Kita berjalan di antara gedung dan pertokoan, melintasi
taman-taman kota, dan segala fasilitas publik seperti terminal dan stasiun
kereta, terasa begitu biasa. Langkah kaki kita terayun dengan mantap, tahu
kemana arah berpijak. Mata kita menangkap semua tanda tanpa perlu
bertanya-tanya.
Pernahkah kita berpikir, bagaimana dengan kelompok masyarakat
lain -mereka yang melihat dunia dengan cara berbeda- beradaptasi dengan desain
kota yang terasa wajar?
Masyarakat tunanetra, yang terhubung dengan dunia lewat
suara, sentuhan dan bunyi.
Kita yang bisa melihat seringkali lupa, bahwa bagi mereka,
informasi visual yang bertebaran di ruang publik -dari rambu di jalan hingga
peta petunjuk- bagaikan sebuah jurang yang memisahkan mereka dari kemandirian.
Desain untuk orientasi dan mobilitas yang mengandalkan mata tak pernah adil
bagi tunanetra.
Salah satu dosen saya pernah berkata, seorang arsitek harus bisa menciptakan desain yang humanis, desain yang berpusat pada manusia sebagai pengguna. Artinya sebagai desainer kita harus memahami manusia, menekankan empati, termasuk mengerti apa yang diperlukan berbagai pihak termasuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, sehingga menciptakan desain yang mudah diakses bagi banyak orang.
Realitanya dalam pekerjaan saya sehari-hari, desain arsitektur
untuk penyandang disabilitas sering dikesampingkan atau hanya menjadi tempelan karena
berbagai alasan. Adalah fakta, di banyak sudut kota, ketidakadilan untuk
penyandang disabilitas dalam hal ini tunanetra masih menjadi masalah yang
nyata.
JARAK YANG TERBENTANG
World Health Organization memperkirakan bahwa ada lebih dari
tujuh juta orang menjadi buta setiap tahunnya. Di Indonesia, angka tunanetra prevalensinya
mencapai 1,5% dari populasi, yang berarti jumlahnya lebih dari empat juta orang.
Jumlah ini akan terus bertambah.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa di sekitar kita ada jutaan
manusia dengan keterbatasan, yang memiliki hak yang sama untuk bisa bergerak
secara mandiri.
Menciptakan desain ruang publik yang ramah bagi tunanetra bukan
lagi pilihan, melainkan kewajiban.
Pemerintah sesungguhnya telah
mengeluarkan peraturan-peraturan tentang penyandang disabilitas, yang secara
tegas mewajibkan negara dan penyelenggara layanan publik menyediakan
aksesibilitas yang adil. Meski dalam praktiknya, pada bangunan-bangunan publik,
di jalanan, di berbagai fasilitas layanan transportasi, belum tersedia akses
yang memadai. Jangankan tanda-tanda arah, jalur bagi tunanetra yang terpasang
di jalanan saja seringkali tidak jelas, dan dipasang asal-asalan.
Kegagalan dalam menciptakan fasilitas yang inklusif adalah
kegagalan kolektif dalam berempati. Kita terlalu nyaman dengan kemampuan mata kita
melihat dunia sehari-hari, sampai lupa bahwa dunia yang sama, terasa berbeda
bagi tunanetra.
Hukum yang sudah mengatur, bagaikan janji
yang terpisah jarak dari kenyataan. Jarak yang berupaya untuk dijembatani oleh seorang
pemuda dari Jawa Barat, Fariz Fadhlillah.
DARI EMPATI JADI SOLUSI
Teramat mungkin dalam keseharian, Fariz
telah menghabiskan berjam-jam waktunya untuk mengamati desain taktil yang
terpasang di berbagai tempat. Desain taktil ini
merujuk pada benda-benda yang didesain dengan permukaan bertekstur yang biasa
dipasang untuk membantu para tunanetra melakukan mobilitas secara mandiri.
Bagi seseorang yang belajar teknologi desain, Fariz menyadari
bahwa kunci desain yang baik adalah desain yang dapat dipahami dan memberikan
pengalaman yang baik bagi penggunanya.
