Showing posts with label writing. Show all posts
Showing posts with label writing. Show all posts

Wednesday, October 18, 2017

Hobi yang Mendatangkan Rezeki



Hobi menurut KBBI adalah kegemaran; kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Melakukan hobi adalah sarana rekreasi bagi orang yang menggemarinya. Tak jarang, seseorang rela mengeluarkan sejumlah biaya dan waktu yang tidak sedikit demi menekuni hobi. Tak sedikit juga yang rela menempuh resiko dan bahaya, demi melakoni hobi.

Hobi yang Bikin Miris
Kisah lucu atau miris datang dari kakak ipar saya. Seorang kawannya yang hobi motor trail, sampai harus melihat motor trail kesayangannya “dibumihanguskan” oleh sang istri. Masalahna bukan karena uang puluhan juta yang “diinvestasikan” dalam wujud motor, helm, outfit, sepatu, yang semuanya khusus dan mahal, tapi karena sang istri tak tahan lagi dengan sang suami yang “bertaruh nyawa” demi hobinya ini.

Sang suami sudah pernah menjalani aneka operasi untuk menyambung tulang-tulang rusuk dan kaki yang patah. Belum lagi paru-parunya yang nyaris bocor karena kecelakaan ketika turun gunung. Alih-alih kapok, setelah melewati masa pemulihan, sang suami kembali menjejak gunung di atas si motor. Jadilah motor kesayangan dan uborampenya (yang mahal itu) “dilenyapkan” dari muka bumi oleh sang istri. Tapi sang suami tak hilang akal, kini motor trail (barunya) aman di garasi orang lain.

Kalau para istri suka geleng-geleng kepala dengan hobi suami yang ekstrem, in another level, suami bisa jadi geleng kepala karena hobi istrinya. Seperti sudah sewajarnya, kalau perempuan lebih senang berbelanja dibandingkan laki-laki. Sehari-hari saja kaum perempuan harus belanja untuk kebutuhan rumah tangga. Sudah biasa melihat lebih banyak perempuan di mal dibandingkan laki-laki (yang jika ada pun lebih banyak berperan sebagai juru bayar dan juru angkut serta sopir).

Banyak literatur mencatat bahwa hobi belanja ini benar-benar bisa melenyapkan stres. Apalagi kalau dilakukan dengan dukungan uang yang cukup. Karena menilik kisah di buku The Confession of a Shopaholic, karangan Sophie Kinsella, memenuhi hobi belanja gila-gilaan tanpa peduli utang sudah segunung bisa jadi penyebab stres sesungguhnya.

Saya baru-baru ini membaca buku Hermes Tempation: kisah Fitria Yusuf dan Alexandra Dewi yang hobi belanja tas Hermes. Buat mengulang info saja nih, tas Hermes itu sebijinya bisa buat beli sepeda motor, (ini yang paling murah) sampai bisa beli apartemen di Jakarta. Tapi untungnya buat mereka, hobi mahal tadi bisa mendatangkan rezeki juga. Fitria Yusuf dan rekannya akhirnya menjadikan hobi belanja tas super mahal itu jadi lahan bisnis jual beli tas dengan keuntungan yang “tak seberapa” buat mereka, meski nominalnya setara gaji direktur BUMN di Ibu kota.

Mari kesampingkan bisnis tas yang omsetnya ratusan juta perbulan. Tak sedikit diantara orang-orang yang saya kenal bisa menjadikan hobi mereka tak sekedar sarana rekreasi atau kesenangan di waktu senggang, tapi juga sarana menjemput rezeki. Banyak teman hobi merajut, kini punya bisnis rajutan, ada teman hobi memasak, kini punya bisnis catering. Adik saya punya hobi mengutak-atik mainan, sempat punya usaha jual beli dan reparasi mainan. Saudara yang satu lagi punya hobi berdandan, kini mulai berlatih jadi MUA (Make Up Artist) buat teman-temannya. Lumayan, bayarannya bisa untuk jajan.

Jadi, Mbak Ika Puspita http://www.bundafinaufara.com dan Mbak Arina http://www.arinamabruroh.com, (keduanya blogger perempuan yang bikin saya kagum dengan tulisan dan komitmennya di dunia “perbloggingan”), tema hobi untuk arisan blog Gandjel Rel kali ini membuat saya ingin bilang, kalau hobi bisa jadi bukan kesenangan belaka, tapi juga bisa jadi sarana menjemput rezeki.

Hobi Saya Apa?
Hobi sejak kecil: membaca
Sejak belasan tahun terakhir, kalau ditanya hobi saya apa, saya bilang: membaca dan menulis.

Hobi membaca seperti chip yang ditanamkan di kepala oleh Bapak saya. Ingatan masa kecil saya tak pernah lepas dari belanja buku di toko Sekawan Pusat, salah satu toko buku paling besar di Solo pada masanya, sebelum raja retail buku buka cabang di mana-mana. Buku-buku anak-anak seperti Trio Detektif, Lima Sekawan, Noddy, Donald Bebek, Nina, jadi suplemen buat saya. Setiap pulang dari Sekawan Pusat, saya selalu menenteng setidaknya empat judul buku baru. Belanja buku ini jadi ritual belanja yang lebih menyenangkan buat saya dibandingkan belanja baju atau mainan. Eh, malahan saya nggak ingat kapan ya, belanja mainan sama Bapak waktu kecil.

