Showing posts with label bentang pustaka. Show all posts
Showing posts with label bentang pustaka. Show all posts

Wednesday, March 18, 2015

Catatan 17 Halaman (2)



Bagian kedua ini adalah tentang KARAKTER dan SETTING.

Perlu saya sampaikan, kalau mbak Dee nggak menyampaikan materi pakai model ala-ala seminar gitu ya. Semua organik. Jadi kita kayak ngobrol random: pertanyaan-jawaban, pertanyaan-jawaban, gitu. Sketsa-sketsa di sini adalah hasil merangkai manik-manik yang tersebar. 

Di bagian ini akan ada istilah CONVICTION dan VERISIMILITUDE.
Belum tahu ya? Sama kayak saya kemarin. 

CONVICTION  : Keyakinan bahwa apa yang dilihatnya adalah real.
VERISIMILITUDE : Istilah umum yang menggambarkan fiksi yang terasa nyata.
Kedua hal itu saya letakkan di bagian ‘Karakter’ dan 'Setting' seperti catatan saya berikut ini:






Dua hari terakhir adalah hari yang menyenangkan buat saya. Hal lain (yang biasa saya kerjakan di depan PC) berasa nggak penting. Senang rasanya mengetahui catatan ini bermanfaat. 

Posting terakhir tentang Dee’s Coaching Clinic - Solo nanti kayaknya perlu waktu lebih lama dari dua hari. Catatannya lebih random lagi soalnya, dan lebih dalam. Tentang elemen cerita, editor-editing, Supernova, dan yang paling penting, tentang mengapa mbak Dee menulis. Pengennya sih cepet-cepet ditulis, tapi biar lambat asal selamat, ya.


Monday, March 16, 2015

Catatan 17 Halaman (1)



Dee's Coaching Clinic- Solo

There she is
Saya menghabiskan banyak lembaran buku ketika berupaya menangkap ilmu yang mbak Dee bagikan tanpa segan-segan. Coaching Clinic ini berasa sangat nyaman karena mbak Dee sendirilah yang awalnya mengajak semua peserta berkenalan, mempersilakan para peserta bertanya, mencatat sendiri semua pertanyaan itu di flip chart, sebelum menjawabnya dengan penuh semangat.

Seolah ngobrol dengan kawan, mengalirlah semua tips, cerita, guyonan, dari seorang Dee Lestari. Semua tutur yang membuat saya berandai-andai berada dalam sebuah writing camp dengan mbak Dee, -di mana saja saya rela- dan mengulik lebih dalam lagi kisahnya, sebagai penulis, seniman. Sebagai manusia yang haus berbagi. 

Sebuah sesi yang sangat menyenangkan.  Perjumpaan ini bukan semata-mata ‘jumpa fans’. Tetapi seperti pertemuan dengan guru yang sangat ‘humble’. Hari itu, tiga jam serasa tiga menit. Kurang? Tentu. Rasanya bukan cuma saya yang berasa pengen ‘nginep’ bareng mbak Dee hari itu. 

 “Lain kali kita lesehan saja, ya,” kata mbak Dee.
Dengan senang hati, Mbak Dee. Dan semoga ‘lain kali’ itu menjadi kenyataan. 

Ada pelajaran dalam setiap pertemuan. Dan di Dee’s Coaching Clinic, saya banyak mendapatkan. 

Catatan Saya

Nah, sekarang soal materi yang kemarin berhasil saya catat dengan serabutan. Berupaya mengikuti tutur mbak Dee yang mengalir. Ilmu yang begitu ingin dibagi. Saya membagi ‘Catatan’ saya dalam beberapa posting-an, yah. Rencananya yang pertama ini adalah catatan yang berupa ‘GAMBAR’. Lalu di post selanjutnya tentang “KARAKTER”, karena Mbak Dee banyak mengulas topik yang satu ini. Lalu posting terakhir adalah catatan-catatan lainnya. 
Kenapa saya posting ini yang pertama, karena gambar ini yang paling cepat 'dibuat'. Sementara 'pelajaran' yang lain, saya sedang berusaha menulisnya agar tidak terkesan seperti laporan. Saya gambar ulang pakai software computer karena sketsa aslinya acak adul. 
Ada 4 gambar di sini: Three Act Structure, Timeline, Koridor Cerita, dan tentang Target Menulis.
Semoga bermanfaat. 

