerti jalan cerita wayang. 

Anak-anak bisa mendapatkan manfaat dari belajar membuat wayang kulit
Belajar membuat wayang kulit juga memiliki sejumlah manfaat. Anak-anak yang belajar membuat wayang kulit, menurut Baron akan mampu memperluas wawasan dan menambah pelajaran budi pekerti, karena tokoh-tokoh dalam wayang kulit mencerminkan jalan cerita kehidupan manusia yang mengandung nilai-nilai luhur. Tokoh-tokoh dalam wayang adalah perlambang nasib baik dan buruk, sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya di dunia. 

Selain itu anak-anak dilatih untuk tekun dan sabar. Membuat gambar wayang, memotong, dan mewarnai dengan motif dan desain yang rumit diperlukan sifat telaten. Kegiatan menatah wayang juga membuat anak-anak berlatih untuk fokus, karena pola-pola wayang yang kecil harus dikerjakan dengan teliti. Mata juga terlatih menjadi tajam dan awas. 

Rumitnya detail tatahan wayang kulit
Terkait dengan dicanangkannya Dusun Butuh sebagai KBA, Baron berharap ASTRA bisa menjadi kepanjangan tangan pengrajin untuk lebih mendorong potensi wayang kulit. Idealnya menurut Baron di desa ada satu tempat khusus yang bisa dipakai untuk menggelar pertunjukan wayang secara rutin. Di tempat itu juga bisa digelar pelatihan atau lokakarya bagi siapapun yang berminat belajar membuat wayang. 

“Saya juga berharap keterampilan membuat wayang ini bisa masuk ke sekolah-sekolah sebagai salah satu pelajaran,” tutur Baron. “Saya siap menerima anak-anak sekolah untuk belajar di rumah ini. Ya seadanya, saya akan menyediakan waktu, asal wayang kulit tidak punah.” 

Baron memang menepati kata-katanya. Di rumahnya, Baron pernah menerima mahasiswa dari Institut Seni Indonesia (ISI) Solo jurusan seni Kriya untuk belajar membuat wayang selama empat bulan, tanpa pungutan biaya. Baron dan keluarganya juga tengah mengajarkan seni membuat wayang kulit pada delapan siswa kelas dua belas dari SMA Negeri 1 Polokarto Sukoharjo. Mereka belajar membuat wayang kulit untuk mata ajaran Ujian Praktek Sekolah. 

Siswa SMA belajar menyungging wayang
Anak-anak remaja ini dengan modal bahan-bahan untuk membuat wayang seperti kulit dan cat, diajari oleh Baron dan keluarganya proses membuat wayang kulit dari awal hingga akhir. Dalam sepekan, kelompok siswa ini datang sebanyak satu atau dua kali. Pembagian tugas mereka lakukan, mulai menatah hingga menyungging. Wayang yang sedang mereka kerjakan adalah wayang Punakawan, yaitu Semar. 

Baron menjelaskan wayang Semar lebih mudah dibuat, karena bentuknya lebih besar dengan detail tatahan dan warna yang tidak serumit wayang lainnya.

Indra Permadi, ketua kelompok dari siswa SMAN 1 Polokarto mengatakan bahwa mereka memilih praktek membuat wayang kulit karena ingin beda dari teman-teman lainnya. 

“Wayang itu unik, tidak ada kelompok lain yang membuat wayang selain kami,” ungkap Indra. “Membuat wayang kulit juga sekaligus untuk melestarikan budaya Jawa.” 

Baron bersama siswa-siswa SMAN 1 Polokerto yang belajar membuat wayang kulit
Nantinya wayang yang mereka hasilkan ini akan dilelang di acara sekolah. Para siswa ini menyadari bahwa keterampilan membuat wayang kulit juga bisa menjadi sesuatu yang menghasilkan. Karena itu meskipun sejak bulan September harus menyisihkan waktu dan jarak ekstra menuju rumah Baron, mereka tetap bersemangat. 

Pada semangat belajar anak-anak seperti Indra dan kawan-kawannya inilah harapan Baron bertumpu. Baron berharap semangat anak-anak muda akan mampu menumbuhkan perasaan cinta terhadap wayang, jadi semakin banyak lagi yang mau belajar membuat wayang. 

“Kulo niku mboten ngertos, seneng banget kalih wayang. Dados pripun nggih, mboten neko-neko pengen wayang saged maju lan mboten punah.” 

(Saya itu tidak tahu kenapa, suka sekali dengan wayang. Jadi bagaimana ya, keinginan saya tidak macam-macam, hanya ingin wayang (kulit) ini dapat maju dan tidak punah.) Demikian jawab Baron ketika ditanya apa alasannya begitu bersemangat mengajari anak-anak muda. 