Membaca adalah hobi yang sangat rekreatif buat saya. Tapi sayangnya, sekarang waktu untuk benar-benar membaca buku jadi berkurang. Kebanyakan baca status sosmed, sih.

Sekarang cerita tentang hobi saya yang satunya, yaitu menulis. Sepanjang saya ingat, di kala teman-teman berkeluh kesah plus bersusah payah menulis karangan di lembar-lembar ulangan, saya menulis dengan senang hati. Benar-benar menulis, karena waktu itu dikerjakan dengan tulisan tangan. Sejak kelas tiga SD saya juga sudah punya buku harian. Hobi menulis ini selain untuk kesenangan, ternyata bisa untuk menyalurkan kegelisahan. Setelah saya baca lagi buku-buku harian saya, ternyata bagus juga kalau punya tempat curhat yang pandai menyimpan rahasia.

Siapapun pasti senang kalau hobinya bisa dinikmati dan diapresiasi orang lain, seperti perasaan saya ketika tulisan yang saya buat dapat wadah untuk dibaca tidak hanya oleh saya dan guru yang memberi nilai. Tulisan pertama saya yang dimuat di majalah adalah liputan tentang perjalanan singkat saya bareng teman-teman sekelas ke Museum Radya Pustaka waktu kelas tiga SD. Majalahnya adalah majalah sekolah saya, namanya Kuntum. Selepas itu masih ada beberapa tulisan lain berupa fiksi dan puisi. Kini meskipun masih punya ratusan file tulisan fiksi, sebagian selesai sebagian besarnya belum, sebagian berupa ketikan dari mesin ketik manual, “karir” menulis (fiksi) saya seperti mentok di majalah-majalah sekolah. Kadang-kadang saja muncul di forum-forum beneran.

Saya juga hobi menulis surat. Kegiatan tulis-menulis surat ini mencapai puncaknya sebelum masa pesan elektronik datang. Menulis juga menjadi hobi yang membantu saya menyelesaikan aneka pekerjaan, dari yang remeh membuat surat tagihan, proposal kegiatan, sampai menyelesaikan satu standar kompetensi untuk organisasi yang saya ikuti.

Selepas selesai kuliah, hobi menulis ini membuka kesempatan untuk jadi koresponden di tabloid arsitektur, dan punya buku tentang arsitektur. But then that was it. Sampai akhirnya hobi tercinta ini mempertemukan saya dengan salah satu rejeki terbesar sepanjang hidup, yaitu bertemu dengan teman-teman di komunitas menulis, sampai sekarang tumbuh menjadi komunitas blogger. Teman-teman yang menjadi mentor, pesaing, pengritik, atau pembaca, yang budiman.

Hobi Jalan-jalan
Jalan-jalan santai bareng Sehati Project
Oiya, di masa kini, jalan-jalan sepertinya sudah menjadi hobi wajib nasional. Aneka majalah, blog, menuliskan kisah-kisah tentang perjalanan. Banyak teman blogger yang dapat rejeki dari hobinya ini juga. Memang jalan-jalan adalah hobi yang sangat menyenangkan. Untuk itu kita harus punya badan sehat, waktu, dan biaya. Bersyukurlah jika ketiganya ada. 
Outbound bareng Sehati Project
Buat saya  hobi jalan-jalan dikombinasikan dengan kemampuan menulis surat penawaran, dan membaca informasi tempat-tempat wisata, membuka rezeki juga untuk saya. Saya bisa piknik gratis dan dapat uang saku, dengan cara mengatur perjalanan rombongan  ke berbagai lokasi. 
Jangan ragu-ragu ya, yang mau piknik ngajak-ngajak saya.

Wednesday, May 17, 2017

Sepeda



Kring kring kring ada speda
Spedaku roda tiga
Kudapat dari ayah
Karena rajin bekerja.

Petikan lagu anak-anak gubahan Bu Kasur membawa saya pada kenangan masa kecil, yang sangat dekat dengan sepeda. Tidak ingat betul sih, kapan persisnya mulai bisa naik sepeda roda dua. Tetapi waktu usia saya sekitar enam tahun, terjadi insiden pertama dalam sejarah saya bersepeda. Saya dan sepeda kecebur got di dekat rumah. Sepedanya kecil, barangkali jenis roda tiga yang kemudian dilepas roda tambahannya. Gotnya sempit, tapi berlapis semen kasar. Akibatnya darah mengucur deras dari bagian lengan. Entah persisnya di mana, karena sekarang tidak saya temukan bekas lukanya.

Pakai sepeda kecil itu juga -bersama adik laki-laki- saya menciptakan aneka gaya bersepeda. Ada gaya “F*nta”, “Spr*te”, dan “C*ca-cola”. Kenapa namanya itu? Ya soalnya kalau waktu itu kami diijinkan minum salah satu dari ketiga minuman bersoda itu, rasanya keren. Gaya “F*nta” berarti saya duduk di sadel dan kaki mengayuh pedal, sementara adik saya duduk di stang dan mengendalikan kemudi. Gaya yang lain, adalah kombinasi antara keinginan keren,  iseng, dan nekad lainnya. Akibat aneka gaya absurd itu berkali-kali kami nyusruk di jalanan. Walaupun hanya di jalanan depan rumah. Wilayah yang dianggap aman buat sepedaan. Oiya, meski  begitu kami berdua sempat dikejar anjing. 

