Showing posts with label buku. Show all posts
Showing posts with label buku. Show all posts

Wednesday, March 25, 2015

Giveaway Untuk Sahabat Perempuan



Sahabat sejati perempuan bukan perhiasan berlian seperti yang sering muncul di iklan-iklan. Sahabat sejati perempuan adalah perempuan lain yang selalu ada di saat duka dan suka.
Jangan anggap pernyataan itu klise sebelum mengalami sendiri. 

Bayangkan diri kita sedang dikepung masalah tanpa punya sahabat yang mengulurkan tangan. Bayangkan tersesat dalam perjalanan hidup karena tak ada lentera-lentera yang setia menunjukkan jalan. Atau berjalan di tengah riuhnya hidup, tapi sesungguhnya merasa sepi. Setiap perempuan butuh sahabat yang bisa ‘ditemui’ tanpa dibatasi jam berkunjung. Seseorang yang tidak berubah jadi hakim sekalipun kita baru saja berbuat dosa.

Karena itu, saya iri pada Miyu, Ajeng, dan Aliyah. Simply karena mereka memiliki satu sama lain. 

Dua Cinta Negeri Sakura (2CNS) terbitan Gramedia adalah novel kedua Irene Dyah. Rupanya novel ini juga dimaksudkan sebagai seri lanjutan dari novel pertamanya yaitu Tiga Cara Mencinta.
Meski belum membaca novel pertama, tidak sulit untuk mengikuti jalan cerita 2CNS. Di awal pembaca akan diajak berkenalan dengan tiga sosok perempuan tokoh utama novel ini. Miyu, seorang perempuan Jepang yang ahli menari Jawa. Ajeng, lajang kosmopolitan yang sedang menempuh karir internasional di Thailand. Aliyah, perempuan satu-satunya yang berjilbab, yang baru saja melewati fase terberat dalam pernikahannya dengan seorang mualaf, yang juga miliuner berkebangsaan Jepang. 

Sebagai buku yang ceritanya bersambung, dalam 2CNS ini rupanya giliran Miyu yang sedang menghadapi konflik. Cintanya tumbuh rumit untuk Scott, seorang photographer tampan, simpatik, dan terobsesi pada Miyu, yang sayangnya sudah beristri. Pertemuan Miyu dengan Scott di Solo, ternyata sangat mengesankan bagi mereka berdua. 

Di luar konflik cinta yang lazim dialami oleh banyak perempuan di dunia, terselip nilai-nilai Islami, yang disajikan tanpa menggurui, khususnya bagi para perempuan.

Yang paling menarik adalah suguhan kisah-kisah seputar kehidupan para perempuan di Jepang. Nilai-nilai yang mendasari kehidupan mereka dapat menjadi inspirasi bagi siapapun yang membaca. Setting di Jepang khususnya Tokyo dituliskan secara menawan. Tidak melulu berupa obyek wisata yang terkenal di dunia, melainkan tempat-tempat sehari-hari macam gang-gang di antara rumah, bagaimana rumah masyarakat kebanyakan, atau commuter line, yang tergambar begitu nyata. 

Tentu saja semua penggambaran tadi dapat dipertanggung-jawabkan lahir batin karena penulis pernah tinggal di Jepang selama beberapa tahun sebagai pelajar, lajang, dan juga ketika telah menikah dan punya anak. Tak perlu ragu karena semua referensinya itu dialaminya langsung. Bahkan detail tentang profesi Miyu sebagai penari, dan juga pemilihan Bangkok sebagai tempat tinggal Ajeng, tak lepas dari aktivitas yang pernah dilakukan penulis. 

Terlepas dari cerita cinta yang berbelit, nilai apik yang saya tangkap dari membaca novel ini adalah persahabatan. Bagaimana Aliyah, Miyu, dan Ajeng bisa demikian setia satu sama lain di tengah semua perbedaan mereka.   

Lewat Aliyah, Miyu, dan Ajeng, kita tahu, perempuan bisa menjadi sahabat terbaik bagi satu sama lain.




Wednesday, February 25, 2015

Gelombang - The Plot is Thicken

Review-nya 

Saya ingat tempat pertemuan pertama saya dengan Supernova. Di sebuah toko buku dalam mal, dia lagi ‘nongkrong’ di atas tumpukan ‘Buku Baru’.

Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (2001) bikin saya langsung mumet over dosis. Saya yang waktu itu masih anak kuliahan, merasa keren bisa membaca buku yang sophisticated. Sejak itu saya kecanduan. Saya berubah jadi anak kecil yang duduk di meja makan, menungggu masakan ibunya matang.

Akar (2002), tidak langsung membuat saya doyan. Rasanya agak aneh dan asing. Tapi rupanya seperti akar, diam-diam dia tumbuh dan membuat saya tak bosan melahapnya lagi, dan lagi. Sebaliknya Petir (2004), seperti makanan favorit saya. Tentu saja saya makan dengan nikmat dan selalu nambah.

Setelah itu ternyata saya harus kelaparan selama delapan tahun. ‘Penyiksaan’ itu membiarkan saya menyelesaikan kuliah, ketemu jodoh, menikah, hingga punya anak. Perubahan yang nggak cuma terjadi pada saya -penunggu setia yang kelaparan-, tapi juga pada Sang juru masak. 

Untunglah, Partikel (2012) akhirnya selesai juga. Delapan tahun ‘puasa’ bikin saya (sedikit) rakus. Partikel adalah cerita yang kaya dengan petualangan, mirip Akar. Bedanya saya langsung suka. Rasanya sungguh familiar. Inilah hasil ‘puasa’ delapan tahun.

Dan ternyata saya nggak perlu lama-lama puasa lagi, karena dua tahun kemudian, Gelombang (2014) datang. Tokohnya laki-laki bernama Alfa Sagala dari Sianjur Mula-Mula. Alfa terlahir dengan ‘rahasia’ yang tersembunyi dalam mimpi buruknya.  

Cerita Alfa mirip seperti kisah Zarah (Partikel). Keduanya mengalami satu ‘lompatan takdir’ yang membuat jalan hidupnya otomatis berubah. Kisah yang rapi dan mengalir. Ibarat hidangan, Partikel itu pecel Madiun, Gelombang ini pecel Malang. Rasanya lezat, dekat, karena tetanggaan. Dan tentu saja mbak Dee sudah sangat piawai mengulek sambalnya.

Setiap kali pula, 'kesaktian' tokoh di Supernova pasti bikin iri. Bukan kemampuan Alfa hidup tanpa tidur yang bikin saya mupeng, tapi otak Alfa yang cerdas, -mungkin menurun dari mamaknya yang rajin membaca- dan tekadnya yang nyaris seperti nekad –kalau ini mungkin seperti bapaknya-. Alfa is a fast learner plus risk taker.
I wish ada radioactive spider yang bisa membuat orang cepat menguasai berbagai bahasa asing seperti Alfa Sagala. Saya rela digigit. 

Membaca Gelombang membuat semua seri Supernova sebelumnya menjadi semacam buku misteri.  Saya seperti digiring dalam petualangan yang makin lama makin menegangkan. Sisipan cerita lucu seperti ‘kisruh’ penamaan Alfa dan saudara-saudaranya tidak berhasil mengurangi ketegangan saya.
Mengapa begitu, karena Gelombang memperjelas, bahwa selalu ada kawan dan lawan. Si jagoan punya tujuan, dan lawan-lawan itu akan selalu menjadi penghalang.

Pertanyaannya adalah, siapa menjadi apa? Duh, saya jadi mereview kisah-kisah sebelumnya. Saya sulit membayangkan kalau Mpret (Petir) yang berhasil mempesona saya karena cool abis itu ternyata adalah lawan. Tapi siapa yang tahu?
Dalam setiap episode Supernova memang setiap tokoh utama akan beroleh ‘pendamping’. Karakter-karakter kuat yang menemani si jagoan menemukan jati dirinya. Pertemuan mereka ini selalu seperti takdir. Mengejutkan dan tak dinyana. 

Dalam Gelombang jelas sudah. Tokoh-tokoh itu ada bukannya tanpa alasan.
Mereka itu either Peretas, Infiltran, atau Sarvara. Hua, horor. #eh

Tokoh-tokoh utama dari semua seri Supernova juga mulai bersinggungan. Mereka hampir saling menemukan. Kalau Petir dan Akar sudah bertemu, dengan siapakah Gelombang akan ketemu duluan? Bagaimana cara mereka ketemu? 