Karena itu Baron merasa bangga dan bersyukur dengan perhatian ASTRA yang peduli pada kemajuan kampung pengrajin wayang kulit seperti di Dusun Butuh. Membuat wayang bagi Baron dan para pengrajin lainnya bukan sekedar upaya mencari nafkah tapi merupakan semangat untuk meneruskan warisan budaya luhur yang turun temurun. 


Asa pada setiap ketukan tatahan wayang kulit.
Sebelum menutup pertemuan dengan saya hari itu, Baron menunjukkan bagaimana caranya menatah wayang. Sembari duduk di meja kerja di teras rumahnya, Baron dengan telaten menggunakan tatah beraneka bentuk untuk memberi pola pada kulit. 

Ketukan tatah yang beradu dengan kulit dan kayu adalah irama kehidupan pengrajin wayang kulit di Dusun Butuh. Ketukan halus, namun harus teguh dan teratur menunjukkan ketekunan dan fokus dalam menjalani profesi yang mereka pilih atas dasar cinta. 

Ketukan yang mengantarkan asa para pengrajin wayang kulit untuk kehidupan desanya yang lebih maju di masa depan. 


Foto: dokumen pribadi dan dokumen Suwardi Baron 
Daftar Pustaka: Wirastodipuro, KRMH. 2006. Ringgit Wacucal. Solo: ISI Press

22 comments:

  1. seru banget ya bisa lihat langsung proses pembuatan wayagnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, :) rasanya jadi kepingin belajar membuat wayang juga. Terima kasih sudah menengok rumah saya, Pak Deddy. :)

      Delete
  2. Setuju jika ketrampilan membuat wayang bisa diajarkan di sekolah. Mungkin bisa melalui media kertas pada awalnya. Semangat!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huum, Mbakyu. Bisa pakai kertas sejenis karton yang agak tebal. Semangat jugaaa!

      Delete
  3. Makwin...tulisan epic dan apik...seru petualangan bersama mas Baron, kreatif, ulet dan trampil.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Harus semangat seperti Pak Baron! Matur nuwun, Bundir.. :)

      Delete
  4. Entah knp justru teringat dgn proses pembuatan batik. Sama2 menjaga warisan budaya. Dan harus mau sabar dalam prosesnya. Saluut!

    ReplyDelete
  5. Teringat zaman SMP pernah mempresentasikan subtansi dari tiap-tiap unsur dalam gunungan (termasuk dalam komponen wayang kan hehe). Saya menjadi kagum sekali dengan nenek moyang kita, yang memvisualkan nilai-nilai moral kemasyarakatan pada gunungan.

    Baiknya yang seperti ini dikenalkan kepada generasi muda, supaya bijak kedepannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, menarik sekali tugas sekolahnya :) Semoga makin banyak anak-anak muda yang mau memahami budaya seperti wayang kulit ini.

      Delete
  6. Senang banget ada desa yang warganya kreatif dan semangat untuk melanjutkan tradisi turun-temurun ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mak, kalau terjaga kita juga yang menikmati hasilnya. Jangan sampai hilang!

      Delete
  7. Semangat terus untuk Pak Baron.
    Telaten banget ya bikin wayang satu-satu dari cuma kulit sampe udah jadi. Keren

    ReplyDelete
  8. jadi inget jaman awal kuliah dulu pernah ikut rombongan wayang kulit tampil dan merasakan keriwehannya dari persiapan sampe pasca tampil.

    wayang kulit yang asli ternyata berat juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah seru pasti ceritanya! Iya berat. Nggak kebayang ya dalang angkat-angkat wayang itu semalam suntuk :)

      Delete
  9. Jadi ingat waktu Milzam masih SD, udah koleksi wayang kulit. Sayangnya waktu pindah rumah, lupa ditaruh mana. Proses pembuatan yang lama yang bikin harganya mahal. Tapi kalo untuk koleksi jatuhnya ya murah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh semoga koleksinya mas Milzam ketemu lagi, Mbak :)

      Delete
  10. Saya selalu kagum pada mereka yang setia nguri-uri kebudayaan. Semoga diberi kemudahan dan kelancaran dalam menjaga dan melestarikan kekayaan budaya negeri ini.

    ReplyDelete
  11. Keren ya hasilnya, ternyata prosesnya juga susah ya hehehe, serunya mak bisa ketemu pengrajin kece

    ReplyDelete
    Replies
    1. Prosesnya panjaaaang... Betul, selalu seru dengar cerita-ceritanya

      Delete