Selepas melewati masa diantar jemput sekolah pakai becak, jangkauan wilayah bersepeda saya lebih luas lagi, dari rumah ke sekolah. Untunglah karena tinggal di Solo, jalanan rata, dan jaraknya relatif dekat kemana-mana. Tidak seperti di Semarang yang jalanannya mendaki bukit melewati lembah…

Masa bersepeda ke sekolah dimulai sekitar kelas empat SD. Sepeda saya sudah di-upgrade jadi sepeda ukuran dewasa. Masih ada lho sepedanya sekarang. Sepeda itu model cowok, yang gagangnya lurus, bukan model cewek, yang miring ke bawah. Pernah seorang guru berkomentar soal itu. Tapi toh saya tidak merasa kerepotan. 
 
gambar diambil dari: bowgank.wordpress.com
Masa-masa ini adalah masa keemasan saya dan sepeda. Selain ke sekolah, ke warung, main ke rumah teman, les, pramuka, semua naik sepeda. Teman-teman bersepeda saya ya teman-teman SD yang rumahnya cukup dekat, masih dalam radius 5 km. Kadang di hari Minggu kami ampir-ampiran (saling menjemput) lalu bersepeda keliling kota. 

Karena jam terbang bersepeda lumayan banyak, insiden juga mulai terjadi. Kalau sekedar lutut dan sikut baret sih sudah biasa. Pernah suatu kali paha saya sobek tergores stang. Lumayan yang ini bekas lukanya masih ada. Alhamdulillah tidak ada pengalaman yang lebih mengerikan dibandingkan itu. 

O iya, jaman itu ada istilah "pajak" sepeda. Semacam stiker yang kudu ditempel di sepeda dan kita kudu beli tiap tahun. Kadang suka ada "cegatan" petugas yang memeriksa apakah sepeda yang lewat sudah ditempel stiker ini atau belum. Pernah saya dan rombongan teman kabur dari "cegatan" macam ini juga. Hihi.

Di antara kisah menyenangkan dengan sepeda itu, ada beberapa yang sangat membekas buat saya. Salah satunya waktu saya, dan dua orang sahabat, H dan B, bersepeda ke rumah sakit untuk menjenguk Yanda. Yanda ini adalah pembina Pramuka di SD kami, yang sepanjang ingatan saya, sudah sepuh. Kami berangkat naik dua sepeda. Saya lupa siapa membonceng siapa, tapi yang jelas, waktu pulang hujan turun deras sekali. Sepertinya H sedang tak enak badan, dan B ini kan pakai kacamata minus. Jadi meskipun mereka berdua laki-laki, waktu pulang saya memboncengkan H, sambil menggiring B biar tetap jalan di jalur yang aman. (Ingat nggak ya mereka hehehe)

Bersama ibu dan adik, saya juga kadang bersepeda keliling kota. Dan end-up dengan jajan tongseng kambing terenak sepanjang ingatan saya. 

Pengalaman deg-degan dengan sepeda adalah waktu harus ngebut balik ke rumah dari sekolah mengambil kartu Ebta yang tertinggal. Lumayan jaraknya 3 km, bolak-balik jadi 6 km. Bikin saya keringetan parah waktu tesnya dimulai. 

Masa bersepeda berlanjut sampai SMP.  Daerah jajahan juga berkembang. Bersama geng SMP yang rumahnya satu komplek, kami kompak sepedaan kemana-mana. Waktu itu kami ke bioskop saja naik sepeda, lho.
Waktu SMP ini, selain pp ke sekolah, saya rutin seminggu tiga kali bolak-balik bersepeda 8 km jauhnya untuk latihan Kempo. Siang-siang panas jam dua berangkat, bawa ransel dan kadang jerigen berisi jatah air minum, dan baru pulang selepas Magrib. Kalau musim hujan? Ya terima nasib, laah. 

Ehm.. dengan bersepeda juga, seseorang.. ah, nggak jadi. Hahaha.

Ah, banyaknya kenangan masa kecil saya bersama sepeda. Semua mengingatkan saya pada masa kecil yang seakan tidak mengenal takut, rasa was-was, apalagi lelah. Sepeda memberikan perasaan dekat pada banyak sahabat saya, yang pernah sekayuh berdua -litteraly-, yang berombongan ke tiap sudut kota, yang saling membonceng, tanpa ada rasa lain selain pertemanan itu.  Hingga yang sekarang terkenang membuat saya tak lepas senyum ketika menuliskan ini. Terima kasih untuk Mbak NiaNurdiansyah, dan Mbak Anjar Sundari yang telah memilih tema ini untuk #ArisanBlogGandjelRel. 

Namun akhirnya, “setelah negara api menyerang” jaman bersepeda menemui akhirnya. Hehe. Tibalah masanya sebuah sepeda bermesin, bernama sepeda motor nangkring di teras rumah. Perubahan dari sepeda ke sepeda motor ini juga seperti menandai akhir masa kecil saya, menjadi awal menuju masa remaja. Masa di mana rasanya ingin bergerak lebih cepat, dan berjalan lebih jauh lagi. 