Struktur yang secara umum dipakai ketika menulis cerita.
Timeline: dipakai Mbak Dee ketika menuliskan Supernova - Akar (Masih sederhana)

Bagaimana membuat diri 'kuat' menulis

 Nah, ditunggu ya, catatan selanjutnya.
Bersambung di Catatan 17 Halaman (2)

Wednesday, February 25, 2015

Gelombang - The Plot is Thicken

Review-nya 

Saya ingat tempat pertemuan pertama saya dengan Supernova. Di sebuah toko buku dalam mal, dia lagi ‘nongkrong’ di atas tumpukan ‘Buku Baru’.

Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (2001) bikin saya langsung mumet over dosis. Saya yang waktu itu masih anak kuliahan, merasa keren bisa membaca buku yang sophisticated. Sejak itu saya kecanduan. Saya berubah jadi anak kecil yang duduk di meja makan, menungggu masakan ibunya matang.

Akar (2002), tidak langsung membuat saya doyan. Rasanya agak aneh dan asing. Tapi rupanya seperti akar, diam-diam dia tumbuh dan membuat saya tak bosan melahapnya lagi, dan lagi. Sebaliknya Petir (2004), seperti makanan favorit saya. Tentu saja saya makan dengan nikmat dan selalu nambah.

Setelah itu ternyata saya harus kelaparan selama delapan tahun. ‘Penyiksaan’ itu membiarkan saya menyelesaikan kuliah, ketemu jodoh, menikah, hingga punya anak. Perubahan yang nggak cuma terjadi pada saya -penunggu setia yang kelaparan-, tapi juga pada Sang juru masak. 

Untunglah, Partikel (2012) akhirnya selesai juga. Delapan tahun ‘puasa’ bikin saya (sedikit) rakus. Partikel adalah cerita yang kaya dengan petualangan, mirip Akar. Bedanya saya langsung suka. Rasanya sungguh familiar. Inilah hasil ‘puasa’ delapan tahun.

Dan ternyata saya nggak perlu lama-lama puasa lagi, karena dua tahun kemudian, Gelombang (2014) datang. Tokohnya laki-laki bernama Alfa Sagala dari Sianjur Mula-Mula. Alfa terlahir dengan ‘rahasia’ yang tersembunyi dalam mimpi buruknya.  

Cerita Alfa mirip seperti kisah Zarah (Partikel). Keduanya mengalami satu ‘lompatan takdir’ yang membuat jalan hidupnya otomatis berubah. Kisah yang rapi dan mengalir. Ibarat hidangan, Partikel itu pecel Madiun, Gelombang ini pecel Malang. Rasanya lezat, dekat, karena tetanggaan. Dan tentu saja mbak Dee sudah sangat piawai mengulek sambalnya.

Setiap kali pula, 'kesaktian' tokoh di Supernova pasti bikin iri. Bukan kemampuan Alfa hidup tanpa tidur yang bikin saya mupeng, tapi otak Alfa yang cerdas, -mungkin menurun dari mamaknya yang rajin membaca- dan tekadnya yang nyaris seperti nekad –kalau ini mungkin seperti bapaknya-. Alfa is a fast learner plus risk taker.
I wish ada radioactive spider yang bisa membuat orang cepat menguasai berbagai bahasa asing seperti Alfa Sagala. Saya rela digigit. 

Membaca Gelombang membuat semua seri Supernova sebelumnya menjadi semacam buku misteri.  Saya seperti digiring dalam petualangan yang makin lama makin menegangkan. Sisipan cerita lucu seperti ‘kisruh’ penamaan Alfa dan saudara-saudaranya tidak berhasil mengurangi ketegangan saya.
Mengapa begitu, karena Gelombang memperjelas, bahwa selalu ada kawan dan lawan. Si jagoan punya tujuan, dan lawan-lawan itu akan selalu menjadi penghalang.

Pertanyaannya adalah, siapa menjadi apa? Duh, saya jadi mereview kisah-kisah sebelumnya. Saya sulit membayangkan kalau Mpret (Petir) yang berhasil mempesona saya karena cool abis itu ternyata adalah lawan. Tapi siapa yang tahu?
Dalam setiap episode Supernova memang setiap tokoh utama akan beroleh ‘pendamping’. Karakter-karakter kuat yang menemani si jagoan menemukan jati dirinya. Pertemuan mereka ini selalu seperti takdir. Mengejutkan dan tak dinyana. 