Fariz kemudian melakukan pengamatan pada
desain taktil yang ada di Stasiun Kereta Api Bandung. Untuk menggali fakta
lebih dalam lagi, Fariz juga mewawancarai puluhan penyandang tunanetra. Hasilnya, sebuah keluhan yang seragam: ketidakkonsistenan
desain taktil yang sudah ada. Para penyandang tunanetra yang diwawancarai Fariz
merasa sulit membedakan simbol satu dengan yang lain karena teksturnya terlalu
mirip atau terlalu rumit.
Kesimpulannya, desain yang sudah ada masih kurang memadai untuk memenuhi
kebutuhan para tunanetra. Dari sini Fariz bertekad untuk menciptakan sesuatu
yang dapat membantu mereka untuk bisa bergerak dengan lebih percaya diri.
Dengan menggabungkan pengetahuannya
tentang desain dan bahasa universal sentuhan, setelah tekun meneliti dan
melakukan berbagai percobaan, Fariz menghadirkan ubin Tactogtam, sebuah ubin
taktil, yang bisa menjadi penuntun tunanetra dengan bahasa yang lebih cerdas
dan inklusif. Sebuah jembatan yang nyata.
Jembatan Nyata: Ubin Tactogram
Sumber: @tactogram. (n.d.). Instagram.
Diakses dari https://www.instagram.com/tactogram
TEKNOLOGI TACTOGRAM
Tactogram adalah sistem panduan sentuhan yang menggunakan
bentuk geometris sederhana untuk menyampaikan informasi publik yang penting,
sehingga tunanetra dapat dengan cepat membedakan dan memahami maknanya saat
mereka merabanya di ruang publik.
Tactogram sebagai sistem simbol, adalah “rambu-rambu” khusus
yang dirancang untuk dibaca melalui sentuhan.
Simbol-simbol ini berupa bentuk-bentuk geometris sederhana
seperti kotak atau lingkaran, dan dibuat timbul agar dapat diraba. Melalui
bentuk-bentuk ini, tunanetra dapat membaca secara sistematis dengan meraba
bentuknya sehingga proses mengenali simbol lebih cepat dan efisien. Misalnya
simbol sebagai penunjuk arah ke toilet, ke pintu keluar, atau tangga. Dengan
demikian informasi-informasi kritis ini mudah dipahami oleh tunanetra terutama
pada saat mereka berada di ruang publik seperti stasiun, bandara, atau rumah
sakit.
Prinsip kesederhanaan ini diterapkan
Fariz dalam mengembangkan ubin Tactogram. Simbol-simbol pada ubin Tactogram
dipilih bukan tanpa alasan. Keempatnya memiliki bentuk yang mudah dibedakan,
dengan presisi yang tinggi untuk diidentifikasi lewat sentuhan. Jari atau
tongkat tunanetra dapat dengan cepat dan pasti membedakan jumlah sudut dan
lengkungan. Hal ini penting untuk mencegah kebingungan.
Fariz juga hanya memakai empat bentuk
simbol untuk mengoptimalkan kinerja System Working Memory. Jika terlalu
banyak memakai simbol berbeda, otak harus berusaha lebih keras untuk mengingat
dan membandingkan semuanya secara berurutan, sehingga proses navigasi menjadi
lambat dan tidak efisien.
Setiap simbol pada ubin Tactogram dibuat
dengan jarak dan kedalaman tekstur yang tepat agar bisa dikenali dengan mudah
oleh ujung tongkat yang biasa dipakai tunanetra. Cekungan di tengah-tengah ubin
disesuaikan dengan ukuran ujung tongkat tunanetra, agar mereka lebih mantap
berjalan sesuai jalur.
Pemilihan warna ubin Tactogram juga dirancang agar inklusif bagi semua jenis gangguan penglihatan, bukan hanya bagi yang mengalami kebutaan total. Berdasarkan teori ada tiga warna yang digunakan Fariz pada ubin Tactogram yaitu grayscale (hitam putih), kuning, dan biru.
KOLABORASI GLOBAL UNTUK PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
Sebuah konsep yang hadir dari empati
telah terwujud menjadi sebuah teknologi baru. Tactogram hadir sebagai sistem
navigasi bagi tunanetra untuk menentukan arah dengan lebih presisi dan cepat.
Namun inovasi bukan hanya tentang
menciptakan, melainkan terus menyempurnakan. Fariz terus berkomitmen untuk
mengembangkan ubin Tactogram tidak hanya inklusif dan peduli pada isu sosial, namun
juga menjadi karya yang peduli lingkungan.