Meski begitu saya tidak pernah lupa pada tawa yang menyertai tiap kayuhan kaki. Ketika setiap keringat yang menetes memberikan kenangan yang kini tak pernah lepas indahnya. 

Kulit wajah kini tak lagi terbakar matahari, tapi masih terasa sejuknya angin yang berhembus di sela rambut dan jaket yang rapat membalut. 

Ketika menatap segores luka di kaki saya, yang mengingatkan bahwa pernah ada sebuah masa. Ketika waktu dan makna sama-sama berjalan lambat, hingga sempat membangun sebuah ruang yang selalu berbunga di hati saya. 

I have you in my mind, sahabat-sahabat bersepeda saya. *jadi mellow
Amigos para siempre.

Friday, August 7, 2015

Mengejar NH Dini



Baru kemarin rasanya saya meminjam buku NH Dini: Pada Sebuah Kapal dari perpustakaan sekolah. Waktu itu, hanya satu nama pengarang perempuan yang saya ingat yaitu: NH Dini. Jadi saya, yang sesungguhnya sangat menyukai pelajaran bahasa Indonesia, dibandingkan Kimia dan Fisika (salah jurusan kayaknya), merasa perlu meminjam dan membaca buku-buku beliau. Seingat saya, ada tiga judul yang pernah saya baca. Tapi ingatan pada cerita dalam buku-buku beliau? Nihil. Rupanya otak remaja belasan tahun saya nggak nyandhak untuk memahami tulisan NH Dini. 

Pertemuan kembali dengan karya beliau terjadi baru-baru saja sebetulnya. Kurang lebih empat tahun yang lalu. Saya lupa buku mana yang duluan saya beli dari setumpuk buku ini. Tapi, saya langsung jatuh cinta, terutama pada buku-buku Serial Cerita Kenangan. 

Koleksi Buku NH Dini
Bagi penggemar berat, mestinya tahu ada ‘Gap’ dari koleksi ini. Kalau ada pembaca tulisan ini yang berbaik hati memberikan informasi tentang di mana buku yang belum saya punya bisa didapatkan, akan saya terima dengan senang hati. :D Di antara lain buku yang saya cari: Langit dan Bumi Sahabat Kami, Sekayu, Dari Fontenay ke Magallianes, dan Pada Sebuah Kapal

Jadi, kita lompat pada pertemuan hari Kamis, 6 Agustus 2015. 

Hari itu termasuk satu hari yang sudah saya tunggu-tunggu. Sudah saya sampaikan pada keluarga, pokoknya pada hari itu saya harus pergi untuk sebuah acara penting. Penting buanget karena acara ini lebih dari sekedar ketemu beliau di acara launching buku lalu minta tanda tangan dan foto-foto. Lebih mahal dan berharga dibandingkan ikut acara pelatihan menulis dengan beliau, misalnya. Ini adalah acara makan siang dengan NH Dini. Semi privat pula, karena beliau hanya kerso ketemu sedikit orang. Ini adalah pengalaman yang nggak akan saya dapatkan di tempat lain.

Alhamdulillah, melalui Dewi Rieka dan Artie Ahmad, saya dapat kesempatan ini.
Terus mengapa cerita pertemuan dengan NH Dini jadi “Mengejar NH Dini?” Karena, ehm, begini: 

Memang dalam cerita mesti ada ‘twist’ biar menarik. Saya sudah berangkat ‘ke bawah’ sejak pukul sembilan pagi. (Orang Semarang pasti paham kalau ‘ke bawah’ itu mengindikasikan rumah saya ada nun jauh di daerah Semarang atas.) Jam sebelas sudah sampai di ‘lokasi’, (setengah jam sebelum jadwal janjian). Mbak Dian Nafi sudah di sana juga. Kami sempat ngobrol-ngobrol nervous soal mau ketemu NH Dini! Setengah jam berlalu, saya mulai gelisah. Kenapa bu Dini belum juga muncul? Dari cerita di buku-bukunya saya yakin beliau adalah orang yang sangat menghargai waktu. 

Jadi, ini ‘twist-nya’:
Ternyata, restoran tempat saya dan mba Dian Nafi menunggu, bukanlah restoran yang dimaksud. Kami nunggu di Nglaras Roso cabang Thamrin, bu Dini (dan Artie) nunggu di Ungaran! Itu berarti sekitar 25 km jauhnya dari lokasi kami. (Yang sebetulnya malahan deket dari rumah saya). Namanya sama, lokasinya beda. Jeng jeng jeng!

Di ujung telepon sayup saya mendengar suara bu Dini. Dan Artie, menambah suasana horor di hati saya dengan kalimat, “Tapi Eyang nggak mau nunggu lho, Mbak.”
“Saya berangkat ke sana, mbak Artie, kalaupun nanti bu Dini sudah tindak, saya pasrah,” tutup saya di telepon.
Maka dengan menatap galau mata mbak Dian Nafi, “Yuk, Mbak, kita nyusul ke sana.” Mbak Dian langsung mengiyakan. 

Bismillah. Saya tahu waktu normal berkendara dari Jl. Thamrin sampai Ungaran adalah 45 menit, bahkan bisa satu jam. Selain jauh, jalanan sering padat. Mbak Dedew, yang waktu itu di dalam bus juga langsung balik kanan. 