The Plot is Thicken. Kisah ini sudah hampir sampai.

Mungkin karena itu dalam Gelombang kita tidak bisa lama bersantai-santai. Kisah Alfa di Sianjur Mula-Mula langsung menyuguhkan ketegangan, sebelum akhirnya dia pindah ke Jakarta. Cuma sekejap di Jakarta, Alfa malah jadi imigran gelap ke New York. Sebentar juga di sana karena Alfa harus segera sampai ke Tibet. 

Memang ada beberapa detail cerita yang suka saya ‘skipped’ ketika membaca ulang. Seperti waktu Alfa ke-edanan main gitar, dan sesi Alfa dengan dokter Colin di Amrik. Buat saya tujuan Alfa sudah terlalu jelas: Indonesia. Pulang. Seperti juga tokoh-tokoh yang lain, mereka akan ketemu di satu tempat. Apakah itu di Bandung, Jakarta, atau satu alamat baru yang diciptakan mbak Dee. (Saya selalu ‘WOW’ dengan semesta yang dibuat mbak Dee: begitu nyata.)

Selanjutnya bagaimana? Setelah ending di pesawat yang bikin deg-deg-an, mbak Dee bilang: Bersambung ke episode Intelegensi Embun Pagi. Menilik judulnya, kayaknya bakalan hadir sesuatu yang sejuk dan adem. Apakah itu berarti selesainya semua kisah yang sudah ada belasan tahun ini? 

Ya, saya masih duduk manis dan menunggu, kok.  


Pick Me, Dee’sCoaching Clinic, and Why?

Seperti orang yang suka diam-diam, rasa itu biasanya sangat dalam. Saya sudah jatuh hati kepada tulisan mbak Dee waktu membaca cerita Rico si kecoak di satu majalah remaja. Duh, hitungannya sudah lebih dari belasan tahun ke belakang. Waktu Supernova berhasil mengikat saya untuk duduk manis menunggu, saya juga melahap Filosopi Kopi (2006), Rectoverso (2008), Perahu Kertas (2009), dan Madre (2011). 

Cerita-cerita itu kadang ‘gue banget’ sehingga bikin saya merasa dekat padahal nggak kenal. Buku-buku Dee menjelma teman ketika sendirian. 

Sementara itu, tak satupun review pernah saya tulis. Karena rasanya tak cukup kata-kata untuk menuliskannya. (Cie ini mah…) Andaikan harus diungkapkan, saya cuma bisa bilang, “Saya suka kamu.” 

Rasa suka yang mendorong keinginan saya untuk menulis dengan bagus. Karya mbak Dee menjadi benchmark yang sangat tinggi. Di gunung sana, sementara saya masih ngesot di lembahnya. 

Rasa suka yang membuat saya kepo dan jadi one of the many folowers-nya di twitter. Kegiatan ‘memata-matai’ yang bikin saya jatuh hati lagi karena sosok mommynya Keenan dan Atisha ini. 

Cuma mbak Dee yang membuat saya (dengan status emak-emak) santai ngantri dengan para ABG demi ketemu langsung dan mendapatkan tanda tangannya. Harta saya yang paling berharga di rak buku.

Yes, she 'said' that to me. :D

Dua pesan di atas saya yang minta untuk dituliskan mbak Dee. Diam-diam saya harapkan jadi mantra super biar beneran kejadian. 

 I wanna be a writer.
Saya pengen ‘tertular’. 

Dan cara paling ampuh untuk ‘ketularan’ adalah dengan bertemu.  


Belajar dari cerita-cerita mbak Dee, ‘Semesta’-lah yang mengatur setiap pertemuan.

Tulisan ini semoga menjadi jalan yang membuat kami ketemu.

Thursday, March 15, 2012

Para Priyayi

Para Priyayi adalah salah satu dari buku yang sering saya baca ulang. Buku ini telah menghuni lemari buku saya lebih dari 15 tahun. Biarlah saya dibilang old school, tetapi saya sungguh terkesan dengan buku ini. Diantara cerita mengenai keluarga dalam novel-novel yang saya baca, tidak ada yang selengkap dan secanggih di sini.