Sebagai peneliti dan penemu Tactogram,
Fariz berkolaborasi dengan Chloe, seorang material engineer dari Inggris.
Keduanya bersama Conture Concrete Lab, sebuah micro-factory dengan spesialisasi
pada material beton yang berkelanjutan, berpartisipasi dalam sebuah program global
bernama Design Matters Lab. Mereka berupaya mengubah limbah menjadi bahan baku untuk
membuat ubin pemandu.
Inovasi menjadikan ubin taktil
menjadi karya peduli lingkungan.
Sumber: @tactogram. (n.d.). Instagram.
Diakses dari https://www.instagram.com/tactogram
Kain bekas, pecahan beton, pecahan kaca,
hingga puntung rokok dicoba untuk diolah menjadi bahan baku yang berguna. Dari hasil
percobaan itu, ditemukan bahwa pecahan beton menjadi bahan baku yang memberikan
kekuatan terbaik. Hasil ini menambah optimisme Fariz bahwa kualitas produk ubin
Tactogram lebih baik dibandingkan ubin taktil yang banyak dipakai di jalan.
MENGHADAPI TANTANGAN
Meskipun ubin Tactogram terus
dikembangkan, sistem ini menghadapi kendala fungsional yang mendasar. Agar
desain Tactogram
dapat bekerja secara optimal dan akurat, diperlukan
kesesuaian antara ubin taktil di permukaan lantai dengan alat bantu utama
pengguna: tongkat tunanetra.
Sayangnya hingga saat ini belum ada standar resmi di
Indonesia yang mengatur spesifikasi ukuran dan bentuk ujung tongkat tunanetra. Di
lapangan hal ini akan mempengaruhi akurasi panduan yang diberikan oleh ubin Tactogram.
Tantangan dari desain infrastruktur juga
perlu dihadapi dengan banyaknya trotoar yang dibangun tanpa standar, sehingga
ubin taktil terpaksa terputus atau terpasang dengan kemiringan yang berbahaya.
Keterangan Foto: Di Lapangan, ubin
taktil sering terabaikan, terhalang oleh aktivitas masyarakat.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Kurangnya empati sosial juga membuat keberadaan
ubin taktil seringkali terabaikan, sehingga tertutup oleh pedagang kaki lima,
bahkan parkir ilegal. Tantangan ke depan keberadaan ubin taktil juga menghadapi
kendala dalam pemeliharaan, yang bisa menyebabkan ubin berlumut, retak bahkan
pecah, mengubahnya dari sarana bantuan menjadi jebakan.
Keterangan Foto: Kehadiran ubin taktil
di jalan, perlu didukung dengan pemeliharaan yang baik agar terus memberikan
manfaat.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Karena itu Fariz terus berkomitmen untuk menyempurnakan
desainnya dengan membuat ubin Tactogram menjadi anti licin
dengan kekuatan yang terus ditingkatkan sehingga aman dan nyaman digunakan oleh
tunanetra. Sebuah
upaya inovasi teknologi tiada henti untuk menghasilkan produk terbaik yang berkelanjutan.
Sebagai bukti keseriusan dan komitmennya, desain inovatif
Fariz telah diakui secara resmi oleh negara. Pada tahun 2024, ia berhasil
mendapatkan hak paten dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk
karyanya: “Tactile Pictogram System”.
Hak Paten dari Kementerian Hukum dan HAM
RI
Sumber: @tactogram. (n.d.). Instagram.
Diakses dari https://www.instagram.com/tactogram
Di masa depan, dengan mengusung prinsip
desain yang universal, Fariz berupaya agar Tactogram bisa diaplikasikan di
banyak tempat tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Sebuah
sistem yang bisa mengubah permukaan benda-benda pembentuk
ruang di sekitar kita seperti dinding dan lantai menjadi bidang yang bisa
dibaca dengan sentuhan. Dengan sistem ini, tunanetra dan orang dengan keterbatasan
penglihatan bisa bernavigasi di ruang publik dengan kemandirian yang lebih
besar.
DUKUNGAN ASTRA UNTUK PEMUDA DAN TEKNOLOGI
Teknologi tidak terbatas pada penemuan
mesin-mesin canggih atau software mutakhir, melainkan juga inovasi karya
yang mengedepankan desain yang humanis. Satu langkah yang ditempuh Fariz dalam berkarya
untuk menjembatani kesenjangan yang dilihatnya sehari-hari, di masa depan menjelma
jadi jalan yang pembuka peluang-peluang baru.