Saya  nyetir senekad mungkin -sambil membayangkan bu Dini yang mungkin marah pada kami-,  sambil ngeri-ngeri sedap menyalip dan ngomelin pengemudi lain yang mendadak jadi siput, kami berdua selamat tiba di lokasi dalam waktu 25 menit! Nyaris bareng dengan Mbak Dedew yang saya lihat ‘loncat’ dari dalam taxi. Hihihi. Kami semua ‘mengejar’ waktu berharga kami bareng NH Dini.
Seberapa menit-pun yang tersisa, kami harus sempat ketemu!

Buru-buru mencium tangan beliau, kami bertiga berupaya meminta maaf. Bu Dini berkata kalau beliau harus istirahat pada jam satu karena sore harinya ada janji yang lain. Karena kondisi kesehatannya, beliau harus cukup berbaring sebelum melakukan aktivitas lain. Makanya tidak bisa menunggu kami terlalu lama. Tapi untunglah beliau tetap ramah, dan Artie langsung jadi ice breaker dengan berkata, “Ya udah, sekarang buku yang mau ditanda-tangani dikeluarin to, Mbak.”


Whoa! Langsung seisi ransel saya keluarin semua. Hehehe. Karena sebelumnya saya blank, tidak tahu mau bicara apa. Akibat habis lulus jadi pembalap, segala pertanyaan yang sudah saya persiapkan sejak sebulan lalu menguap di udara. Untungnya obrolan dengan eyang Dini mengalir begitu saja. (Iya, saya memang jadi labil ketika manggil beliau. Ibu atau eyang?)

Saya sampaikan rasa penasaran saya mengenai sebanyak apa catatan yang eyang Dini miliki. Kok beliau bisa sangat rinci ketika menuliskan suatu peristiwa, sampai ke warna baju, kadang potongan rambut, cara berjalan, dan lain sebagainya. Terutama saya kagum karena seri Cerita Kenangan adalah kisah beliau sendiri. Kisah nyata, nggak ngarang. 

Intermezo: ----Jadi, dear pembaca yang ingin mengenal lebih dalam tentang NH Dini, bacalah buku serial Cerita Kenangan ini. Antara lain: Sebuah Lorong di Kotaku, Kemayoran, Jepun Negerinya Hiroko, sampai buku beliau terbaru: Dari Ngalian ke Sendowo. Baru release tahun ini (2015), jadi buruan cari di toko buku. Susah lho nyari lagi kalau sudah habis.----
Buku Baru eyang NH Dini

Salah satu serial Cerita Kenangan. Covernya dilukis oleh Eyang sendiri, lho! Sayang lukisan itu sampai saat ini tak diketahui rimbanya.

Sedangkan kisah-kisah lainnya, eyang banyak mengambil inspirasi dari peristiwa yang juga pernah beliau alami/ ketahui sendiri. Kan hebat, beliau masih ingat secara rinci kejadian belasan sampai puluhan tahun yang lalu. 

Eyang Dini bilang it’s a given. Bahwa beliau punya ingatan ‘filmis’. Bahwa banyak peristiwa meski telah puluhan tahun yang lalu terjadi, bisa muncul di dalam ingatan beliau seperti film yang diputar.
Selain itu eyang punya  ‘buku Merah’. Buku tempat beliau mencatat semua adegan yang dirasa penting. Jika eyang mendapati kejadian menarik, akan langsung dicatatnya, lalu, beliau akan memindahkan catatan itu ke dalam ‘buku Merah’. Buku merah ini akan menjadi sumber penting bagi adegan-adegan di dalam cerita. 
 
:) ;) :)
Eyang Dini juga bercerita kisah ketika beliau menerjemahkan karya sastra Perancis dari seorang peraih hadiah Nobel, Albert Camus: La Peste, (diterjemahkan menjadi 'Sampar'). Beliau kekeuh memegang prinsip bahwa sebuah karya sastra tidak bisa 'dipotong' seenaknya, apalagi demi mengejar jumlah halaman. Bahkan eyang Dini berupaya memahami benar pesan yang ingin disampaikan sampai kata per kata. Tidak sekedar menerjemahkannya menjadi bahasa Indonesia. Wah, jadi kesentil kan, dengan fenomena terjemahan ngawur jika sekedar mengetikkan kalimat ke translator tanpa mengerti maknanya.

Kami terus berbincang, kebanyakan tentang cerita-cerita dalam buku-bukunya. Tentang sahabat-sahabat beliau, dan bagaimana saya mengagumi ketelatenan beliau mengurus anak-anaknya ketika beliau mengikuti tugas suaminya waktu itu dan berpindah-pindah negara. 

Begitupun saya kagum dengan keahlian beliau dalam memasak. Akibat menyampaikan rasa penasaran saya akan ‘sambal bajak’ yang beliau selalu bawa kemana-mana ketika di luar negeri, kami jadi punya ‘janji kencan’ lagi dengan eyang! Amiin, semoga terjadi.
 
Eyang, semoga sehat selalu.
Doa kami semua, di usianya yang menjelang 80 tahun, semoga eyang NH Dini selalu sehat, sehingga dapat terus berkarya, menginspirasi, dan meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi Indonesia. 

Waktu terus berlalu, dan waktu hampir mendekati jam setengah dua! Alhamdulillah, eyang kerso berbagi dengan kami lebih dari waktu yang beliau siapkan sendiri. 