Saya membaca buku ini saat masih SMP. Usia saya sekitar 15 tahun. Dalam kerangka berpikir saya ketika itu, saya menemukan sebuah keasyikan membaca kisah dan gambaran dari secukil sejarah bangsa, yang disampaikan entah berdasarkan fiksi atau kenyataan. Para Priyayi berlatarkan kondisi Indonesia mulai jaman Kolonial hingga Gestapu. Lokasi-lokasi dalam cerita digambarkan secara jelas. Imajinasi akan sebuah desa, rumah joglo dengan pohon nangka, andong, dan aneka jajan pasar, telah memesona saya. Saya tidak pernah bosan membacanya.

Membaca Para Priyayi waktu remaja, membantu saya untuk mengenal konsep keluarga secara utuh. Para Priyayi bercerita dalam tiga generasi, dengan banyak tokoh, dan banyak kedudukan dalam keluarga. Saya hanya mempunyai satu adik kandung. Ayah dan ibu saya berpisah sejak kami kecil. Rumah saya, tidak banyak terisi manusia. Bagi saya, Para Priyayi membangkitkan perasaan saya akan adanya sosok kakek, nenek, ayah, ibu, adik, kakak, yang somehow, mengobati kerinduan dan membangkitkan fantasi saya akan sosok-sosoknya. Saya selalu kangen mereka.

Jika ada satu hal yang sangat berkesan dalam Para Priyayi adalah cerita mengenai bagaimana para tokohnya menjaga kedekatan dan kehadiran untuk satu sama lain. Meskipun ketika telah tinggal berjauhan. Pada suatu masa ketika saya kuliah dan hidup tak lagi serumah dengan ibu dan adik saya, saya sungguh individualis. Saya mengabaikan mereka. Saya jarang pulang. Saya tak sehangat dulu. Saya punya tugas kuliah yang lebih penting daripada datang sekedar untuk merayakan ulang tahun ibu. Saya lupa bahwa keluarga, bagaimanapun menginginkan kita ada. Keberadaan saya penting, sebagaimana keluarga penting bagi saya, meski kadang tidak saya sadari.

Para Priyayi membuka hati saya bahwa konsep keluarga sesungguhnya adalah bahwa saya akan selalu punya orang-orang yang bisa saya andalkan. Orang yang bisa saya sebut sebagai “keluarga” adalah orang-orang yang akan memberikan uluran tangannya lebih dulu. Tak peduli apakah saya sesungguhnya ber-DNA yang sama atau tidak. Ada banyak tempat di dunia ini dimana saya bisa menemukan keluarga.

Dengan membaca Para Priyayi, saya merasakan pengalaman menjadi seorang anak, adik, kakak, istri, suami, ibu, ayah, kakek, nenek. Pengalaman itu membuka hati untuk lebih mau memahami bahwa melihat suatu persoalan tidak dapat dilihat dari satu sisi. Setiap orang memiliki pertimbangan, pandangan masing-masing berdasarkan pengalaman dan kearifan masing-masing. Saya tidak boleh egois, saya harus mau mendengar.

Bagaimana dengan kondisi saat ini, relevankah Para Priyayi dibaca dan diperkenalkan kembali? Saya jelas akan mengatakan sangat relevan! Menurut saya, inilah intisari yang saya dapatkan dari membaca buku ini. Dalam kehidupan, menjadi “priyayi” tidak ada hubungannya dengan keturunan, jabatan, dan uang. Tiga hal yang justru sering menjadi ukuran bagi kedudukan seseorang pada masa sekarang. “Priyayi” yang sesungguhnya adalah orang yang paling sedikit menyusahkan orang lain sekaligus paling bermanfaat bagi orang banyak. “Priyayi” adalah orang yang paling rela berkorban, paling rela membantu, menolong, tanpa kenal lelah dan tidak mengenal kesombongan. Dengan membaca Para Priyayi, saya ingin selalu diingatkan.




Tulisan ini masuk dalam buku #READ2SHARE di www.nulisbuku.com