Dengan Semangat Astra Terpadu untuk
(SATU) Indonesia Awards, Astra melihat potensi dari Tactogram yang
dikembangkan Fariz dan memberi ia penghargaan sebagai Penerima Apresiasi
Tingkat Provinsi: Satu Indonesia Award tahun 2024 di bidang Teknologi, sebagai Perintis Desain Tactile untuk Aksesibilitas Tuna Netra, dari
Provinsi Jawa Barat.
Tactogram sebagai karya yang lahir dari
empati, mengirimkan pesan bahwa puncak dari pengembangan teknologi bukan
terletak pada produk yang canggih dan mahal, melainkan pada kemampuannya untuk
bermanfaat pada manusia.
Apresiasi SATU Indonesia Awards
yang diberikan kepada Fariz dalam bidang teknologi merupakan wujud konsistensi
Astra dalam memberikan apresiasi kepada kaum muda visioner yang mampu
menerjemahakan ide menjadi inovasi teknologi yang nyata di lapangan.
Penghargaan SATU Indonesia Awards bukanlah penutup
dari kisah Fariz, melainkan sebuah dorongan dan dukungan dari Astra bagi kaum
muda untuk terus berani mengambil langkah untuk berkarya.
Bertahun lalu, langkah Fariz bersama Tactogram
dimulai dari visi sederhana, bahwa setiap orang seharusnya bisa bebas bergerak
di dunia yang luas ini tanpa kendala.
Fariz mengajak kita turut mewujudkan kehadiran
sebuah sistem universal yang tidak hanya menjadi tempelan, tetapi menjadi
bagian mendasar dari desain ruang-ruang publik, menjadikannya lebih dekat,
hadir bagaikan uluran tangan senyap yang memandu jutaan langkah manusia.
#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia
Daftar Referensi:
Karya Ilmiah dan Publikasi Jurnal:
Fadhlillah, F. (2018). Building General Perception for Blind People as Orientation System in The Bandung City Train Station through The Pictogram Design. Dalam 1st International Conference on Art for Technology, Science, and Humanities (ARTESH). ITB, Bandung.
Fadhlillah, F. (2020). Seminal Breakthrough In Tactile Pictogram Design For Visually Impaired In Train Station. Jurnal Desain Komunikasi Visual & Multimedia FSD - Universitas Multimedia Nusantara, 13(2), 1-15.
Fadhlillah, F. (2021). Optimizing Visually Impaired Ability to Read Tactile Pictogram through Texture Design. Visualita Jurnal Online Desain Komunikasi Visual, 10(1), 14. https://doi.org/10.34010/visualita.v10i1.5091
Sumber Berita Daring:
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro. (2024, 22 Februari). Penyakit Mata Penyebab Utama Kebutaan di Indonesia. RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro. https://rsupsoeradji.id/penyakit-mata-penyebab-utama-kebutaan-di-indonesia/
Liputan6.com. (2025, 28 Februari). Keren, Fariz dan Chloe Sulap Limbah Puntung Rokok Jadi Guiding Block alias Ubin Pemandu untuk Berjalan. Liputan6.com. https://www.liputan6.com/disabilitas/read/5938270/keren-fariz-dan-chloe-sulap-limbah-puntung-rokok-jadi-guiding-block-alias-ubin-pemandu-untuk-berjalan?page=4
Good News From Indonesia. (2025, 13 Oktober). Fariz
Fadhlillah, Membangun Jalan yang Bisa 'Bicara' lewat Tactogram untuk Teman
Tunanetra. Good News From Indonesia. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/10/13/fariz-fadhlillah-membangun-jalan-yang-bisa-bicara-lewat-tactogram-untuk-teman-tunanetra
Situs Web dan Media Sosial:
Tactilepictogram.com. (n.d.). Tactile Pictogram. Diakses dari https://tactilepictogram.com/
@tactogram. (n.d.). Instagram. Diakses dari https://www.instagram.com/tactogram
Tactologue. (2025). Tactogram Catalogue. [Katalog].
Panduan Pelayanan Kepada Penyandang Disabilitas (Ombudsman Republik Indonesia)
Diakses dari https://jdih.ombudsman.go.id/monografi/jdih-35/panduan-pelayanan-kepada-penyandang-disabilitas