Sebelum pulang Eyang NH Dini tidak segan berfoto bersama kami. Hua. Rasanya haru dipeluk dan cipika cipiki dengan seorang NH Dini. Seseorang yang sudah saya kenal namanya sejak jaman sekolah, dan muncul di buku-buku pelajaran bersama HB Jassin, WS Rendra, dan Chairil Anwar!
 
Puisi WS Rendra yang eyang Dini cantumkan dalam novelnya.
Dalam mobil (dimana saya udah rileks nyetirnya) saya dan mbak Dian Nafi norak-norak bergembira nggak jelas gitu, mengenang kejadian yang baru kita alami. Hahaha. Mungkin ini yang dirasakan para ABG ketika nonton boysband, atau para Wota yang nonton AKB 48. Hihi. 
Thank you, Artie
 Thank you, very much, buat Artie Ahmad (Penulis buku Turning Seventeen à cari di tobuk yaa). And the lovely Dewi Rieka. Maknya kos Dodol ini memang really amazed me! (I love you full, Mak. 'Kedodolan' itu berulang kali membawa berkah!)





Saturday, June 27, 2015

Sepanjang Janji



Pemandangan dari balik jendela kereta melintas cepat bagaikan film yang memutar balik cerita kita. Aku telah menangguhkan keinginanku untuk naik pesawat, karena perjalanan ini harus sesuai dengan keinginanmu. Padahal aku tidak suka perjalanan darat yang panjang. Bagiku itu buang-buang waktu dan hanya akan membuat badanku lelah. Tapi kamu suka, kan.
Katamu perjalanan darat akan membuatmu benar-benar merasakan perjalanan sesungguhnya. Kamu bilang setiap detik di jalan akan membuat kita sadar akan limpahan kekayaan alam di setiap tempatnya. Membuat hati menjadi peka keindahan, dan bersyukur pada setiap anugerahNya. Kamu sangat suka memandangi hamparan sawah, kebun sayuran, juga pohon-pohon di hutan.
Aku sempat tertawa. Apa enaknya menikmati perjalanan sambil pegal-pegal, sementara dengan pesawat terbang kita bisa langsung sampai di tujuan. Lagipula jalan-jalan di Jawa khususnya saat ini sudah tak lagi menghamparkan keindahan. Alih-alih pepohonan atau sawah yang menghijau, kita hanya akan disuguhi pemandangan padatnya rumah dan pabrik.
 “Riani,…” ucapmu seperti sedang mengajari anak kecil. Padahal umur kita sebaya. “…semakin sering kamu bepergian, kamu akan tahu bahwa setiap tempat itu istimewa. Perubahan itu nggak akan kamu rasakan kalau kamu kemana-mana naik pesawat.”
“Terus, aku mesti naik apa kalau mau ke Singapura atau Bali dari Jakarta? Numpang bajaj?” gerutuku. Selama ini aku tidak pernah mau liburan ke kota-kota yang tidak memiliki bandara. Aku malas menghabiskan terlalu banyak waktu untuk perjalanan darat. Sudah cukup waktuku habis di jalanan Jakarta.
Kamu gemas mengacak rambutku. “Bukan itu maksudku nona manis. Tempat-tempat yang paling indah, aneka tumbuhan dan satwa yang unik, justru banyak yang hanya bisa ditemui dengan perjalanan darat. Nggak jarang mesti jalan kaki, lho. Tapi di situlah tantangannya. Dengan begitu kamu akan melihat, mendengar, dan akhirnya lebih banyak tahu. Apalagi kita tinggal di Indonesia. Negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Negara kita ini disebut sebagai negara Megabiodiversity, lho.”

Aku berdecak. Kamu, Bagus, adalah orang paling idealis yang pernah kukenal. Khususnya soal lingkungan. Selain itu kamu sangat aktif dengan komunitasmu itu, komunitas berisi orang-orang yang hobi mendokumentasikan aneka hewan dan tanaman di hutan-hutan. Pantas kamu begitu menikmati pekerjaanmu. Menjadi kameraman stasiun televisi bisa membuatmu bepergian ke segala pelosok negeri. Membawamu pada beragam perjalanan yang kamu rindui.
Aku melirik jam tangan darimu. Kamu beli untukku dari gaji pertamamu. Hingga kini aku belum pernah menggantinya dengan yang lain. Aku sedang menghitung-hitung. Dalam delapan jam kereta ini akan tiba di Solo. Perjalanan naik bus ke Tawangmangu perlu waktu dua jam. Naik angkutan umum dari terminal Tawangmangu ke pos pendakian Cemoro Sewu, mungkin hanya setengah jam. Semua telah kuhafal di luar kepala sejak kamu memberiku rute perjalanan itu. Empat tahun yang lalu. 