Dalam Gelombang jelas sudah. Tokoh-tokoh itu ada bukannya tanpa alasan.
Mereka itu either Peretas, Infiltran, atau Sarvara. Hua, horor. #eh

Tokoh-tokoh utama dari semua seri Supernova juga mulai bersinggungan. Mereka hampir saling menemukan. Kalau Petir dan Akar sudah bertemu, dengan siapakah Gelombang akan ketemu duluan? Bagaimana cara mereka ketemu? 

The Plot is Thicken. Kisah ini sudah hampir sampai.

Mungkin karena itu dalam Gelombang kita tidak bisa lama bersantai-santai. Kisah Alfa di Sianjur Mula-Mula langsung menyuguhkan ketegangan, sebelum akhirnya dia pindah ke Jakarta. Cuma sekejap di Jakarta, Alfa malah jadi imigran gelap ke New York. Sebentar juga di sana karena Alfa harus segera sampai ke Tibet. 

Memang ada beberapa detail cerita yang suka saya ‘skipped’ ketika membaca ulang. Seperti waktu Alfa ke-edanan main gitar, dan sesi Alfa dengan dokter Colin di Amrik. Buat saya tujuan Alfa sudah terlalu jelas: Indonesia. Pulang. Seperti juga tokoh-tokoh yang lain, mereka akan ketemu di satu tempat. Apakah itu di Bandung, Jakarta, atau satu alamat baru yang diciptakan mbak Dee. (Saya selalu ‘WOW’ dengan semesta yang dibuat mbak Dee: begitu nyata.)

Selanjutnya bagaimana? Setelah ending di pesawat yang bikin deg-deg-an, mbak Dee bilang: Bersambung ke episode Intelegensi Embun Pagi. Menilik judulnya, kayaknya bakalan hadir sesuatu yang sejuk dan adem. Apakah itu berarti selesainya semua kisah yang sudah ada belasan tahun ini? 

Ya, saya masih duduk manis dan menunggu, kok.  


Pick Me, Dee’sCoaching Clinic, and Why?

Seperti orang yang suka diam-diam, rasa itu biasanya sangat dalam. Saya sudah jatuh hati kepada tulisan mbak Dee waktu membaca cerita Rico si kecoak di satu majalah remaja. Duh, hitungannya sudah lebih dari belasan tahun ke belakang. Waktu Supernova berhasil mengikat saya untuk duduk manis menunggu, saya juga melahap Filosopi Kopi (2006), Rectoverso (2008), Perahu Kertas (2009), dan Madre (2011). 

Cerita-cerita itu kadang ‘gue banget’ sehingga bikin saya merasa dekat padahal nggak kenal. Buku-buku Dee menjelma teman ketika sendirian. 

Sementara itu, tak satupun review pernah saya tulis. Karena rasanya tak cukup kata-kata untuk menuliskannya. (Cie ini mah…) Andaikan harus diungkapkan, saya cuma bisa bilang, “Saya suka kamu.” 

Rasa suka yang mendorong keinginan saya untuk menulis dengan bagus. Karya mbak Dee menjadi benchmark yang sangat tinggi. Di gunung sana, sementara saya masih ngesot di lembahnya. 

Rasa suka yang membuat saya kepo dan jadi one of the many folowers-nya di twitter. Kegiatan ‘memata-matai’ yang bikin saya jatuh hati lagi karena sosok mommynya Keenan dan Atisha ini. 

Cuma mbak Dee yang membuat saya (dengan status emak-emak) santai ngantri dengan para ABG demi ketemu langsung dan mendapatkan tanda tangannya. Harta saya yang paling berharga di rak buku.

Yes, she 'said' that to me. :D

Dua pesan di atas saya yang minta untuk dituliskan mbak Dee. Diam-diam saya harapkan jadi mantra super biar beneran kejadian. 

 I wanna be a writer.
Saya pengen ‘tertular’. 

Dan cara paling ampuh untuk ‘ketularan’ adalah dengan bertemu.  


Belajar dari cerita-cerita mbak Dee, ‘Semesta’-lah yang mengatur setiap pertemuan.

Tulisan ini semoga menjadi jalan yang membuat kami ketemu.