“Jadi kamu mau liputan ke Lawu, Gus? Ada acara apa sih di gunung?” tanyaku setelah membaca jadwal perjalananmu.
“Aku dan teman-teman akan membantu penelitian tentang keanekaragaman hayati di Lawu. Khususnya tanaman. Kebetulan stasiun tiviku juga akan membuat film dokumenternya,” jawabmu penuh gairah. Aku merasakannya dalam suaramu, sorot matamu. Semua yang aku suka darimu.
“Berapa lama?”
“Seminggu. Mungkin lebih.”
Aku langsung cemberut.
Kamu yang menyadari perubahan wajahku langsung merangkulku.
“Seminggu kan tidak lama,” bujukmu.
“Memangnya Lawu seberapa luasnya sampai kamu butuh waktu berhari-hari buat melihat tanaman saja,” protesku.
Pekerjaanmu sebagai jurnalis, belum lagi aktivitas di komunitasmu itu, ditambah pekerjaanku di bank yang membuatku makin sering lembur, membuat kita jarang bertemu.
Kamu malah tertawa. “Kegiatan ini penting, Riani. Kamu tahu, di gunung Lawu perusakan lingkungan sudah cukup mengkhawatirkan. Sebagian besar disebabkan oleh penebangan liar, tanah longsor, kebakaran hutan, dan juga perambahan hutan untuk pertanian. Karena itu penelitian tentang keanekaragaman tumbuhan ini penting, sebagai salah satu upaya konservasi pada kawasan hutan di gunung Lawu.”
Ah, kamu mulai dengan kuliahmu.
“Tapi aku pasti kangen.” Aku merajuk.
Kamu menatapku, lalu melepaskan jaket biru kesayanganmu, dan melingkarkannya di bahuku.
“Kalau kangen peluk jaketku aja, ya.”
Huh, jaketnya bau kamu.” Aku masih merajuk.
Kamu seperti berpikir sejenak sebelum berkata, “Gini, deh, aku janji, nanti begitu dapat libur, aku akan mengajakmu pergi.”
“Kemana?” tanyaku sumringah.
“Naik gunung.”
Semangatku langsung surut. “Kenapa mesti naik gunung, sih, Gus? Jauh banget. Capek tahu!” protesku.
Aku adalah gadis kota tulen yang interaksi terdekatku dengan alam adalah pergi ke kebun binatang. Membayangkan memanggul ransel di tengah-tengah rimba ditambah mendaki berjam-jam membuat migrenku kambuh. Kepalaku pusing membayangkan kerepotan apa yang harus aku jalani demi perjalanan seperti itu.
Kamu tersenyum dan menyibakkan rambut ikalmu yang diam-diam aku kagumi.
“Soalnya, aku kepingin menunjukkan padamu seperti apa pohon Paederia Scandans itu, mau mengajakmu melihat matahari bangun di puncak gunung. Kamu pasti akan mengenangnya seumur hidupmu.”
“Pohon apa?”
“Pohon sembukan, alias daun yang berbau seperti kentut.” Kamu tergelak.
Aku mencubiti lenganmu dengan kesal. Kamu segera menangkap tanganku.  
“Kamu mau ya, ikut denganku?”
Duh, mana mungkin aku kuat jalan sampai ke puncak. Lagian boro-boro naik gunung, jalan kaki keliling komplek aja udah gempor!”
“Kamu pasti bisa, Riani.”
“Kalau aku pingsan?”
“Kamu nggak akan pingsan.”
“Kalau aku takut?”
“Kan ada aku.”
Genggamanmu makin erat. “Kita janji, ya?”
Lalu akupun jatuh dalam keteduhan matamu.

*

Aku merasakan kereta melambat. Sayup denting lagu beradu dengan derap roda-roda besi di Stasiun Balapan. Aku merenggangkan tubuh. Lihat, Bagus, aku tidak mengomel untuk jam-jam panjang yang kuhadapi.
            Hembusan angin segar di halaman stasiun menyambutku. Menguarkan aroma kerinduanmu akan kota ini. Aku segera menuju tempat becak-becak diparkir. Berbekal bahasa Jawa yang pernah kamu ajarkan, aku minta seseorang mengantarku ke terminal. Perjalanan naik becak ini juga idemu. Beberapa kali aku ke Solo, baru kali ini aku bergerak pelan seiring keriyat-keriyut kayuhan pedal becak.
            “Kamu harus merasakan naik becak. Duduk di becak bisa membuat kamu merasakan udara berhembus di sela telingamu, membaui aroma masakan, bunga, rumput,…”
            “Juga bau sampah, keringat orang,” selaku. Kamu terlalu puitis. Kalau kamu tidak jadi kameramen barangkali kamu akan jadi pujangga.
            Kini, ditingkahi semilir angin, aku memejamkan mata. Merayap bersama waktu di jalan-jalan kota yang sangat kamu cintai. Ah, sepertinya akupun jatuh cinta.  

*
           
Bus ini bergoncang untuk kesekian puluh kalinya. Tak kubayangkan perjalanan ke lereng gunung Lawu akan penuh kelokan, tanjakan, dan tikungan tajam. Deretan pohon pinus di sepanjang jalan seperti tentara yang berjaga, agar bus oleng ini tidak terjun ke jurang. Anehnya aku tidak mengomel, atau mengumpat. Tidak sekalipun, selain mendaras doa. Aku masih ingin selamat untuk menunaikan janji kita.
Mungkin karena kamu mendekap aku, aku menjadi tenang. Aku ingat kamu pernah berpesan untuk berserah diri ketika sedang menempuh perjalanan. Aku nikmati setiap hentakan tubuhku ketika bus mendadak berhenti atau berbelok cepat. Padahal jurang-jurang menganga bagai mulut monster yang siap menyambut nyawa. Ah, maut begitu dekat sekaligus begitu jauh. Tapi bersamamu, aku tak lagi takut apapun. 

*

Aku termangu di pintu Cemoro Sewu. Titian ini semakin dekat. Sebentar lagi perjalanan sesungguhnya akan dimulai. Mendaki gunung adalah bukan tentang penaklukan, tapi sebuah perjalanan ke dalam dirimu, begitu selalu katamu, Bagus.
Seorang kawanmu memeriksa kelengkapan barang-barang kubawa. Sahabat-sahabatmu memang sekumpulan orang yang sangat baik dan hangat. Mereka menyambutku laksana sahabat lama, padahal belum pernah sebelumnya berjumpa. Pada tanggal yang sama, -sejak empat tahun yang lalu-, mereka selalu bersama-sama kembali menempuh perjalanan ini.
Abdul, pemimpin rombongan berdiri menjajariku. “Terima kasih mbak Riani mau ikut kegiatan kami. Mas Bagus pasti senang sekali. Setiap kali kami kembali untuk mendokumentasikan tanaman di jalur pendakian ini, kami hanya bisa berharap kerusakannya tidak semakin parah setiap tahunnya. Tidak banyak lagi orang yang peduli dengan kelestarian hutan, Mbak.”
Aku menunduk malu. Lama juga waktu yang kuperlukan untuk peduli. Atau tepatnya aku butuh waktu yang sangat lama untuk berani memenuhi janji ini. Aku menarik nafas, membulatkan tekad. Sambil menggenggammu lebih erat, aku mulai menapaki jejak-jejak yang dulu pernah kau pijak. Gemeresik langkahku beradu lembut dengan bebatuan dan rumput. Dengung kumbang dan selintas suara burung-burung adalah musik paling merdu yang pernah kudengar. 

Seperti apa rupamu waktu pertama kali melewati jalanan ini, Bagus? Aku membayangkan kamu sepuluh tahun lebih muda. Barangkali rambutmu belum sepanjang saat aku mengenalmu. Barangkali tubuhmu lebih kurus. Tapi aku yakin senyummu tetap sama.
Teman-temanmu bilang meskipun banyak gunung-gunung lain yang telah kamu daki, kamu selalu merindukan Gunung Lawu. Waktu itu aku berkata bukankah sudah banyak gunung lain yang kamu datangi. Sebagiannya bahkan mendapat gelar gunung-gunung dengan puncak tertinggi.
 “Lawu adalah gunung pertama yang aku daki. Cinta pertamaku jatuh kepadanya. Pada hutannya, pada keelokannya. Karena itu aku selalu mengingatnya sebagai pengalamanku yang paling mengesankan,” begitu katamu.

Kini aku mengerti. Cintaku pertama juga jatuh padamu, Bagus. Aku juga selalu ingat. Meski kenangan tentang kamu menorehkan nyeri dalam diri yang aku tak tahu datang dari mana. Karena hingga kini aku tak pernah bisa lupa, detik-detik kehilangan kamu.
“Mbak Riani?”
Waktu itu aku baru tiba di rumah selepas kerja. Aku tersambung dengan seseorang bernomer telepon asing.
“Mbak Riani saya menelepon untuk menyampaikan kabar tentang Bagus Ardi.”
“Bagus kenapa, Mas?” Perasaanku langsung tak enak.
“Bagus menuliskan telepon Mbak di nomer telepon yang harus dihubungi dalam keadaan darurat.”
Aku menahan jantungku lompat dari rongganya.
“Saya harus mengabarkan kalau Bagus hilang di Gunung Lawu.”
Kalimat terakhir itu kemudian menjelma gema yang tak berkesudahan di kepalaku. Doa yang berhari-hari kuretas barangkali lebih deras daripada hujan yang mengguyur Jakarta.
Kamu harus kembali, Bagus. Kita masih memegang janji. 

*

Tapi hari berlalu tanpa kabar kepulanganmu. 

*
Hanya janji yang membuatku mampu berdiri di Hargo Dumilah, puncak tertinggi Gunung Lawu. Aku membaui rumput yang basah oleh embun. Lebih segar dibandingkan aneka minyak aromatherapy di tempat spa termahal sekalipun. Aku dibuat takjub dengan aroma hutan di sepanjang jalan. Aku jadi kesal bercampur geli karena jadi tahu bau daun sembukan, pohon yang dulu kamu sebutkan. Benar-benar seperti gas berbau tajam. Masih pula terbayang keindahan bunga edelweiss yang kujumpai dalam perjalanan menuju puncak. Kecil terselip di antara rerumputan. Aku berharap bunga-bunga itu selalu tumbuh abadi seperti namanya.
Perjalanan ini membuatku semakin mengerti, Bagus. Kecintaanmu pada tumbuhan, pada alam, adalah wujud syukurmu yang terbesar pada karunia yang diberikanNya untuk bumi ini.
Dalam deru nafasku aku menyaksikan tirai langit membuka. Mentari yang perlahan bangun, hangatnya seperti sinar matamu. Aku mendekapmu semakin erat. Aku merasa dekat, terbenam dalam jaket biru yang kamu tinggalkan untukku. 

Demi Alam yang menyambutmu pulang, aku mencintaimu, Bagus. Sepanjang janji kita.
 
Selesai

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com